Pengamat perumahan percaya bahwa kecuali pemerintah terlibat dalam kepemilikan tanah, harga tanah, dan pengembangan kawasan baru, kebijakan Tapera untuk berkontribusi dalam menyediakan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat “tidak ada gunanya”.
Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 21 Tahun 2024 mewajibkan pegawai menjadi anggota Badan Pengelola Simpanan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Dengan demikian, pegawai yang berpenghasilan lebih dari UMR akan mendapat iuran sebesar 3% dari gajinya.
Oleh karena itu, menurut Profesor Jehansya Siregar dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB), kebijakan iuran Tapera sebaiknya dibatalkan karena hanya itu tujuannya. Pengumpulan dana dari pihak yang berisiko disalahgunakan, seperti skema jaminan sosial Asabri, Jivasraya, dan Taspen.
Meski demikian, Tapera, Ketua Kepresidenan Moeldo, mengatakan program donasi tersebut tidak akan ditunda dan akan dilanjutkan pada tahun 2027.
Komisioner Badan Pengelola Tapera (BP) Heru Pudyo Nugroho mengatakan penerapan program Tapera penting untuk mengurangi kesenjangan dan keterlambatan kepemilikan rumah yang telah mencapai 9,95 juta anggota keluarga. Video tersebut mendapat kecaman dari warganet
Kebijakan terbaru pemerintah, Tapera, atau Tabungan Perumahan Rakyat, menuai kontroversi.
Di jejaring sosial
Bayangkan gaji pekerja Rp 10 juta, lalu PPh atau yang disebut PPh 21 2%, BPJS Kesehatan 1%, BPJS Ketenagakerjaan 2%, Jaminan Hari Tua 1%, lalu itu Tapera. meningkat,” ujarnya. akun @ribkadel.
“Tidak apa-apa, aku sudah potong 8,5%, itu Rp 850.000, ditambah Rp 500.000 sebagai potongan PPN atas pembelianmu. Aku kerja tiap bulan sampai nangis, ehhh hilang begitu saja,” sambungnya.
M.D. Mahfoud, mantan Menteri Politik, Hukum dan Keamanan, juga berkomentar. Ia mengatakan, pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan suara warga terkait Tapera.
“Jika tidak ada jaminan para penabung akan mendapatkan perumahan dari pemerintah, maka perhitungan matematisnya tidak ada artinya,” kata Mahfoud, MD. “Suara masyarakat harus benar-benar diperhatikan untuk dana jaminan perumahan pemerintah (Tapera). Tanpa ada kebijakan yang menjamin para penabung akan mendapat perumahan dari pemerintah, perhitungan matematis pun tidak ada artinya. Misalnya: Rakyat. Mereka mendapat gaji sebesar Rp 5 juta per bulan.”
Notorious @solehsolihun Tapera menegaskan, tidak masuk akal jika pekerja dengan gaji 10 juta rupiah membutuhkan waktu 100 tahun untuk memiliki rumah.
“Jika gaji Anda Rs 10 lakh per bulan, dengan potongan Tapera 3%, Anda akan mendapat Rs 3,6 lakh setiap tahun. Jadi setelah 100 tahun menabung, Anda akan mendapatkan rumah senilai Rs 360 lakh. Bagaimana cara menghitungnya? ?” Tapera masalahnya tidak ada angin dan hujan, dan pada akhirnya kelas pekerja menanggung beban berbagai rencana keuangan. Tidak ada penjelasan yang tepat.”
Komedian @kikysaputrii pun menyebut Tapera sebagai gudang kesengsaraan masyarakat. taper Tabungan perumahan rakyat atau tabungan penderitaan rakyat Aaaaaaaa~~ Pemerintah mana yang menciptakan Tapera?
Komisaris BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menjelaskan, program donasi Tapera bertujuan untuk mengurangi ketimpangan perumahan yang berdampak pada 9,95 juta anggota keluarga.
Sementara itu, katanya, kemampuan pemerintah menyediakan perumahan sangat terbatas. Oleh karena itu, penerapan Tapera dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan tersebut.
Meningkatnya kebutuhan menyebabkan 700.000 hingga 800.000 keluarga kehilangan tempat tinggal setiap tahunnya, jadi kalau kita hanya mengandalkan pemerintah, tidak akan ada penundaan, kata Budi saat konferensi pers di Kantor Presiden. Jakarta, Jumat (31/05).
“Jadi harus ada model besar yang melibatkan masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama. Konsepnya bukan premi, tapi tabungan,” lanjutnya.
Dia menambahkan, para pekerja yang mendapatkan perumahan akan menggunakan sebagian dari tabungannya untuk memberikan hipotek kepada para tunawisma.
Hal ini dilakukan agar suku bunganya lebih rendah dibandingkan KPR komersial yang saat ini berkisar di kisaran 5%.
“Lalu kenapa ikut menabung? Ya prinsip gotong royong ada di undang-undang [UB tanggal 04/04/2016]). Siapa saja peserta Tapera?
BP Tapera menyatakan seluruh pegawai di Indonesia tidak boleh menjadi peserta Tapera.
Budi Pudyo Nugroho mengatakan, UU 4 Tahun 2016 menjelaskan bahwa hanya pekerja yang berpenghasilan di atas upah minimum yang akan ditanggung oleh peserta.
Dengan menjadi anggota Tapera, pekerja mandiri harus membayar 3% dari gajinya, dan pekerja swasta, ASN, TNI/Polri, dan BUMN harus membayar 2,5%.
Hal ini tidak wajib bagi pekerja yang dibayar kurang dari upah minimum. Apa saja penerima manfaat Tapera?
Sesuai Pasal 37 Pasal 25 Tahun 2020 Pemerintah tentang Penciptaan Tabungan Perumahan Rakyat, manfaat Dana Tapera diberikan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan jangka waktu sampai dengan 30 tahun, bunga 5%, sampai dengan pembayaran tetap. dibayar, dan 0 pembayaran Kredit Pembangunan Rumah (KBR) bunga 5%, angsuran tetap sampai dengan maksimal 15 tahun. Kredit Renovasi Rumah (KRR) bunga 5%, tenor tetap, 5 tahun.
Namun manfaat Tapera hanya berlaku bagi: Anggota Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang belum memiliki rumah dan/atau sedang membiayai kepemilikan rumah pertama, membangun rumah pertama, atau merenovasi rumah pertama. jangka waktu minimal 12 bulan
Dalam beleid tersebut juga disebutkan bahwa MBR adalah MBR yang berpenghasilan Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan khusus di wilayah Papua dan Papua Barat.
Sedangkan pekerja non-MBR yang masih menjadi peserta namun belum menerima fasilitas KPR, KBR, dan KRR berhak mendapatkan pengembalian uang jaminan pokok beserta pendapatan pupuk. Apakah program Tapera sudah optimal?
Jehansya Siregar, Kepala Bagian Perumahan Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan program Tapera tidak masuk akal dalam menyediakan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat.
Pertama, tidak mungkin membeli apartemen dengan harga pasar dengan diskon 2,5-3% dari pemerintah.
Jehansya mengatakan, lokasi rumah tersebut “tidak mungkin” atau jauh dari kota.
“Tidak logis kalau punya rumah yang kurang pintar,” kata Jehansyah kepada BBC News Indonesia.
“Perumahan bersubsidi KPR senilai $180 juta hanya dapat berlokasi di wilayah yang biayanya lebih dari $250.000 per meter persegi.”
Jadi menurut saya lokasi rumah Tapera akan lebih jauh lagi. Tangerang, mungkin nanti bisa ke Serang atau Chilegon, itu bukan solusi perumahan murah.”.
Kedua, pemerintah hanya menawarkan skema pembiayaan perumahan tanpa campur tangan penguasaan lahan, harga, atau pengembangan kawasan baru.
Menurutnya, agar perumahan bisa diakses warga di banyak negara, pemerintah harus menciptakan produksi terlebih dahulu.
Hal ini dapat dilakukan dengan membeli tanah terlantar dengan harga murah kemudian menata perumahan, termasuk penataan ruang.
Jika sudah mempunyai rencana, langkah selanjutnya adalah memperkuat penggerak komunitas seperti Perumnas di masing-masing daerah. Terakhir, memikirkan pembiayaan yang tepat.
“Jangan jadi orang yang mengambil uang dari pemerintah. Bicara soal perumahan, sisihkan dan anggarkan, baru pembiayaan perumahannya dulu.”
“Misalnya di Soreang [Bandung], ada lahan 300 hektar, tapi tidak ada satu pun proyek [perumahan] pemerintah. Pembayarannya dilakukan oleh pemerintah, tetapi semuanya dilakukan oleh swasta.”
“Selain itu, harus jelas bahwa Tapera tidak punya pengalaman membangun rumah dan mengembangkan kawasan dan kota baru. Nol semua, kita bicara penghematan rejeki nomplok.”
Tiga pengiriman.
Namun sebagian besar gedung TOD di kota besar seperti Jakarta dikuasai oleh pengembang swasta, bukan pemerintah, kata Jehansya.
“Untuk ibu kota, untuk mengatasi minimnya ruang terbuka hijau dan permasalahan antar pemukiman, perlu dibangun minimal rumah hunian seperti Rusunawa Jatingara Barat yang harus ditingkatkan.”
“Tidak ada tempat tinggal TOD yang terjangkau.”
Menurut Jehansya, pendanaan Tapera yang mengambil uang masyarakat atas nama “gotong royong” bisa disebut penipuan.
Pada akhirnya, kata dia, tanggung jawab penyediaan perumahan bagi warga berada di tangan pemerintah, bukan masyarakat.
Kewajiban tersebut, lanjut Jehansya, tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 yang dapat diartikan sebagai tanah yang semula milik negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Ia mencontohkan Singapura, dimana 80 persen proyek perumahan di sana dikendalikan oleh pemerintah daerah, dimana mereka mampu menyediakan perumahan bagi para pekerjanya.
Oleh karena itu, tidak ada gotong royong karena kita membayar pajak.
“Kalau saya sebutkan lagi, itu namanya penipuan. Hanya BPJS saja yang bisa membuat program perumahan untuk pekerja, tidak korupsi, lebih baik.” Bagaimana reaksi karyawan?
Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Ellie Rosita SIlaban mengatakan buruh dan aktivis tidak ikut serta dalam debat Tapera.
Jadi mereka menolak kebijakan tersebut. Alasannya, Tapera tidak ikut serta dalam kepengurusan Badan Pengusahaan (BP) dan tidak ada keterwakilan pekerja maupun pengusaha.
Selain itu, terjadi penolakan karena tumpang tindih peraturan Tapera.
Program rekrutmen serupa untuk BPJS adalah dalam bentuk program Jaminan Hari Tua (JHT).
“Kalau terlibat, tidak akan kasar, tidak mau mengulas, tidak menolak. Kita sudah bayar selama 58 tahun. Rumahnya mana? Tanahnya mana?” kata Rosita dalam jumpa pers di Jakarta. . Demikian dilansir Detik.com pada Jumat (31/5).
Lanjutnya, KSBSI sedang mempertimbangkan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung jika tidak ditinjau.
Uji regulasi diarahkan pada Pasal 7 yang memuat kewajiban iuran. Menurutnya, jika Tapera menggunakan konsep tabungan, sebaiknya bersifat sukarela dan tidak wajib.
Menurut KSBSI, pada tahun 2016 Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani melakukan protes sebelum tahun 20214 disetujui.
“Kami sudah menyampaikan pandangan kepada Presiden dan memberikan kontribusi, namun kami belum mendapat tanggapan apa pun hingga peraturan pemerintah ini (21.2024) terbit. Pemerintah mungkin punya posisi sendiri mengapa harus dilanjutkan. Makanya kami berpendapat demikian. .memperjelas.