Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP) mengikuti langkah Nihad Ulama (NU) yang menerima tawaran izin usaha pertambangan organisasi masyarakat keagamaan dari pemerintahan Joko Widodo.
Keputusan ini dikritik oleh aktivis lingkungan hidup dan sebagian warga Muhammadiyah di wilayah tersebut.
Haider Nasir, Ketua Umum Partai Muhammadiyah, menyatakan pihaknya akan mengelola tambang tersebut tanpa merusak lingkungan dan tidak akan meninggalkan konflik atau perbedaan sosial.
Namun apabila dalam perjalanannya terdapat berbagai situasi konflik, maka “bertanggung jawab untuk mengembalikan izin usaha pertambangan” tersebut.
Hanya saja keputusan tersebut “menyakitkan hati” pihak yang selama ini selalu membantah keberadaan tambang emas terbesar di Jawa, hingga warga Muhammadiyah di Tringgalik, Jawa Timur.
Wahiyo Perdana, Kepala Departemen Ilmu Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, bahkan mengatakan pendekatan ini berpotensi menimbulkan “krisis politik” karena hampir pasti terjadi dalam lima tahun ke depan. Tidak akan ada suara kritis dari pemerintahannya terkait kebijakan pemerintah. Mengapa Muhammadiyah menerima tawaran kepengurusan saya?
Haider Nasir, Ketua Umum Partai Muhammadiyah, mengatakan sejak menerima usulan pengelolaan tambang dari pemerintah, pihaknya tak mau terburu-buru menerima atau menolaknya.
Pada bulan Juli, kata dia, Muhammadiyah melakukan kajian terhadap konsesi pertambangan dan kelompok-kelompok terdaftar yang menurutnya pro dan anti pertambangan.
Termasuk menerima informasi dari pengelola daerah.
Dia menambahkan: “Inilah kehidupan, kita menghadapi kenyataan, kehidupan politik, ekonomi dan budaya.”
Haider melanjutkan, “Makanya kami mengambil keputusan ini bukan karena tekanan sosial, bukan karena tekanan sosial. Kami mempertimbangkan segalanya untuk PP Muhammadiyah dalam hal kepengurusan saya.”
Haider mengatakan, pada akhirnya suara terbanyak dalam rapat umum tersebut mencapai kesimpulan menerima usulan pengelolaan tambang dengan beberapa pertimbangan.
Termasuk Fatwa Tarjiya Shura dan Tajid PP Mohammadiyya tentang perlunya mendesaknya pengelolaan pertambangan dan transisi energi yang berkeadilan.
Fatwa tersebut menyatakan bahwa pertambangan sebagai pengambilan energi mineral dari perut bumi termasuk dalam kategori transaksi yang hakikatnya diperbolehkan.
Selain itu, keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada tahun 2015 memberikan tugas kepada PP untuk memperkuat dakwah di bidang perekonomian.
“Setelah menganalisis seluruh informasi, PP Muhammadiyah memutuskan siap mengelola usaha pertambangan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024,” kata Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mati.
Setelah itu, Abdul Mati menjelaskan beberapa poin yang akan menjadi acuan dalam pengelolaan tambang:
Pertama, kekayaan alam merupakan anugerah dari Allah SWT bahwa manusia mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan alam untuk kepentingan dan kesejahteraan kehidupan materil dan rohaninya.
Kedua, Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketiga, keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar mempercayakan pimpinan pusat Muhammadiyah tugas memantapkan bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dakwah dan bidang dakwah lainnya di bidang ekonomi. Wow
Pada tahun 2017, Muhammadiyah mengeluarkan pedoman Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) untuk memperluas dan meningkatkan dakwah Muhammadiyah di bidang industri, pariwisata, jasa dan unit usaha lainnya.
Keempat, dalam pengelolaan tambang, Muhammadiyah berupaya melakukan koordinasi dengan masyarakat dan warga, masyarakat sekitar tambang, serta penggunaan teknologi yang meminimalkan kerusakan alam, termasuk para profesional yang bertanggung jawab penuh.
“Muhammadiyah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal, profesional dan berpengalaman di bidang pertambangan dan sejumlah perguruan tinggi di Mohammadiyah memiliki program studi pertambangan menjadikan usaha pertambangan sebagai wadah praktik dan pengembangan kewirausahaan yang baik.” .
Kelima, dalam pengelolaan pertambangan, Muhammadiyah akan bekerja sama dengan mitra-mitra yang berpengalaman dalam pengelolaan pertambangan, memiliki komitmen dan integritas yang tinggi, serta ikut serta bersama masyarakat dan masyarakat melalui perjanjian kerja sama yang saling menguntungkan.
Keenam, pengelolaan pertambangan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dilakukan secara tepat waktu dengan tetap dan terus berupaya mengembangkan sumber energi terbarukan serta menciptakan budaya hidup bersih dan ramah lingkungan.
Dikatakannya, pengelolaan tambang dipadukan dengan pemantauan, penilaian, dan penilaian manfaat dan kerugian bagi masyarakat. Jika pengelolaan pertambangan semakin banyak menimbulkan korupsi, maka Muhammadiyah bertanggung jawab mengembalikan izin usaha pertambangan kepada pemerintah.
Ketujuh, dalam pengelolaan tambang, Muhammadiyah berupaya menciptakan model yang mengedepankan kesejahteraan dan keadilan sosial, pemberdayaan masyarakat, penciptaan ekosistem ramah lingkungan, laboratorium penelitian dan pendidikan, serta jamaah dan sosialisasi.
“Pembangunan Tambang yang dilakukan Muhammadiyah berupaya menjadi model bisnis yang ‘not for profit’ dimana keuntungan bisnis digunakan untuk mendukung upaya dakwah dan filantropis Muhammadiyah serta masyarakat luas.” Dimana Tambang Muhammadiyah?
Abdul Mati mengatakan PP Muhammadiyah akan segera membahas lokasi izin pertambangan yang selanjutnya akan ditangani dengan Presiden Jokowi.
Termasuk membahas berapa jumlah ranjau yang diperbolehkan. Namun yang pasti, mengacu pada PP 25 2024, jenis usaha pertambangan yang diberikan kemungkinan besar adalah batu bara.
Setelah mendapat izin konsesi atau izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah, PP Muhammadiyah akan mendirikan badan usaha khusus yang nantinya akan ditentukan dalam Keputusan PP Muhammadiyah.
Katanya: “Mereka akan mendirikan organisasi bisnis yang berkaitan dengan Muhammadiyah yang belum kami ketahui namanya, dan Insya Allah kami memiliki pengalaman dan sumber daya manusia untuk mengelolanya.”
Dijelaskannya, Kadin akan berbicara dengan tim manajemen di Tambang Muhammadiyah yang telah dibentuk.
“Jadi Muhammadiyah tidak bekerja sendiri, Muhammadiyah akan menggandeng organisasi atau perusahaan yang sudah berpengalaman dalam pengelolaan pertambangan,” ujarnya. Hal ini dikecam warga Muhammadiyah di kawasan itu
Namun keputusan PP Muhammadiyah sudah bulat. Namun terdengar suara kekecewaan dari warga Muhammadiyah di daerah tersebut.
Misalnya saja, Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah di Suripto, Tringgalik, Jawa Timur, menyatakan dirinya dan warga Muhammadiyah lainnya –termasuk yang ada di Papua– menyatakan penolakannya terhadap pimpinan pusat.
Namun semua itu, lanjutnya, “tidak terdengar”.
“Jadi saya sangat menyayangkan pimpinan pusat menerima tawaran konsesi tersebut, sehingga tidak baik untuk propaganda kita,” imbuhnya kepada jurnalis Zamzawari yang memberitakan BBC News Indonesia, Minggu (28/07).
Di Tringgalik, di Soripto yang lestari, warga menghadapi ancaman lingkungan jika tambang emas yang disebut-sebut terbesar di Jawa itu benar-benar beroperasi.
Oleh karena itu, sejak tahun lalu, warga Muhammadiyah mulai melakukan perlawanan bersama masyarakat sipil.
“Dan PP Muhammadiyah termasuk Dewan Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah mendukung penolakan Trunggalik.”
Meski kini ada perubahan sikap pimpinan pusat, Sarpato mengatakan hal itu tidak akan mempengaruhi perilaku warga Muhammadiyah di daerah.
Mereka mengatakan akan terus menambang emas.
Sekadar informasi, tambang emas tersebar di 14 kecamatan di Tringalek dengan luas pembuangan lebih dari 12000 hektare. Pemerintah disebut telah memberikan izin usaha pertambangan kepada PT Sumber Mineral Nusantara.
Para aktivis lingkungan hidup menyebut tambang emas ini berpotensi merusak 150 sumber air yang mengalirkan sekitar 80 persen wilayah Triangalik. Sebab, izin pertambangan meliputi hutan cagar, daerah aliran sungai, dan lahan produktif masyarakat. Hubungan atau korupsi politik?
PP Muhammadiyah, Kepala Kajian Kebijakan Sumber Daya Alam (LHKP) Lembaga Kebijaksanaan dan Kebijakan Publik, Wahiu Perdana pun turut senang dengan sikap yang diambil organisasinya.
Sebab, ada agitasi di kalangan pimpinan PP Muhammadiyah yang ingin lembaganya mengikuti jejak Nihad Ulama (NU), pihak tersebut memprotes dengan menyiapkan laporan bernama Kertas Kebijakan LHKP PP Muhammadiyah.
Di sana ia menjelaskan bagaimana memperoleh izin usaha pertambangan dapat menimbulkan implikasi hukum yang serius bagi organisasi dan para pemimpinnya.
Ia melanjutkan, bahaya lingkungan menjadi salah satu perhatian utama yang sering kali menjadi perhatian industri pertambangan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana lingkungan. termasuk potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan penelitian tersebut, diharapkan Muhammadiyah berani menolak tawaran izin pertambangan.
“Jadi bagi saya ini akan menjadi ujian integritas. Karena kalau mau berbisnis, apapun kondisi yang diatur oleh suatu lembaga, tidak perlu menunggu untuk menggunakan pemberian politik dari pemerintah. prosedur yang ada.” kata Wahyu Perdana kepada BBC News Indonesia, Minggu (28/07).
“Dengan perkiraan kepemilikan, dimungkinkan untuk membangun perusahaan sendiri untuk memasuki bisnis pertambangan.”
Lanjutnya, “Karena dalam praktiknya, beberapa pengelola daerah juga mengelola kelapa sawit, namun tidak melalui sumbangan politik, melainkan dengan memenuhi persyaratan formil dan materiil, seperti mengajukan AMDAL.”
Sebab, keputusan yang diambil kini berpotensi menimbulkan “krisis politik”. Sebab dalam lima tahun ke depan hampir bisa dipastikan tidak akan ada suara kritis dari pemerintah terkait kebijakan pemerintah.
Ia mencontohkan sikap tegas Muhammadiyah belakangan ini yang mengkritisi permasalahan pertambangan di wilayah tersebut.
Bermula dari tambang andesit di Desa Wadas, Jawa Tengah, yang disebut-sebut melanggar hukum dan HAM.
Muhammadiyah juga menyerukan pembatalan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Rembang, dan lantang menyuarakan pembatalan omnibus law penciptaan lapangan kerja.
“Karena Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, usulan wilayah izin usaha pertambangan khusus organisasi masyarakat keagamaan hanya berlaku lima tahun.” kata Wahoo.
Artinya, dalam lima tahun ke depan saya curiga suara-suara kritis akan hilang karena mereka menganggap [pemerintah] telah menundukkan [Mohammadiyah].”
Dan yang kembali mengecewakannya, dalih bahwa Muhammadiyah akan mengelola tambang tersebut untuk menghindari konflik sosial dan ramah lingkungan adalah “hampir mustahil”.
Selama pengalamannya di organisasi lingkungan hidup, katanya, membicarakan “tambang ramah lingkungan” hanyalah “utopia”.
Padahal, setahu saya, lahan tambang tua yang sudah direklamasi pun tidak bisa mengembalikan daya serap air hingga 100%, minimal hanya 20%. “Eskalasi konflik akan menjadi lebih kompleks, organisasi massa melawan elit warga negara”
Alfred Kassmann, juru kampanye Jaringan LSM untuk Pertahanan Pertambangan (JATAM), sependapat.
Ia mengatakan, cerita PP Muhammadiyah yang ingin mengembangkan model pertambangan ramah lingkungan dan memerdekakan warga setempat adalah “tidak masuk akal dan tidak dapat dipercaya”.
Sebab, klaimnya, tidak ada tambang di Indonesia yang tidak merusak lingkungan, merusak sumber air, dan sumber makanan manusia.
Alfert mengatakan kepada kantor berita BBC Indonesia: “Dan tidak ada ranjau yang memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Ini yang sebenarnya kita lihat di lapangan. Selalu bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Pemerintah dan Korporasi.”
Contoh nyata dampak negatif terhadap operasi penambangan adalah ribuan lubang tambang yang ditinggalkan perusahaan, kata koordinator Jatam Melki Nahar.
Pada tahun 2020, catatan JATAM menyebutkan terdapat 3.092 tambang di Indonesia yang belum digali kembali dan memakan banyak korban jiwa.
Di Kalimantan Timur, sedikitnya 40 orang tewas akibat pertambangan, kata Melki.
Namun lebih dari itu, al-Farat khawatir keputusan Pemerintahan Muhammadiyah menerima konsesi pertambangan akan melemahkan mobilisasi masyarakat yang menguat melawan daya rusak pertambangan.
Seperti yang dilakukan warga Muhammadiyah di Tringgalik, Jawa Timur, hingga meminta pembatalan izin tambang emas yang disebut-sebut terbesar di Pulau Jawa.
“Jangan biarkan mereka [tambang emas] demi kesejahteraan rakyat.”
Selain meredam pergerakan sosial, Melki Nahar juga memperkirakan situasi ini akan memicu peningkatan konflik yang semakin kompleks, misalnya antara warga negara melawan individu melawan korporasi, tokoh politik, dan organisasi kolektif. Bagaimana aturan pemberian izin pertambangan kepada organisasi keagamaan?
Rencana pemberian IUP pertambangan kepada ormas keagamaan muncul pada tahun 2021. Saat itu, Presiden Jokowi berjanji dalam Kongres Nahdul Ulama (NU) untuk memberikan izin usaha pertambangan kepada generasi muda NU untuk apa yang disebutnya pemberdayaan masyarakat dan pemerataan pendapatan. kekayaan. .
“Saya juga ingin memberikan konsesi pertambangan dan batu bara, bagi yang ingin bekerja di bisnis nikel, misalnya batu bara atau tembaga, silakan.”
Pemerintah sepertinya menerapkan pembahasan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Penerapan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021.
Pasal 83A ayat 1 berbunyi “Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), usulan dapat diberikan dengan prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.”
Ayat 2 kemudian menjelaskan bahwa, “WIUPK adalah eks Kawasan PKP2B atau Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara.”
Ayat 6 menegaskan bahwa “usulan WIUPK berlaku selama 5 tahun sejak peraturan ini mulai berlaku”.
Kementerian Energi dan Mineral (ESDM) pernah mengatakan pemerintah telah menyiapkan enam lahan eks PKP2B yang akan diberikan kepada organisasi keagamaan.
Di antaranya lahan bekas tambang milik PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Untuk PBNU, pemerintah memberikan lahan yang digunakan anak perusahaan kelompok tersebut, yakni milik pengusaha Aburizal Bakri, PT Kaltim Prima Kol.
Jurnalis Nidias Ajing di Yogyakarta dan Zamzuri di Tringalek berkontribusi dalam laporan ini.