Misteri kerangka ibu dan anak di Bandung – Kapan waktu kematian korban dan mengapa tidak tercium bau dari dalam rumah?

Warga sekitar dihebohkan dengan ditemukannya dua jenazah diduga ibu dan anak di Desa Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Mereka tak menyangka rumah yang seharusnya kosong dan penuh semak itu masih berpenghuni. Sebab, tahun 2018 lalu merupakan kali terakhir warga melihat kedua rumah Indah Hayati dan putrinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka sejak saat itu.

Kapolsek Cimahi Tri Suhartanto mengatakan, jenazah kedua orang tersebut masih diperiksa untuk mengetahui penyebab kematiannya. Adapun tulisan di dinding, katanya, berarti kekecewaan antara istri dan anak suami atau bapaknya.

BBC News Indonesia sudah berulang kali berupaya menghubungi istri korban, Mudjoyo Tjandra, namun hingga berita ini diturunkan belum mendapat tanggapan maupun pesan.

Lantas kapan korban meninggal dan mengapa warga desa tidak menyadarinya? Apa asal mula ditemukannya kerangka tersebut?

Rumah sederhana bercat ungu dan berpagar hitam itu dikepung polisi. Dilarang masuk kecuali polisi.

Meski demikian, warga Komplek Perumahan Tanimulya di Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat masih sesekali mendatangi rumah tersebut. Berhentilah sejenak dan lihat sekeliling saja.

Selama beberapa tahun, rumah ini seakan tak berpenghuni. Pagar dan tembok robek, gelap, banyak semak.

Di depan rumah diikatkan papan bertuliskan “Dijual Cepat Hubungi Mudjoyo Tjandra” disertai nomor telepon untuk membantu mengatasi kekhawatiran tersebut.

Namun pada Senin (29/07) sekitar pukul 10 malam, warga Ai Suryati dikejutkan dengan kehadiran Mudjoyo Tjandra.

Pria tersebut tinggal di kediaman Tanimulja hingga menikah dengan Indu Hayati dan dikaruniai seorang anak bernama Elia Imanuels Putra. Namun Mudjoyo Tjandra dikabarkan keluar rumah sekitar tahun 2014.

Ai bercerita, Tjandra, begitu ia disapa, tiba-tiba datang ke rumahnya pada pagi hari. Wanita lanjut usia ini mengaku kaget karena sudah kurang lebih 10 tahun mereka tidak bertemu.

Tjandra mengaku ingin membawa pulang akta kelahiran tersebut.

Karena rumahnya ditutup, Tjandra berencana menghancurkannya.

“Saya kaget melihat Pak Tjandra berkata: ‘Saya ingin menghancurkan rumah. Saya mau lapor ke Pak RT kalau dia tidak ada di rumah. Aku tidak nyaman, padahal itu rumahku, aku ingin menghancurkannya..” kata Ai, senada dengan ucapan seorang tetangga yang baru saja memiliki rumah.

“Iya, saya saksikan dari tetangga,” jawab Ai kepada Tjandra.

Ai dan tetangga lainnya melihat Tjandra merobohkan pagar, namun mereka tidak bisa memasak.

Tak lama kemudian, atau beberapa menit, Ai mendengar teriakan Tyandra. Dia segera menghampiri pria itu saat itu.

“Katanya [Pak Tjandra] ada tengkorak di kasur atas dan kasur bawah.. Kayaknya yang di atas tempat tidur istri saya, yang di bawah anak saya,” kata Ai menirukan ucapan tetangganya lagi. .

Apa yang dilihat Ai dan Tjandra pun segera dilaporkan ke Kepala Rukun Tetangga (RT) dan Polsek Padalaran.

Polisi tiba dan mengeluarkan dua mayat yang ditemukan di ruangan itu.

Berdasarkan media sosial, bagian dalam gedung sangat kotor, sampah plastik berserakan, lantai keramik penuh debu, coretan dan kerang menutupi banyak sisi dinding.

Dua kerangka di sebuah ruangan berbaring telentang di kasur yang berbeda, tapi bersebelahan.

Meski belum ada hasil otopsi, polisi menduga kedua jenazah tersebut adalah Indaha Hayati dan Elia Imanuel Putra. Terakhir kali dia melihat korban adalah pada tahun 2018

Ai Suryati mengaku sudah lama tidak berbicara dengan tetangganya, Indah Hayati. Bahkan, sekitar tahun 2000, ia menjenguknya yang saat itu baru saja melahirkan Elia.

Kebetulan, katanya, putranya juga lahir pada tahun itu. Bisa dikatakan anak-anak mereka tumbuh bersama dan menjadi teman bermain.

Namun seiring berjalannya waktu, hubungannya dengan Inda semakin kuat. Ai melihat tetangganya semakin menjauh, terutama saat suaminya, Mujoyo Tjandra, pergi ke Cirebon pada tahun 2014.

“Makin kesini makin jauh orangnya. [Mbak Inda] itu orang biasa, tapi kalau saya di sini, misalnya dia mau lewat, tapi kemudian dia kembali…dia kembali.” [ke rumahnya] anaknya, belok ke arah lain, kata Ay.

Seingat Ai, terakhir kali dia melihat Indu adalah pada tahun 2018.

Setelah itu, mereka tidak lagi terlihat di sekitar kediaman tersebut. Bahkan tidak terdengar suara gonggongan anjing peliharaannya.

Katanya, warga desa mengira Inda dan Elia sudah pindah ke rumah tersebut. Karena pagar rumah terkunci, tidak ada lampu yang menyala, dan di dinding luar terdapat poster yang menyatakan bahwa rumah tersebut akan dijual.

Selain itu, menurut mantan ketua RT 10 Bambang Daryanto, warga menyatakan akan pindah ke Sumedang. Namun agak mengejutkan, ia menyebut Inda tidak meminta surat pindah atau dokumen kependudukan lainnya.

Sepengetahuannya, Inda dan istrinya Tyandra belum bercerai. Sebab, di kartu keluarga masih terlihat bahwa mereka sudah menikah.

“Saya bilang dia mau pindah dulu. Kalau tidak salah, dia pindah ke Sumedang untuk bekerja. Nah, sejak kejadian itu saya belum mendengar kabarnya lagi,” ujarnya.

Bambang mengaku masih ingat keadaan saat ditemukannya dua jenazah di dalam rumah tersebut.

Hanya tulang yang tersisa, katanya.

Ia pun sempat masuk ke dalam dan menemukan sebuah prasasti di dinding – diyakini sebagai wasiat Indus, yang menyatakan bahwa bangunan ini harus didedikasikan untuk masjid.

Ada dua pesan yang konon ditulis Inda, dan surat pertama berbunyi sebagai berikut: “Jika kamu menikah lagi, semoga kamu tidak menyakiti hati suami ketigamu nanti. Saya melihat Anda telah melamar istri baru, bukan? yang memotretmu Digunakan oleh Hendra Setiawan Kolom komentar FB yang mengatakan bahwa kamu ingat karena gagal berhubungan dengan istri pertamamu Leonia.

Pesan kedua berbunyi: “Saya mohon rumah ini diserahkan kepada Masjid Tanimulya. Jika Mudjoyo Tjandra tidak menawarkan pembangunan masjid di lokasi ini, berarti dia telah menjadi penjahat karena telah merampas hak dan hak saya. .orang Tanimulya di antara orang-orang… Pak RT, kumpulkan rumah dan misa ini. Ini masjid yang mematikan.”

Pesan ketiga, yang konon ditulis oleh Elijah, berbunyi: “Aku hanya meminta biaya sekolah tapi kamu seperti itu. Mereka bilang kamu menggapai impianmu setinggi langit tapi kamu tidak mendukungku dengan biaya sekolah. . Maafkan aku, aku tidak bisa menjadi anak yang sempurna, karena tidak ada seorang pun yang bisa menjadi anak yang sempurna.” Kamu bahkan meninggalkan suamimu karena kamu menuntut dia menjadi sempurna. Tapi tahukah kamu, hanya Tuhan yang sempurna.” “Tidak ada bau dari rumah”

Saat ditemukan dua kerangka di dalam rumah, Ai kaget. Dia tidak pernah menyangka mayat dua orang tergeletak di sana selama bertahun-tahun.

Pasalnya hingga saat ini, ia dan keluarga belum pernah merasakannya. Meski jarak rumahnya dengan kediaman Inda hanya 10 meter.

“Kami tidak mencium baunya sama sekali…mungkin karena flu, semua orang ada di rumah. Itu dugaan kami.”

Ibu Murjanto yang tinggal di belakang rumah Inda pun mengungkapkan keterkejutannya. Wanita berusia 76 tahun ini mengaku tak pernah mencium bau tak sedap.

“Tidak ada bau sama sekali…belum lagi ibu pemilik rumah di belakang, di bagian samping juga tidak ada bau,” ujarnya. Kapan saat kematiannya dan mengapa tidak ada bau di dalam rumah?

Ahli Patologi Forensik Dr. Ade Firmansia dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta mengatakan, proses pembuangan jenazah hingga menjadi kerangka tergantung di dalam atau di luar ruangan.

Kemudian tergantung lingkungan, suhu, kelembapan, termasuk hewan pengerat yang membantu proses pembusukan.

Termasuk di dalamnya keadaan kesehatan orang yang meninggal, sakit atau tidak, berpakaian atau tidak, gemuk atau tidak.

Namun jika jenazah berada di luar, kata dia, setidaknya membutuhkan waktu 1-3 bulan sebelum berubah menjadi kerangka atau tulang.

“Pembusukan jenazah dimulai dengan penghancuran sel-sel tubuh, pencairan dan pembentukan gas… yang membantu dalam proses tersebut adalah semua hewan pengerat seperti tikus, cacing, lalat. ..”

“Di situlah lalat akan bertelur dan larvanya akan memakan bangkainya.”

“Kalau di luar mungkin akan dipercepat oleh anjing,” tambahnya kepada BBC News Indonesia, Jumat (08/02).

Namun jika jenazah berada di ruangan tertutup, akan memakan waktu lebih dari tiga bulan.

Semakin lambat dekomposisi, semakin sedikit atau tidak ada hewan yang mempercepat proses tersebut.

Dia mencontohkan kejadian serupa yang terjadi di Kalideres, Jakarta Barat pada tahun 2022.

Kasus ini diperkirakan telah berlangsung selama sembilan bulan, dimana keluarga tersebut ditemukan tewas di dalam rumah dalam keadaan “kering”, atau hanya tinggal kulit dan tulang.

“Jadi tidak ada literatur forensik mengenai lamanya [proses kontaminasi hingga skeletonisasi].”

“Tapi kalau gambaran jenazah [di Bandung] sama dengan Kalideres, maka bisa diidentifikasi,” ujarnya.

“Anda hanya perlu memahami bahwa skeletonisasi bukan berarti hanya tinggal satu tulang saja, kemungkinan besar gambar tersebut masih memiliki jaringan lunak seperti otot yang masih menempel… itu disebut skeletonisasi dalam ilmu forensik.”

Ia juga menjelaskan, bau jenazah akan keluar dan tercium karena mengikuti aliran udara. Dalam beberapa kasus di mana mayat ditemukan di ruangan tertutup rapat, “mungkin tidak ada bau yang menyengat”.

“Jadi cek dulu TKP-nya, tutup banget nggak? Kalau ruangannya tertutup, nggak ada baunya.”

Untuk mengetahui penyebab kematian jenazah berupa kerangka, para ahli forensik kerap mencari tanda-tanda kekerasan tumpul atau tajam pada tulang.

Jika demikian, akan diselidiki apakah ada tanda-tanda penganiayaan sebelum kematian atau dari hewan pengerat.

Namun, jika tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan atau trauma, hasil otopsi atau penyebab kematian akan “tidak dapat ditentukan”.

“Memangnya kenapa kalau dia diracuni? Yah, kita tidak akan bisa melihatnya karena mata racun itu akan tersimpan di hatinya. Kalau hatinya terbelah, maka tidak akan terlihat juga.”

“Apalagi kalau itu penyakit, susah sekali.. tidak bisa melihat organ apa pun lagi, kecuali penyakit tulang.

Oleh karena itu, ia berpesan kepada polisi agar melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) secara menyeluruh guna mengetahui penyebab kematiannya.

Jika dikatakan kedua korban bunuh diri dengan meminum racun, setidaknya ada sisa racun.

Langkah lainnya adalah tim laboratorium forensik sering memeriksa lokasi kejadian untuk menentukan apakah ada orang lain yang terlibat.

“Apakah ada DNA orang lain? Tim Inafis memeriksa sidik jari di TKP.” Apa arti pesan yang tertinggal di dinding?

Retno Lelyani Dewi, seorang psikolog, mengungkapkan keprihatinannya yang kuat bahwa ibu dan anak yang meninggal di rumah “siap menghadapi kematian”.

Kekhawatirannya terkait kondisi rumah yang terkunci dari dalam, serta pesan yang diduga ditinggalkan korban Indah Hayati di dinding.

Pesannya berbunyi: “Kalau kamu menikah lagi, semoga kelak kamu tidak melukai istri ketigamu. Aku lihat kamu sudah merokok istri kan? Yang dari Ciamis yang berfoto denganmu. Digunakan untuk Pintar. Kolom komentar FB Setiawan bilang kamu ingat, karena kamu tidak pernah menjalin hubungan dengan istri pertamamu Leonia…”

Surat lainnya berbunyi: “Saya mohon rumah ini diserahkan kepada Masjid Tanimulya. Kalau Mudjojo Tjandra tidak menawarkan pembangunan masjid di tempat ini, berarti dia sudah menjadi penjahat karena merampas dari saya dan masyarakat Tanimulya. “Hak warga… Pak RT tolong kumpulkan rumah dan misa ini, hanya masjid kematian.”

Dalam laporan tersebut, Retno menduga korban merasakan kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang harus ditanggungnya sendirian.

Entah karena pengkhianatan, atau perasaan suaminya sudah tidak peduli lagi, atau ditinggalkan, kata Retno.

Ditambah lagi kekhawatirannya bahwa korban bernama Inda sedang “bersiap mati” dalam pesannya yang berharap kematiannya mendapat kompensasi atau pengampunan dengan menerima pahala wakaf.

“Ditemukan dalam pasal bahwa dia mempersiapkan kematian dan dia mengetahui akibat dari kematian, menurut ajaran Islam tidak boleh bunuh diri karena tidak diterima di akhirat…” ujarnya. Retno BBC News Indonesia, Kamis (01/08).

“Ketika wakaf itu diciptakan atas namanya, ia berharap kematiannya mendapat pahala dari wakaf tersebut.”

Retno mengatakan, di antara kasus bunuh diri mencurigakan yang diketahuinya, ada pesan yang ditinggalkan para korban. Bahannya bisa berupa kertas atau tulisan di dinding.

Beberapa korban yang menurutnya penuh amarah, meninggalkan pesan tertulis dengan tinta merah dengan gambar seperti darah atau air mata.

Namun jika pesannya terpampang di dinding, menurut pendapatnya, tujuan kurban adalah untuk mengkomunikasikan apa yang belum pernah disampaikan sebelumnya, dan menyadarkan masyarakat akan penderitaan yang mereka derita.

“Kami kira ada orang yang mengakhiri hidupnya, tapi tidak sempat menuliskannya, artinya itu pesan yang tidak tersampaikan, atau pesan yang tersampaikan tapi diabaikan istrinya,” tambah Retno.

“Dan kenapa dia menulis di dinding? Kenapa tidak di kertas? Artinya dia ingin orang-orang segera membaca penderitaannya. Sampaikan [hati dan pikirannya] dan simpan saja…”

“Jadi ketika hidupmu sudah berakhir, hal yang paling mudah dilakukan adalah menulis di dinding.”

Soal anak korban, Retno menduga ia dirundung kesalah pahaman orang tua dan rasa kecewa pada sang ayah.

Perasaan itu terkandung dalam pesan ketiga yang tertulis di dinding: “Aku hanya minta uang sekolah, tapi kamu memang seperti itu, kata mereka, raihlah mimpimu setinggi langit, tapi jangan dukung aku dengan uang sekolahmu. .Aku minta maaf.Aku tidak bisa menjadi sempurna karena kamu meninggalkan istrimu karena kamu memintanya untuk menjadi sempurna.

Jika pasangan tidak akur, katanya, anak-anak akan mendapat masalah. Persepsi anak terhadap argumen orang tua sering kali tidak sempurna.

Jika seorang anak melihat ibunya terluka, dia akan melihat ayahnya sebagai orang yang buruk.

“Apalagi jika ibu mengulangi keluh kesahnya dan melihat reaksi sang ayah, maka anak akan menyimpannya.

“Dampaknya pada anak adalah anak akan menganggap ayahnya buruk.”

“Jadi saya curiga sang ibu mengungkapkan kemarahannya dan kemudian anak tersebut mendukungnya dengan cara yang tidak pantas.”

Oleh karena itu, Retno menilai polisi harus mengungkap secara gamblang alasan di balik meninggalnya kedua orang tersebut.

Dia mengatakan, penyidik ​​bisa memulainya dengan memantau orang-orang terdekat dan lingkungan. Selain mengandalkan hasil otopsi jika memungkinkan.

Pentingnya pengungkapan fakta, kata dia, sebagai langkah preventif di kemudian hari.

Jika benar kedua korban meninggal karena bunuh diri, bisa jadi ini menjadi pembelajaran bagaimana lingkungan setempat memperlakukan tetangganya yang tiba-tiba meninggalkan atau menutup diri dari dunia luar.

“Bisa memahami bagaimana membantu orang yang tidak punya anak, itu yang penting…ketika orang terpisah, mereka harus bertahan hidup selama mereka hidup di masyarakat.”

“Kasus seperti ini tidak sedikit, tapi mulai bermunculan…tapi kenapa ada orang yang ditemukan terkunci di rumahnya tanpa mengetahui kondisinya?”

“Oleh karena itu, ada pencegahan, saling menghormati lingkungan. Apa penyelidikan polisi?

Kapolsek Cimahi Tri Suhartanto mengatakan, dua jenazah yang diduga ibu dan anak tersebut dibawa ke RS Bhayangkara Sartika Asih Kota Bandung untuk diautopsi.

Mudah-mudahan kita bisa melihat identitas aslinya dari tulangnya.

Tim forensik masih menunggu tes DNA untuk memastikan kedua jenazah tersebut diduga ibu dan anak, ujarnya saat ditemui di Mapolres Cimahi, Kamis (08/01).

Tri mengatakan, kendala yang ditemukan sejauh ini adalah keluarga Indah Hayati atau kerabatnya belum ditemukan.

Sebab, menurut informasi Tyandra – istri korban – diketahui Indah masih lajang dan belum ada informasi asal usulnya.

“Saat proses pernikahan, terduga korban [Ibu Inda] tidak didatangi keluarga karena tinggal sendiri dan tidak mempunyai anak. Oleh karena itu, tidak jelas di mana dia tinggal dan dari mana asalnya.”

Dia tidak dapat menemukan penyebab kematiannya.

Meski marak tudingan keduanya bunuh diri –bicara soal surat wasiat yang tertulis di dinding– Tri mengaku tak mau langsung mengambil kesimpulan.

Polisi tidak menemukan senjata atau bahan kimia apa pun di lokasi kejadian yang diduga digunakan korban untuk bunuh diri.

“Namun, kami telah mengambil beberapa sampel tanah dan air untuk dianalisis.”

Terkait tulisan di dinding, Tri mengatakan konflik keluarga mungkin menandakan kekhawatiran.

Namun untuk memastikan kembali apakah memang benar Inda dan putranya yang menulis pesan tersebut, polisi memerlukan bukti pembanding.

Sejauh ini, polisi sudah memeriksa puluhan saksi, termasuk Mujoyo Tjandra. Dari hasil pemeriksaan diketahui ia keluar rumah antara tahun 2014 hingga 2015.

Istrinya Indaha Hayat saat itu berusia 45 tahun, dan putranya Elia berusia 14 tahun.

Berdasarkan penjelasan Tri, Tjandra mengaku sudah beberapa kali menghubungi pihak keluarga dan terakhir kali berbicara dengan putranya pada 1 November 2018.

Namun pada Desember 2018, WhatsApp hanya memiliki satu pin atau sudah tidak aktif lagi, kata Tri.

Koresponden Yuli Saputra di Bandung berkontribusi pada laporan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *