Laporan jurnalis Tribunnews.com Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.
Keputusan ini diambil dalam rapat nasional antara pimpinan MPR dan keluarga Soeharto.
Keluarga Soeharto diwakili dalam acara tersebut oleh dua orang putri Soeharto. Mereka adalah Siti Hardianti Rukmana atau Tutut Soeharto dan Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto.
Menurut Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet, keputusan itu diambil setelah nama Soeharto dimuat dalam Ketetapan Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Bamsoet mengatakan di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Sabtu (28): “Jika mantan presiden Soeharto dianggap oleh pemerintahan mendatang dan pemerintah pantas menyandang gelar pahlawan nasional, maka tidak akan ditingkatkan dengan menerima status manusia sesuai aturan. .” /9/2024).
Selain itu, kata Bamsoet, pemberian penghargaan pahlawan nasional ini untuk menghormati jasa luar biasa Soeharto di Indonesia selama 32 tahun.
Antara lain, Soeharto berhasil memimpin Indonesia melewati masa-masa sulit pada tahun 1963, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia turun hingga 2,25 persen, dan tiga tahun kemudian, pada tahun 1966, inflasi meningkat hingga 635,3 persen.
Pada tahun 1967, Indonesia tercatat sebagai negara miskin dengan utang sebesar 700 juta dolar. Menurut Bamsoet, Soeharto dengan dukungan Soemitro Jojohadikusumo yang juga ayah Prabowo mampu membalikkan keadaan.
“Pada tahun 1969, setahun setelah beliau menjadi Presiden, pertumbuhan ekonomi meningkat pesat hingga mencapai 12%. Inflasi berhasil diturunkan hingga 9,9%,” jelasnya.
Oleh karena itu, Bamsoet mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto juga untuk meningkatkan semangat rekonsiliasi di Indonesia.
“Karena pada dasarnya dalam konsep kehidupan berbangsa, setiap musyawarah tidak pernah dimaksudkan untuk menabur benih konflik, melainkan upaya kita bersama untuk mencapai bahasa yang sama.”
“Marilah kita sebagai keluarga bangsa mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa masa lalu yang dapat kita jadikan pembelajaran berharga untuk membangun karakter bangsa bangsa Indonesia,” ujarnya.
Ia pun berharap tidak ada dendam sejarah terhadap anak bangsa. Apalagi mereka belum pernah muncul di peristiwa kelam sebelumnya.
“Anak-anak bangsa tidak boleh mempunyai dendam sejarah yang tidak mereka ketahui sebelumnya atau tidak ikut serta dalam berbagai peristiwa kelam.”
MPR menghapus nama Soeharto dari TAP MPR 11/1998 KKN
Guna menghapus nama Soeharto, Presiden ke-2 RI, Majelis Permusyawaratan Rakyat RI memaparkan dokumen dalam Resolusi Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Terlibat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. (CCN).
Dokumen tersebut diserahkan kepada keluarga Soeharto yang diwakili oleh kedua putri Soeharto. Mereka adalah Siti Hardianti Rukmana atau Tutut Soeharto dan Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto.
“Kami selaku Pimpinan MPR, sebagai bentuk pemenuhan tugas konstitusional kami, menyerahkan sebuah dokumen kepada perwakilan keluarga besar mantan Presiden Soeharto, untuk memberikan jawaban dan tindak lanjut Surat Fraksi Partai Golkar No. .2 tahun 2024.” pimpinan MPR,” kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).
Menurut Bamsoet, nama Soeharto disebutkan secara jelas dalam dokumen tersebut dan keputusan MPR itu dilaksanakan tanpa membatalkan Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998. Dengan demikian, Soeharto mempunyai kredibilitas hukum.
Banyak fakta hukum yang muncul dalam proses ini, dan akhirnya ada kepercayaan hukum terhadap mantan Presiden Soeharto, ujarnya.
Apalagi, Bamset kini mengungkap dirinya diperintahkan Kejaksaan Agung RI pada 2006 untuk mengadili atau menghentikan SKP3.
Hal itu sesuai Pasal 140 KUHP dan Putusan MA 140 PK/PDT.2015. Apalagi Soeharto kini telah meninggal dunia pada 27 Januari 2008.
Makanya paru-paru itu perlu dilindungi, kita bukan bangsa yang pendendam, jelasnya.
Berdasarkan fakta hukum di atas, kami berpendapat bahwa nama mantan Presiden Soeharto tercantum dalam TAP MPR 11/MPR 1998 yang diselesaikan oleh Tuan Haji Muhammad Suharto, lanjutnya.
Sebagai referensi, Surat Keputusan Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dengan jelas menyebut nama Soeharto.
Pasal 4 TAP MPR 11/1998 menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap setiap orang.
Secara khusus, pejabat pemerintah, mantan pejabat pemerintah, keluarga dan teman-teman mereka, serta pihak swasta/konspirasi, termasuk mantan Presiden Soeharto, fokus pada proposisi tidak bersalah dan hak asasi manusia.