MK Hapus Presidential Threshold, Eks Anggota KPU: Ini Kado Awal Tahun Buat Kita Semua

Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden disebut-sebut menjadi hadiah awal tahun bagi para pejuang demokrasi dan masyarakat Indonesia pada umumnya. 

“Ini adalah pertemuan pembuka tahun ini yang memberi kita semua harapan besar,” kata Hadar Nafees Gumey, direktur eksekutif Jaringan Demokrasi dan Pemilu dengan Integritas (NETGRIT), ketika ditemui Kamis di gedung Mahkamah Konstitusi di pusat kota Jakarta 2/1). /2025).

Menurutnya, putusan MK merupakan harapan besar bagi masyarakat Indonesia yang terbelenggu oleh sistem pemilihan presiden yang tidak adil dan merugikan pemilih.

Harapannya, masyarakat akan senang dengan langkah berani yang dilakukan MK yang berkeinginan untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia.

“Saya kira masyarakat Indonesia percaya pada seluruh warga negara Indonesia, bukan hanya kita saja,” ujarnya.

Anggota KPU RI periode 2012-2017 ini berharap, penghapusan syarat ambang batas pengusung pasangan calon Pilpres ini akan membuka ruang lebih luas bagi calon masyarakat yang selama ini terhambat aturan tersebut.  

Di sisi lain, melalui penyisihan ini, masyarakat atau pemilih juga diberikan alternatif pilihan calon presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan aspirasi rakyat dan tidak lagi dikuasai oleh partai politik besar yang berkuasa.

“Jadi semoga pemilu presiden kita ke depan benar-benar membuka ruang yang besar bagi kita, masyarakat Indonesia juga mempunyai alternatif pilihan calon presiden dan mencerminkan aspirasi kita semua ke depan,” kata Hadar. MK menetapkan ambang batas pengajuan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghilangkan ambang batas atau Presidential Threshold (PT) dalam persyaratan penetapan calon presiden dan wakil presiden yang sebelumnya ditetapkan oleh partai politik yang menguasai 20 persen kursi. dari DPR atau 25 persen. dari suara sah nasional pada pemilihan umum sebelumnya.

Putusan tersebut merupakan permohonan Perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Annika Maya Octavia dan rekan-rekan di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

“Permohonan para pemohon dikabulkan untuk seluruhnya,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (1/2/2025).

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 222 Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan pencalonan calon presiden dan wakil presiden (ambang batas jabatan presiden) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menyatakan kriteria dalam Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kata Suhartoyo.

Dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan “harus memperoleh sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah di tingkat nasional pada pemilu sebelumnya. anggota DPR”. . Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional peserta pemilu politik yang tidak mempunyai persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai penetapan besaran batasan tersebut tidak berdasarkan perhitungan yang jelas dan rasionalitas yang kuat.

Satu hal yang bisa dipahami pengadilan, penetapan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan partai politik utama atau paling tidak menguntungkan partai politik peserta pemilu yang mempunyai kursi di DPR.

Mahkamah Konstitusi menyebut terdapat konflik kepentingan dalam penetapan ambang batas pencalonan presiden.

Mahkamah juga menilai pembatasan tersebut dapat mengikis hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi oleh kurangnya pasangan calon alternatif yang cocok. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (1/2/2025).  (Tribunnews.com/Danang Triatmojo)

Selain itu, setelah mencermati arah pergerakan politik yang terjadi di Indonesia saat ini, Mahkamah Konstitusi mengamati adanya kecenderungan upaya untuk hanya menghadirkan dua pasangan calon pada setiap pemilihan presiden dan wakil presiden.

Faktanya, pengalaman sejak pemilu kerajaan menunjukkan bahwa dengan hanya 2 calon, masyarakat mudah terjerumus ke dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

Padahal, jika pengaturan ini dibiarkan, kemungkinan besar pemilu presiden dan wakil presiden juga akan terikat pada calon yang sama.

MK juga mencermati tren calon tunggal dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang cenderung menghasilkan kursi kosong dari waktu ke waktu. Artinya, menjaga Presidential Threshold, mencegah pelaksanaan pemilihan presiden langsung oleh rakyat hingga menawarkan pilihan ganda terhadap pasangan calon.

“Jika hal ini terjadi, maka makna hakiki Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya diubah,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *