TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Game online MAFIA pun mulai menyasar anak-anak sekolah dasar sebagai pangsa pasarnya. Hampir setengah juta anak di Indonesia kecanduan judi online.
Mengutip data Tim Pemberantasan Perjudian, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mengatakan, anak-anak yang kesulitan menghadapi perjudian online adalah anak-anak yang berusia 10 tahun ke bawah. 400.000 sisanya masih muda.
Ai mengatakan, data tersebut menjadi acuan dalam memberikan perlindungan tunjangan anak. Ai mengatakan anak-anak yang terpapar harus dihubungi untuk mendapatkan perawatan dan rehabilitasi.
“Kita perlu memikirkan langkah-langkah terstruktur untuk menjangkau anak-anak ini, bukan hanya dalam hal penutupan data atau situs web, yang terus kita nikmati hingga saat ini,” kata Ai.
Komisioner KPAI Kawiyan Fenomena perjudian online yang menimpa anak-anak memang sangat mengkhawatirkan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), 88,9 anak Indonesia usia 5-17 tahun terhubung dengan internet dan sebagian besar menggunakan media sosial.
Tanpa kontrol dan pendampingan orang tua, anak akan lebih rentan terhadap konten media sosial, termasuk perjudian online, ujarnya.
Saat ini, orang tua yang punya waktu untuk memantau seringkali kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman digital, kata Kawiyan.
Di sisi lain, orang tua yang memiliki kemampuan literasi digital tidak mempunyai waktu untuk memantau anaknya.
Tentu saja kontrol dan dukungan orang tua terhadap anak sangat penting. Banyaknya konten di media sosial yang tidak sesuai dengan usia anak juga menjadi faktor yang membuat anak ketagihan. Termasuk internet. Konten perjudian dan iklan online “Faktanya, sebagian besar konten game online dirancang untuk menarik perhatian anak-anak dengan penampilan yang menarik.”
Psikolog Prita Pratiwi mengatakan bahwa judi memang sangat menggiurkan karena memberikan rasa prestasi dan kepuasan saat memenangkan permainan, serta rasa penasaran saat gagal dalam permainan.
Dalam permainan online, permainan pertama yang mudah akan sulit untuk dimenangkan. Untuk membangkitkan rasa penasaran, seringkali pemain sengaja ditempatkan pada posisi yang agak “jauh dari kemenangan”.
“Rasa ingin tahu yang panjang membuat pemain menginginkan rasa puas sehingga sulit untuk dihentikan,” ujarnya.
Sayangnya, perjudian juga mulai mempengaruhi pelajar.
“Siswa masih dalam tahap praremaja, hingga remaja masih dalam tahap labil. Pertimbangan yang mereka gunakan dalam mengambil keputusan masih belum jelas. Masih diliputi emosi, kata Prita.
Di sisi lain, kebutuhan untuk merasa puas dengan suatu keberhasilan tertentu sangat penting bagi mereka.
“Sehingga pelajar lebih rentan terhadap perjudian online,” ujarnya.
Ari Ganjar Herdiansah, sosiolog Universitas Padjadjaran, mengatakan peningkatan perjudian online belakangan ini salah satunya disebabkan karena program perjudian dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Kemudahan transaksi finansial pada game online juga menjadi salah satu pendorongnya.
“Hanya dengan pulsa Rp 10.000 saja sudah bisa digunakan untuk top up deposit judi online. Membeli deposit sembako dalam jumlah kecil menjadi lebih mudah akhir-akhir ini,” ujarnya.
Ari mengatakan, kekhawatiran masyarakat terhadap perjudian online sudah ada sejak lama. Kasus terkait dampak negatif perjudian online terhadap masyarakat semakin marak.
“Tetapi pemerintah tidak terlalu responsif,” katanya.
“Pemerintah seharusnya sudah membentuk satuan tugas untuk menindak perjudian online sejak lama.”
Menurut Ari, buruknya kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat juga menjadi penyebab maraknya perjudian online di Indonesia.
“Judi online dipandang sebagai harapan untuk keluar dari masalah,” ujarnya.
Menurut Ari harus diakui permainan judi online menghadirkan adrenalin dan rasa penasaran. Bagi para pemain, ini juga merupakan hiburan yang dapat diakses.
“Tapi kan ketagihan, jadi yang terdampak ekonomi bukan hanya masyarakat, tapi semua kalangan, termasuk ASN dan pelajar,” ujarnya.
Perjudian online beroperasi di ruang privat pada perangkat individu, sehingga menyulitkan pengelolaan komunitas sekitar, termasuk keluarga.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan keseriusan pemerintah.
“Karena fokus game online ada di Internet yang dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Harapan lainnya adalah peningkatan pengawasan sosial dari lembaga-lembaga sosial, mulai dari keluarga keagamaan, pemerintah daerah (RT/RW) dan kelompok masyarakat sipil lainnya.
“Mereka perlu aktif berkampanye melawan bahaya perjudian online,” ujarnya. 80.000 korban perjudian online, 440.000 penjudi berusia di bawah 10 tahun, 520.000 penjudi berusia di bawah 21 tahun, 1,6 juta penjudi berusia 21-30 tahun 30-50 tahun 1,35 juta Pemain di atas 50.000 – Besar Rp010.000 – Besar Rp000.000 – Besar Rp010.000 Rp 40 miliar
(nandri prilatama / tidur siang terpisah)