Pengarang: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM – Pancasila masih ada?
Pertanyaan menantang ini muncul kemarin saat bangsa memperingati hari lahirnya Pancasila.
Presiden Joko Widodo juga memimpin upacara peringatan hari lahir Pancasila di Lapangan Garuda Pertamina, Hulu Rokan, Dumai, Riau pada Sabtu (1 Juni 2024).
Jika tanggal 1 Juni dikenal sebagai hari lahir Pancasila, maka tanggal 1 Oktober dikenal sebagai Hari Kesaktian Pancasila, setelah terjadinya upaya “kudeta” 30 September 1965 yang dilakukan oleh Gerakan Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI 1965.
Baik hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945, maupun hari suci Pencasila, 1 Oktober 1965, masih menjadi perdebatan.
Namun perdebatan mengenai hari lahir Pancasila dan siapa yang melahirkannya sirna setelah Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 24 Tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila.
Kata Pancasila Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam rapat yang diadakan Badan Penelitian Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), untuk pertama kalinya Soekarno menyebut kata Pancasila.
Kini perdebatan tentang Pancasila terus berlanjut mengenai keberadaan nilai-nilai praktisnya. Apakah Pancasila masih ada?
Ya, pertanyaan menantang ini sangat layak untuk ditanyakan.
Sebab fenomena Pancasila hanya terucap dengan bibir.
Misalnya, kata “Pancasila” yang sering digunakan dalam pidato pejabat negara. Presiden Jokowi pun kembali mengulang slogan “Pancasila Kita Ada”. Artinya Pancasila telah tersublimasi dalam jiwa dan mengakar kuat dalam diri seluruh bangsa Indonesia.
Tapi apa faktanya? Itu keluar dipanggang jauh dari api. Khususnya sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dari segi ekonomi misalnya, kekayaan alam Indonesia dikuasai segelintir orang.
Data menunjukkan sekitar 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset negara.
Dampaknya, kesenjangan sosial semakin meningkat. Di Jakarta misalnya, terdapat kawasan pemukiman kumuh di antara deretan gedung pencakar langit.
Di antara banyaknya warga miskin, banyak pula pejabat yang hidup dalam kemewahan. Bahkan, mereka tak segan-segan pamer kekayaan atau “melenturkan”, istilah yang kini sedang viral.
Perhatikan juga transaksi mencurigakan pegawai Kementerian Keuangan yang mencapai Rp349 miliar atau sepertiga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, dan persoalannya hilang begitu saja tanpa penyelesaian.
Pejabat publik juga banyak yang terlibat korupsi, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Jika mereka juga menganut sila kelima dan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, hal itu tidak akan terjadi.
Ya, korupsi di Indonesia berdampak pada Triaspolitica dan juga sektor swasta. Pemerintahan tripartit terdiri dari cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Di lembaga eksekutif, puluhan menteri telah dipenjara karena korupsi sejak awal era reformasi. Bahkan Menteri Agama yang menjaga moral bangsa ini pun terlibat korupsi. Bukan hanya satu menteri agama yang terlibat korupsi, melainkan dua orang, yakni Said Agil Husin Al Munawar dan Suryadharma Ali.
Menteri Pemuda dan Olahraga serta Menteri Kesehatan yang mengurusi kesehatan tubuh manusia di Indonesia juga terlibat korupsi.
Menpora tak hanya satu yang terlibat korupsi, melainkan dua yakni Andi Mallarangeng dan Imam Nahrawi.
Menteri Kesehatan yang terlibat korupsi adalah Siti Fadhila Supari.
Juga Menteri Sosial yang mengurus kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ada pun tiga menteri sosial yang terlibat korupsi yakni Bakhtiar Chamsyah, Idrus Marham, dan Juliari Batubara.
Masih di sektor eksekutif, sekitar 400 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut korupsi sejak pemilukada seadil-adilnya digelar pada tahun 2004 hingga saat ini.
Di bidang legislatif, ratusan anggota DPR-RI dan sekitar 3.700 anggota DPRD terlibat korupsi sejak awal era reformasi hingga saat ini.
Korupsi juga mencapai level tertinggi di DPR yaitu Presiden DPR RI (Setya Novanto) dan Presiden DPD RI (Irman Gusman).
Di sektor peradilan, puluhan hakim terlibat korupsi. Korupsi di bidang peradilan juga berdampak pada level tertinggi yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi (Patrialis Akbar), serta Hakim Agung (MA) Sudradjad Dimyati dan Gazalba Saleh.
Dua Sekretaris Mahkamah Agung tak mau ketinggalan soal korupsi, yakni Nurhadi Abdurrahman dan Hasbi Hasan.
Parahnya lagi, korupsi di Indonesia saat ini telah merugikan negara hingga miliaran atau ratusan triliun rupiah.
Misalnya korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyebabkan pemerintah merugi Rp 138 miliar.
Disusul korupsi pengadaan tanah di Riau yang dilakukan PT Duta Palma Group milik Surya Darmadi yang merugikan negara hingga Rp78 miliar.
Lalu ada korupsi antara PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Kepala BP Migas Raden Priyono yang merugikan negara hingga Rp37,8 triliun.
Kemudian kasus korupsi PT Asabri yang menimbulkan kerugian hingga Rp22,7 miliar, PT Jiwasraya yang merugikan hingga Rp16,8 miliar, dan Bank Century yang merugikan negara. Hingga Rp7 miliar, serta PT Pelindo II yang merugikan negara hingga Rp6 miliar.
Disusul korupsi Base Transceiver Station (BTS) Kementerian Komunikasi dan Informatika yang merugikan negara hingga Rp 8,3 miliar, dan korupsi sistem tata niaga komoditas timah PT Timah Tbk. Izin Usaha Pertambangan (IUP). ) daerah yang merugikan negara hingga Rp300 miliar, sebelumnya disebut Rp271 miliar
Terbaru, dugaan korupsi emas 90 ton di PT Aneka Tambang (Antam) kini melibatkan enam tersangka.
Banyak tindakan pemerintah yang menindas dan menyengsarakan rakyat. Sebut saja soal biaya kuliah seragam (UKT) perguruan tinggi negeri yang kemudian ditunda hingga tahun depan setelah banyak mahasiswa yang protes.
Juga pemotongan gaji pegawai Dana Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen, yang tidak akan ditunda apalagi dibatalkan oleh Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), meski banyak yang protes. dari pekerja dan pemberi kerja.
Bahkan keadilan di bidang hukum masih merupakan sebuah keajaiban. Seorang nenek yang mencuri coklat atau sepotong kayu dijatuhi hukuman penjara, tetapi banyak yang merusak miliaran rupee dibebaskan.
Pedang Dewi Keadilan tajam di bagian atas, namun tajam di bagian bawah. Penegakan hukum juga punya lagu favorit: “Tak kenal takut membela mereka yang membayar.”
Ketidakadilan silih berganti selalu membuat kita bertanya-tanya: Apakah Pancasila masih ada?
Sekilas mungkin masih ada, tapi itu hanya teks yang bisa dibaca bibir atau diucapkan. Namun dalam praktiknya, Pancasila telah kehilangan nilai praktisnya.
Kemarin kita bisa memperingati hari lahirnya Pancasila, dan sebentar lagi akan menjadi Hari Kesaktian Pancasila.
Jika suatu hari nanti Pancasila benar-benar kehilangan nilai praktisnya atau tidak, mungkin semua itu hanya akan tinggal kenangan.
* Karyudi Sutajah Putra: Analis politik Konsultan dan Surveyor Indonesia (KSI).