TRIBUNNEWS.COM – Program pemerintah khususnya Tabungan Masyarakat Perumahan (Tapera) diusulkan untuk ditunda hingga tahun 2027.
Hal itu disepakati Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sistem Tapera memiliki kebijakan pengurangan gaji pekerja akibat iuran Tapera yang menimbulkan untung rugi bahkan kemarahan masyarakat.
Kemarahan masyarakat itulah yang membuat Basuki menyayangkan program Tapera.
“Dengan kemarahan ini, saya kira saya sangat menyayangkannya,” ujarnya usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi V DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Menurut Basuki dan Sri Mulyani, jika ada usulan penundaan dari DPR dan MPR, Basuki dan Sri Mulyani akan menerimanya.
“Jadi misalnya ada usulan (penundaan), apalagi DPR, Ketua MPR misalnya minta ditunda dan saya sudah menghubungi Menteri Keuangan (Sri Mulyani), kami juga akan melakukannya. ikut saja (dan terima penundaannya),” kata Basuki.
Basuki sendiri menilai program Tapera tidak perlu dilakukan secara terburu-buru.
Apalagi jika tidak operasional.
Menteri PUPR mengatakan pemerintah telah mengembangkan regulasi Tapera sejak 2016.
Ia dan Sri Mulyani kemudian melakukan pengecekan kredibilitas hingga akhirnya pengumpulan donasi ditunda hingga tahun 2027.
“Sebenarnya undang-undang itu dari tahun 2016. Lalu kita dan Menteri Keuangan bangun dulu kredibilitasnya, itu soal kepercayaan. Makanya kami tunda sampai 2027,” ujarnya.
Karena itu, Basuki mengaku setuju bila DPR atau MPR mengusulkan penundaan kontribusi Tapera.
Sebab, menurutnya, program Tapera juga harus memperhatikan kemauan masyarakat. Jokowi mendemonstrasikan mundurnya Tapera
Ketua Umum Partai Buruh sekaligus Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menggelar aksi demonstrasi pada Kamis (6/6/2024) bersama ribuan buruh untuk memprotes program penghematan perumahan rakyat (Tapera) yang dicanangkan pemerintah. .
Mereka meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Sebab, program tersebut dinilai menyusahkan masyarakat, terutama buruh, yang gajinya dipotong 2,5 persen dan perusahaan yang iurannya di Tapera dikurangi 0,5 persen.
Padahal, tanggung jawab pembangunan perumahan menjadi tanggung jawab Negara, sebagaimana diatur dalam pasal 28 (h) Undang-undang 1945.
Said menegaskan, pemerintah harus menyiapkan perumahan terlebih dahulu melalui Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) yang saat ini sedang berjalan.
Setelahnya, pembeli rumah akan diminta mencicil.
“Di semua provinsi misalnya ada Perumnas 1, Perumnas 2, Perumnas 3. Begitu rumah itu dibangun dari APBN atau APBN, disiapkan pembayaran angsuran yang akan dibayarkan oleh mereka yang memperoleh rumah tersebut,” dia kata Iqbal. , dikutip dari Wartakotalive.com.
Iqbal lantas mencontohkan, pemerintah mampu membangun satu juta rumah untuk buruh atau pekerja kasar di seluruh Indonesia.
Setelah itu, pemerintah membuat formula pembayaran angsuran.
Dengan demikian, gaji pekerja jelas dipotong untuk membayar pembayaran perumahan.
Sementara usulan lokasi Tapera yang diajukan pemerintah masih belum jelas, namun mereka diminta berkontribusi dalam posisi tersebut.
“Saya tidak tahu apakah (Tapera) akan menurunkan pengeluaran rumah tangganya sekarang, saya tidak tahu. Nah solusinya, Negara membangun dulu 1 juta rumah melalui APBN dan APBD,” imbuhnya.
Iqbal juga menanyakan lokasi perumahan jajahan yang dijanjikan pemerintah.
“Pertanyaannya sekarang apakah iurannya sudah dipotong dan rumahnya di mana? Pada tahun 80an dan 90an, seorang perwira prajurit TNI-Polri yang dipotong biaya rumahnya sudah mengetahui: Oh, rumahnya di Perumnas 1, Perumnas 2, Perumnas 3, di Bekasi, di Depok, Tangerang, di Perumnas Pondok Kopi Jakarta,” kata Iqbal, Kamis.
Atas dasar itu, Iqbal menuding pemerintah tidak berniat menyediakan perumahan bagi masyarakatnya.
Selanjutnya, Negara yang diukur dari pembayar pajak, yakni hanya pegawai dan perusahaan, hanya mempunyai tugas mengelola uang.
Oleh karena itu, Iqbal dan ribuan buruh menentang keras program Tapera yang baru-baru ini dicanangkan pemerintah.
“Hari ini kami mencoba menanyakan kepada BP Tapera dan para menteri di mana rumahnya. Jika program ini dilaksanakan, gaji mereka akan dipotong. Pertanyaan mudahnya adalah menanyakan di mana mereka tinggal terlebih dahulu.”
Niatnya bukan untuk menghibahkan rumah, kami hanya ingin memotong uang rakyat, kami menolak skema Tapera dan mencabut PP nomor 21 tahun 2024, kata Iqbal. Program Tapera dinilai tidak rasional
Program Tapera juga dinilai sangat tidak rasional jika dihitung berdasarkan nilai uang yang dipotong dari pekerja dan perusahaan.
Sedangkan diskon Tapera sebesar Rp 105.000 per bulan.
Rata-rata gajinya kini Rp 3,5 juta per bulan.
Jika dikalikan 12 bulan atau setahun, uang yang terkumpul hanya sebesar Rp 12,6 juta.
Sedangkan jika tabungannya mencapai 20 tahun, maka totalnya sebesar Rp 25,2 juta.
Menurut Iqbal sendiri, tidak ada rumah dengan harga segitu.
Faktanya, membayar uang muka rumah saja tidak akan cukup.
“Kalau ada rumah yang harganya antara Rp 12,6 juta hingga Rp 25,2 juta, uang muka rumah pun mungkin tidak cukup.”
“Oleh karena itu, Tapera hanya diperuntukkan bagi para tunawisma. Pertanyaannya, dana yang dihimpun itu untuk apa?,” kata Iqbal.
Artikel ini sebagian tayang di Wartakotalive.com dengan judul Jokowi Desak Mundur dari PP Tapera, Buruh Ancam Demo Serentak di Seluruh Nusantara
(Tribunnews.com/Rifqah/Chaerul Umam) (Wartakotalive.com/Fitriyandi Al Fajri)