Jurnalis Tribunenews Mario Christian Sumampov melaporkan
TRIBUNNEWS.
Pengadilan memperluas cakupan siapa yang dapat dihukum karena terlibat dalam kebijakan moneter.
Pada Rabu (16/10/2024), Ketua Mahkamah Konstitusi, Hakim Suhartoyo, mengatakan, “Permohonan pemohon ditolak seluruhnya.”
Dalam perkara teregistrasi Nomor 59/PUU-XXII/2024, pemohon Raden Mahdum menggugat Pasal 523 UU Pemilu yang membatasi kriminalisasi kebijakan moneter hanya pada “eksekutif, peserta, dan/atau kelompok pemilu”.
Menurut dia, definisi tersebut terlalu sempit sehingga menghambat relawan dan/atau simpatisan yang tidak terdaftar di KPU sebagai pelaksana, peserta, dan/atau kelompok kampanye dalam melakukan kebijakan moneter.
Mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi menilai perlunya perluasan hukuman pidana yang dijatuhkan ke pengadilan, memperluas atau membuat aturan baru terkait dengan hukuman kebijakan moneter.
Suhartoyo mengatakan itu diartikan sebagai politik kriminal.
Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya selalu berpedoman pada kedudukan lembaga legislatif, yakni pada putusan presiden. Suhartoyo menambahkan, ungkapan “setiap orang” sama dengan “orang” dalam Pasal 269-271 UU Pemilu tentang penyelenggara kampanye. Oleh karena itu, preseden yang dikutip di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Mahdum “…menerapkan aturan yang sebenarnya bukan merupakan kewenangan pengadilan”.
“Dalam hal ini, apabila masyarakat berpendapat bahwa UU 7/2017 masih mempunyai kelemahan khususnya terkait dengan badan hukum/pelaku tindak pidana money policy dalam pemilu, maka pembentuk undang-undang dapat membuat ketentuan hukum baru dengan mengganti ketentuan hukum yang lama, yakni UU No. peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam undang-undang pemilu. perubahan berikut ini berlaku bagi badan hukum/pelaku tindak pidana kebijakan moneter.