Laporan Jurnalis Tribunnews.com Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setelah 10 tahun mengikuti skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pensiunan Aida (63) mendapatkan manfaat dari BPJS kesehatan.
Selama ini manfaat program JKN sudah dirasakan oleh orang-orang terdekat Aida, yakni mendiang suaminya Ahmed.
Mantan guru SMA ini telah menjadi peserta BPJS kesehatan sejak tahun 2014 dan wajib membayar iuran sebagai pegawai negeri (PNS) pada tahun tersebut.
“Awalnya seperti ‘dipaksa’ karena harus mengurangi pendapatan yang sudah berkurang banyak, lagi-lagi untuk BPJS kesehatan,” ujarnya saat berbincang dengan Tribunnews.com.
Sejak 2014, Ahmed harus bolak-balik ke rumah sakit karena penyakit jantung koroner.
Kalau tidak ada skema BPJS, biayanya akan sangat besar.
“Itu Rp 800.000,- untuk sekali bayar obat, dan saya harus ke rumah sakit beberapa kali dalam waktu yang bersamaan. Kalau tidak disediakan oleh BPJS, saya rasa tidak mampu dengan biaya sendiri. .”. dia berkata.
Biaya pengobatan pria tersebut tidak dapat diperkirakan.
Dalam setahun, Ahmed dirawat di rumah sakit 2-3 kali.
Selain itu, Ahmed tak berhenti mengonsumsi obat yang diresepkan dokter untuk menstabilkan jantungnya.
Usaha manusia bisa maksimal namun Tuhan memutuskan suaminya meninggal pada April 2022.
Selama hampir 8 tahun, biaya pengobatan suami ditanggung oleh PBJS Kesehatan.
“Manfaatnya banyak sekali. Bukan buat saya yang akan langsung memanfaatkannya, tapi orang-orang di sekitar saya dan orang lain pasti akan banyak terbantu dengan iuran yang dibayarkan setiap bulannya. Makanya saya sering cerita ke orang-orang di sekitar saya, kalau Anda Jika kamu sakit, kamu harus punya BPJS kesehatan “Ketika kamu memberi kesehatan, berarti manfaatnya diberikan kepada orang lain. , tidak pernah rugi,” kata Aida.
Selain penyakit jantung, mendiang suaminya juga menjalani operasi katarak pada matanya yang memakan biaya Rp 13.000.000 jika dilakukan atas biaya sendiri.
Namun sekali lagi, BPJS mempermudah segalanya.
Meski sudah pensiun, Anda tetap bisa menggunakan BPJS.
Pada bulan terakhir puasa, Aida pergi ke fasilitas kesehatan atau sanatorium terdekat untuk mengobati gejala asam uratnya.
Dulu untuk mengobati kutil di gigi dan leher, tapi ditolak karena dianggap estetik. Dulu dipakai pertama kali saat bulan puasa. ,” dia berkata.
Aida mengatakan, banyak perubahan yang ia alami dalam pelayanan sejak mendiang suaminya bolak-balik ke rumah sakit.
Dalam satu dekade proyek JKN, terjadi peningkatan pelayanan.
Mulailah dengan surat rujukan yang menanyakan fasilitas rumah sakit yang tersedia.
Beberapa waktu lalu, Ida harus pergi bersama kakak iparnya untuk cuci darah ke rumah sakit yang sama tempat suaminya dirawat sebelumnya.
Dari pelayanan petugas kesehatan, Anda tidak akan lagi melihat wajah-wajah lengket dan marah saat melayani pasien.
Fasilitas kamar juga tersedia sesuai member.
“Dulu Pak peserta dikasih ruang kelas 1 kalau muat, tapi selalu disuruh penuh, jadi dirawat di kelas 2. Tapi sekarang cocok untuk kelas partisipasi,” ujarnya.
Selain itu, kualitas pengobatan juga meningkat.
Pihak rumah sakit segera merujuk pasien ke rumah sakit yang lengkap apabila kondisi pasien sudah tidak dapat lagi dirawat di rumah sakit daerah.
“Di sisi lain, PBJ juga perlu ditingkatkan. Seperti masalah seringnya resep kosong. Pasien harus ke rumah sakit atau apotek untuk mencari obatnya sendiri. Juga klasifikasi penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, juga harus disesuaikan. diklarifikasi. “Meski kutil ini berbahaya bagi kesehatan, namun dianggap estetis,” ujarnya.
Ibu rumah tangga Yana (63) juga merasakan hal serupa.
Ia membayar iuran BPJS kesehatan secara mandiri.
Setiap bulannya ia harus membayar sekitar Rp 200.000 per bulan kepada 4 anggota keluarga termasuk ibunya.
Ketika ibunya jatuh sakit akhir tahun lalu, BPJS Kesehatan sangat berguna.
Yana yang berdomisili di Jakarta mempercayakan seluruh pengobatan yang diterima ibunya kepada BPJS Kesehatan.
“Jauh dari orang tua tapi ada PBJS kesehatannya, jadi tenang. Tidak perlu khawatir soal biaya, karena penyakit ibu adalah penyakit yang ditanggung oleh PBJS. Itu wujud kasih sayang dan kepedulian terhadap” Ibu-ibu di desa,” jelas Yana.
Yana bercerai dan memutuskan pergi ke luar negeri 30 tahun lalu.
Segala kebutuhan ibu-ibu di desa selalu menjadi perhatian utama mereka, termasuk pelayanan kesehatan.
Yana kerap menggunakan BPJS untuk mengobati tulang dan persendian yang mulai ia rasakan.
Setiap bulannya harus tes ke puskesmas terdekat dan minta obat.
“Ada kegembiraan dari awal (PBJS) karena pengaturannya dilakukan dalam waktu singkat,” kata Yana.
Kesadaran untuk memberi manfaat tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga orang lain inilah yang membuat Aida dan Yana begitu setia membayar iuran PBJSnya.
Rasa gotong royong inilah yang membuat BPJS Kesehatan terus memperluas cakupan kepesertaan skema JKN dalam satu dekade keberadaannya dan masa depan.
“Melalui program JKN, BPJS Kesehatan membantu melestarikan budaya gotong royong dan nilai-nilai Panchasila. Peserta yang sehat membantu yang sakit dan ini mencakup seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Saat ini, kami mengelola lebih dari 90 persen jaminan kesehatan. Populasi Indonesia “Melalui unit ini kita menjadi maju. Kita berharap bisa tumbuh sebagai bangsa dan mampu bersaing dengan negara lain,” kata Gufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan.