Laporan jurnalis Wartakotalive Nuri Yatul Hikmah
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kehidupan pernikahan di rumah pinggir jalan sempit bukanlah impian Nuri (38). Warga Gang Venus, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat sudah 14 tahun tinggal di rumah dengan suasana gelap dan minim sinar matahari.
“Saya tinggal di sini sejak 2010, karena saya bersama suami. Suami saya sudah tinggal di sini sejak kecil,” kata Nuri saat ditemui, Kamis (13 Juni 2024).
Diakui Nuri, rumah yang ia tinggali bersama suaminya berada di kawasan padat penduduk, sempit, dan lembab. Rumah Nuri hanya berukuran 5 x 5 meter. Bagian kanan, kiri, depan, dan belakang rumah bertingkat Nuri berdekatan dengan rumah warga lainnya.
Terdapat jalur pejalan kaki tepat di tengahnya, yang merupakan satu-satunya akses menuju kawasan padat penduduk ini.
“Senang rasanya tinggal di sini kalau siang hari bisa bersantai, sibuk sekali,” ujarnya.
Nuri sebenarnya juga khawatir suatu saat ia atau keluarganya akan jatuh sakit karena lingkungan sekitar lembab. “Lembap, tali jemuran terlalu banyak, terlalu sempit,” jelas Nuri.
“Ya, saya khawatir (tentang penyakit itu). Tapi di sini jarang terjadi, kebanyakan gejalanya hanya batuk dan pilek, tidak ada yang serius,” imbuhnya.
Selain khawatir dengan penyakit tersebut, Nuri juga mengaku khawatir dengan kemungkinan terjadinya kebakaran. Pasalnya, rumahnya dan bangunan lain di sekitarnya terbuat dari bahan semi permanen.
Selain itu, kawasan sekitar rumahnya kerap terkena kebakaran akibat kepadatan penduduk. “Ya, saya khawatir ada contoh kebakaran seperti itu karena di sini terlalu ramai dan sering terjadi kebakaran,” kata Nuri.
“Tapi bukan di sini (Jalur Nuri) yang terjadi kebakaran, tapi mungkin di RT lain. Tergantung masyarakatnya juga,” ujarnya lagi.
Menurutnya, kendala terbesar di jalan sempit dan gelap ini adalah ketersediaan air yang seringkali terbatas.
Kadang-kadang ia mengambil air dari surau atau membeli air dari tabung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kawasan Gang Venus di Tambora, Jakarta Barat, sangat ramai. Jalan yang hanya bisa dilintasi dua pejalan kaki sekaligus itu dipenuhi rumah-rumah yang atapnya saling menyambung.
Selain itu, beberapa kabel, triplek, dan lembaran asbes ditumpuk satu sama lain agar tidak ada celah yang dapat masuknya sinar matahari.
Begitu pula pakaian warga yang dijemur di antara dua rumah yang saling berhadapan.
Gang itu selalu tampak seperti malam, padahal matahari sudah bersinar terang.
Memang benar, menyusuri jalan raya pada Kamis (13/6/2024) itu, terik matahari tak terasa hingga ke rumah warga.
Koridor itu terasa lembap dan basah karena air mengalir ke seluruh saluran air.
Berdasarkan pengamatan di lokasi, sebagian besar rumah merupakan rumah semi permanen berlantai dua.
Setiap rumah berbentuk sebidang tanah dengan luas kurang dari lima meter persegi.
Dinding lorong juga tampak sobek dan tidak tersemen seluruhnya.
Meski begitu, jalan-jalan anak-anak dan perbincangan hangat para penghuni gang seolah menciptakan suasana bersahabat di dalam.
Jangan tanya berapa kali Anda mendengar kata “maaf” saat Anda berjalan menyusuri lorong.
Pasalnya, poke sudah menjadi makanan sehari-hari. Pasalnya, di kanan dan kiri pintu masuk gang terdapat beberapa mobil, sepeda motor, bahkan bangku plastik untuk menonton TV dari luar, berjejer.