Mulai 2025 Ada 2 Komponen Pajak Baru Kendaraan Bermotor, Begini Hitungannya 

TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – Mulai 5 Januari 2025, pemerintah akan memperkenalkan opsi pajak atau biaya tambahan pada pajak kendaraan bermotor.

Dua pajak kendaraan bermotor baru akan ditambahkan pada opsi pajak ini, yakni opsi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Opsi Pengalihan Hak Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Tinggal 7 bagian yang ditanggung wajib pajak.

Kemungkinan pengenaan pajak kendaraan bermotor bersifat wajib sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Dengan ketentuan tersebut, nantinya pemerintah provinsi dapat memungut peluang dari Retribusi Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLBB). 

Sedangkan pemerintah kabupaten/kota dapat memungut opsen dari PKB dan BBNKB.

Pilihan pajak kendaraan bermotor (PKB dan BBNKB) yang berhak dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota adalah sebesar 66% dari PKB dan BBNKB yang diterima pemerintah provinsi.

Lydia Kurniawati Christyana, Direktur Pajak Daerah dan Prakiraan Pajak Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), menegaskan penerapan program MBLBB dan Pajak Kendaraan Bermotor pada tahun 2025 tidak akan menambah beban masyarakat atau wajib pajak.

Pada Jumat (13/12/2024), Lydia mengutip pernyataan Kontan: “Opsen bukan beban tambahan, bukan pula pajak tambahan.”

Dia mengatakan, dengan diperkenalkannya opsi pajak kendaraan bermotor, maka tarif pajak PKB dan BBNKB dalam UU Kepolisian Hong Kong juga diturunkan. 

Misalnya, tarif pajak PKB tertinggi atas kepemilikan pertama kendaraan ditetapkan sebesar 1,2%, sebelumnya sebesar 2%.

Berdasarkan ketentuan pengurangan bea masuk ini, pemerintah daerah dapat mengenakan pajak kendaraan bermotor pilihan atau tambahan sebesar 66% dari pajak yang terutang.

Faktanya, beban wajib pajak lebih rendah dibandingkan saat pajak kendaraan bermotor dinilai berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009. Jadi ini bukan pajak tambahan, ujarnya.

Tak hanya itu, Lydia juga menyatakan Opsen memberikan kepastian pendapatan Kabupaten/Kota atas bagian pendapatan PKB dan BBNKB. 

Akibatnya, tidak ada lagi mekanisme bagi hasil seperti aturan sebelumnya.

“Di UU Nomor 1 Tahun 2022 tidak ada lagi bagi hasil, jadi provinsi hanya mendapat 1,2%, kabupaten/kota langsung mendapat 66%, dan penggandanya langsung ke kabupaten/kota,” ujarnya.

“(Daerah/Kota) pasti akan menjalankan komitmen itu pada tahun 2025 tanpa menunggu provinsi membagi pendapatan,” tambah Lydia.

Sementara itu, IIB Rizki Widiasmoro, spesialis muda analisis keuangan pusat dan daerah pada Direktorat Pendapatan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pembangunan Keuangan Daerah, mengatakan kliennya mengeluarkan surat edaran yang bertujuan untuk mengawasi proses persiapan penerapan kebijakan opsen. dan penciptaan Total tugas kecabulan.

Kementerian Dalam Negeri juga meminta Pemerintah Daerah (Pemdas) mulai menyiapkan peraturan gubernur tentang opsi PKB dan BBNKB, termasuk mengatur sinergi opsi pemungutan yang akan selesai pada Oktober 2024.

Untuk mendukung pelaksanaan opsen PKB dan opsen BBNKB, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota harus menyusun perjanjian kerja sama untuk mengoptimalkan pemungutan pajak dan mensinergikan pemungutan opsen pada Oktober 2024.

“Kalau tidak ada kendala, kita harapkan paling lambat Oktober 2024 bisa selesai, karena pengumpulan (dalam skala besar) ini akan dimulai Januari 2025,” kata Rizki.

Diberitakan Kompas.com, di antara opsi perpajakan tersebut, pengguna kendaraan bermotor baru total harus membayar tujuh pajak, seperti BBN KB, BBN KB opsen, PKB, PKB opsen, SWDKLLJ, biaya pengelolaan STNK, dan biaya pengelolaan TNKB. 

Pada halaman terakhir surat penetapan kewajiban pembayaran (STNK) juga akan ditambahkan dua kolom baru yang berisi informasi mengenai opsen PKB dan opsen BBNKB.

Dalam website Kementerian Keuangan disebutkan bahwa opsi perpajakan secara umum tidak menambah beban administrasi perpajakan terhadap wajib pajak. 

Artinya, meski ada kenaikan Barang Kena Pajak, namun besaran pajak yang dibayarkan pemilik mobil tidak jauh berbeda. 

Sebab, tarif pajak PKB akan diturunkan pada rezim pajak baru. 

Penggunaan opsi perpajakan membantu memfasilitasi pembagian pendapatan pajak dari pendapatan pemerintah daerah (Pemda).

Misalnya dalam menghitung pajak yang dibayarkan oleh PKB, menurut undang-undang terbaru no. 1 mulai tahun 2022 tarif pajak sebesar 1,1%. 

Misalnya saja pada video perhitungan yang diposting di website Kementerian Keuangan, jika NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor) sebuah mobil adalah Rp 200 juta dan merupakan kendaraan pertama yang dimiliki wajib pajak, maka tarif pajak PKB adalah 1,1 %.

PDB yang beredar dihitung 1,1% dikalikan Rp200 juta, sehingga PDB yang beredar adalah Rp2,2 juta. Pemilik kemudian juga harus membayar 66 persen dari jumlah PKB yang terhutang dalam opsi PKB.

Jadi 66% dikalikan Rp2,2 juta, maka pajak peluang PKB adalah Rp1,45 juta. 

Dengan demikian, total pajak kendaraan yang terutang oleh pemilik mobil adalah Rp3,65 juta, yang meliputi Rp2,2 juta terutang PKB dan Rp1,45 juta dari PKB Peluang.

Jumlah pajak sebesar Rp 3,65 juta ini dinilai tidak jauh berbeda dengan pajak mobil yang dibayarkan pemilik mobil pada skema lama (yakni UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tarif pajak terhadap PDB sekitar 1,8%). 

Jika Nilai Jual Mobil (NJKB) Rp 200 juta dikalikan tarif pajak lama 1,8%, maka pajak yang terutang atas PKB adalah Rp 3,6 juta.

Sesuai dengan undang-undang no. 28 Tahun 2009, penghitungan skema pajak baru lebih mahal sebesar Rs 50.000 dibandingkan skema penghitungan pajak PKB lama (dengan asumsi tarif pajak 1,8% untuk PKB lama dan 1,1% untuk PKB baru).

(Kompas.com/Kontan/Tribunnews)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *