TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Masih ingat penggerebekan 17 September 2009 atau 15 tahun lalu yang menewaskan Noordin M Top alias Noordin Mohd Top, gembong teroris?
Ya, Nurdin Densus 88 saat itu tewas di Desa Kepuh Sari, Mojosongo, Kota Solo akibat bom antiteroris.
Tak hanya M Top milik Nurdin, ada 3 orang yang tewas dalam penggerebekan tersebut.
Mereka adalah pengikut Nurdin Gempur Budi Angkoro alias Bagus Budi Pranoto alias Urwah, Ario Sudarso, dan Susilo alias Adib.
Urwa alias Gempur Budi Angkoro berasal dari Pondok Pesantren Darusi Syahadah, Simo, Boyolal.
Beliau merupakan lulusan dari Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruk.
Sedangkan Ario Sudarso alias Aji alias Mistam Husamudin alias Dukuh Kedungjampang berasal dari Desa Karangreja, Purbalingga, Kecamatan Kutasar, Jawa Tengah.
Korban meninggal kedua yang diketahui bernama Adibi alias Susilo, mengaku kepada Al Kahfi Mojoson bahwa dirinya saat itu bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah pesantren.
Istri Susilo, Putri Munawaroh, juga berada di rumah yang ditempati namun lolos dari maut.
Saat Susilo menyambangi rumah yang disewanya sebelumnya, ia melihat ada tangga bambu yang tergantung di teras rumah bercat putih di pinggiran kampung di Kelurahan Mojosongo, Kota Solo.
Cat warna pink pada bagian atap dan pilar teras terlihat pudar atau pudar. Pintu rumahnya terbuka.
Meteran listrik sepertinya sudah dipindahkan atau dilepas.
Dilihat dari depan, rumah berukuran 5×10 meter itu tampak utuh dan bagus.
Kondisi ini jauh berbeda dengan fakta terakhir pada 17 September 2009 atau 15 tahun lalu.
Rumah ini telah hancur. Atapnya runtuh, pintunya rusak, dan dindingnya penuh lubang peluru.
Jelaga dari api menutupi dinding ruang tamu. Drama penyerangan
Menurut warga sekitar, drama penyerangan dan perburuan yang dilakukan Nurdin Mohd Topi dan komplotannya di Mojosongo sangat dramatis.
Hendry, Ketua RT 03 yang saat ini bertugas memantau kondisi rumah, masih ingat jelas, penggerebekan terjadi menjelang tengah malam. Kondisi terkini rumah kontrakan Susilo di Kampung Kepuh-Sari, Mojosongo, Kota Solo, tempat persembunyian teroris Nurdin Mohn Top. Noordin Mohd Top meninggal pada 17 September 2009, 15 tahun lalu dalam aksi bom antiteroris Densus 88.
Tapi dia saat ini menjadi salesman di tempat lain.
Istrinya ada di rumah ketika dia pertama kali mendengar suara tembakan.
Awalnya dia mengira itu suara petasan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB.
“Saya kira petasan. Tapi tetangga keluarga AURI bilang ada yang ditembak,” kata istri Hendry yang enggan disebutkan namanya, Kamis (18/7/2024).
Begitu dia keluar rumah, warga lain menyadarinya, dan jalanan desa dipenuhi petugas.
Polisi menembak mati lampu jalan umum dan meminta warga mematikan lampunya.
“Desa itu langsung gelap gulita, dan suara tembakan semakin keras,” tambahnya.
Penghuni ring pertama secara bertahap dievakuasi, dan kawasan sekitarnya disterilkan oleh polisi.
Mereka tidak menyadari apa yang sedang terjadi sampai seseorang memberitahu mereka bahwa mereka sedang mencari kelompok teroris.
Tidak ada yang diberitahu siapa yang mereka buru.
Warga hanya mengetahui Susilo dan istrinya yang mengontrak rumah tersebut enam bulan lalu, tinggal di rumah yang dihuni.
Setelah tiga bulan tinggal di rumah kontrakan, Susilo menyerahkan KTPnya kepada Pak Suratmin, ketua RT 03 saat itu.
Selain itu, banyak warga dan penggarap yang tidak mengetahui aktivitas Susilo dan istrinya.
Mereka tidak mengecek secara detail benar atau tidaknya Susilo bekerja di pesantren, ujarnya. Namun istrinya, Putri Munawaroh, dengan sukarela mengajar pengucapan kepada anak-anak setempat di sore hari sejak dia tinggal di sana.
Penduduk setempat Susilo dan istrinya Nordin Mohd Top serta temannya Densus tidak menyangka mereka akan memperlambat perburuan.
Tindakan yang dilakukan di rumah tidak pernah mencurigakan.
Warga tidak melihat orang asing datang siang atau malam.
Karena itulah semua orang terkejut saat penyerangan itu terjadi.
Diketahui ada pendatang di rumah tersebut, dan jumlahnya ternyata tiga orang.
Menurut istri Hendry, tanda tanya muncul di benak warga belakangan ini ketika Susilo membeli air berliter-liter.
Pembelian air galon secara rutin menjadi tanda tanya karena warga mengetahui hanya ada dua orang di rumah tersebut.
Konsumsi air galon pada saat pembelian seringkali dianggap tidak praktis karena air PDAM digunakan di rumah.
“Tapi ya, itu hanya pertanyaan saja, tidak ada yang lain,” kata perempuan yang tinggal di depan rumah kontrakan itu.
Tanda tanya lainnya adalah pintu rumah Susilo selalu tertutup rapat.
Beberapa warga yang enggan disebutkan namanya mengatakan kepada Nordin Mohd Topk bahwa perampokan itu diprakarsai oleh orang asing, padahal di teras ada anak-anak yang sedang belajar membaca Alquran. seminggu yang lalu di desa.
Ada pula yang diam-diam berjualan tsilock dan bakso.
Ada pula yang mencari plastik dan sampah plastik.
Ada juga yang berpura-pura berburu burung.
Mereka berjalan-jalan di desa setiap hari, dan para pemburu burung masih berkeliaran di lahan kosong di belakang rumah kontrakan di tepi sungai kecil.
Tampaknya lokasi rumah persembunyian Nurdin Mohd Group dipilih karena sangat strategis. Di belakangnya ada taman kosong yang mengarah ke sungai.
Tidak ada rumah atau bangunan sampai sempadan sungai. Dari sisi lain Anda bisa mencapai desa Badran.
Jadi sangat cocok untuk jalan keluar atau lari jika terjadi sesuatu.
Terdapat juga tanah di sisi kiri pintu belakang rumah kontrakan sebelum masuk ke area rumah tetangga.
Laporan wartawan Tribun dari lokasi kejadian pada 17 September 2009 memperlihatkan suasana dan keterkejutan warga Kepuh Sari.
Saya sungguh tidak menyangka,” kata Sulini (34), yang tinggal di depan rumah kontrakan Susilo.
Wanita tersebut menilai Susilo dan istrinya adalah pasangan yang baik dan sopan karena dia tinggal di rumah tersebut.
Namun mereka tidak serta merta melaporkan identitasnya kepada ketua RT.
Susilo berkali-kali mengingatkan tetangganya untuk melaporkan kehadirannya kepada aparat setempat.
Berdasarkan KTP yang dikirimkan, Susilo berasal dari kawasan Pajang, Loweyan, Solo.
Sedangkan istrinya tinggal di Banaran, Grogol, Kabupaten Sukoharjo.
Sekilas kita bisa mengingat, penggerebekan rumah singgah Nurdin Mohd Toph terjadi ketika sekelompok orang mengetuk pintu rumah Widodo di dekat rumah kontrakan Susilo dan meminta pemilik rumah mematikan lampu.
Tak lama kemudian, terdengar suara tembakan ke arah rumah Susilo dan keluarga Wido diminta berbaring.
Dari rumah Susilo terdengar suara seorang pria meneriakkan Takbir. Tembakan terdengar satu demi satu.
Rumah sewaan itu dikelilingi di semua sisi.
Sekitar pukul 00.00 WIB, baku tembak semakin sering terjadi.
Satu jam kemudian, tembakan mereda dan atap rumah meledak sekitar pukul 01.00 akibat ledakan dan percikan api.
Sekitar pukul 02.30 terdengar rentetan tembakan lagi, setelah itu tidak ada suara yang terdengar hingga subuh tanggal 17 September 2009.
Aparat keamanan, pemadam kebakaran, ambulans dan kendaraan polisi Inafis membanjiri Desa Kepuh Sari.
Polisi mengevakuasi kotak berisi amunisi, kantong bahan peledak, gulungan kabel dan barang bukti lainnya.
Setelah itu, empat unit ambulans meninggalkan lokasi penyergapan pada waktu berbeda dengan membawa empat kantong jenazah.
Selepas siang hari, warga melihat ada juga suara tembakan dari rumah Susilo.
Terdapat lubang peluru di dinding rumah seberang rumah kontrakan yang diserang.
Warga kemudian mendengar bahwa Putri Munawaroh yang sedang hamil selamat dengan berlindung di kasur gulung di kamarnya.
Sedangkan Nurdin Mohd Top, Urwa, Ario Sudarso, dan Susilo alias Adib ditemukan tewas di kamar mandi dan dapur belakang rumah.
Seorang anggota Densus 88, organisasi antiteror yang ikut serta dalam penggerebekan itu, mengatakan kepada Tribun bahwa Nurdin Mohd Top mengalami cedera kepala serius.
Namun wajahnya masih bisa dikenali.
Ia menggambarkan Nurdin Mohd Top memiliki janggut yang sangat tebal dan janggut keriting yang tergerai.
Tubuhnya sangat tinggi dan atletis. Rambutnya tebal dan lurus. Penampilannya sangat berbeda dengan potret diri dan sketsa para penjaga.
“Kalau kami melihatnya, pasti sulit sekali mengenalinya dari tampilan akhir dan wajahnya yang seperti itu. Beda sekali dengan foto dan sketsa kami,” ujarnya di sebuah kafe di pinggiran Solo.
Serangan Mojosongo mengakhiri aktivitas Kelompok Nurdin Mohd, yang dikenal sebagai perekrut dan ideolog penting kelompok teroris Indonesia.
Nurdin Mohd Top terlibat dalam aksi bom pertama di Bali, namun perannya tidak begitu penting dan dominan seperti pada serangan-serangan berikutnya.
Sebagai seorang perekrut dan ideolog, dia kehilangan dukungan dari para Muklos besar.
Baru setelah Muklas dan kawan-kawan ditangkap dan melarikan diri, perannya menjadi penting.
Peran Noordin Mohd Top dalam bom Bali kedua sangatlah krusial.
Sebuah video yang menggambarkan misi kampanye dirilis ke publik.
Mengenakan jubah panjang dan beribbon atau hiasan kepala, Nurdin Mohd Top menjelaskan maksud pengeboman kedua di Bali pada 1 Oktober 2005.
Bom Bali kedua dirancang oleh Nordin Mohd Top bersama seniman asal Banten.
Bom yang digunakan adalah buatan Dr. Azhari dari Malaysia.
Seorang dokter asal Universiti Teknologi Malaysia akhirnya mengakhiri nyawanya saat bersembunyi di sebuah rumah di Desa Songgokerto, Batu, Malang, Jawa Timur.
Rumah persembunyian Dr. Azhar digerebek pada 9 November 2005, sebulan setelah bom Bali.
Azhari bin Nurdin tewas bersama pengikutnya Armani yang diyakini ahli pembuatan bom.
Arman alias Agus Puryanto tinggal di Vidodaren, Ngawi.
Keberadaan dr Azhar dipastikan berada di sebuah rumah di Batu setelah komplotannya Cholili ditangkap di dekat Semarang.
Pagi hari sebelum penggerebekan, Cholili rupanya meninggalkan Batu dan naik bus menuju Semarang.
Pembubaran Jemaah Islamiyah atau JI pada 30 Juni 2024 membuka lembaran baru dalam sejarah terorisme Indonesia.
Sebuah rumah kosong di Desa Kepuh Sari, Mojosongo, sebelah selatan kawasan TPA Putri Cempo, menjadi saksi bisu jejak darah yang ditinggalkan orang-orang yang diusung JI saat itu. (Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)