Marak Kekerasan pada Bayi dan Balita, Kemenkes: Perlu Evaluasi Kesehatan Jiwa Pengasuh dan Orangtua

Laporan reporter Tribunnews.com Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi pun menanggapi meningkatnya kekerasan yang dialami bayi, balita, dan orang terdekatnya di taman kanak-kanak.

Belakangan ini marak pemberitaan mengenai penganiayaan anak di sebuah taman kanak-kanak di Depok dan kekerasan yang dilakukan oleh pacar ibu dengan memukuli bayinya.

Imran menuturkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mensosialisasikan buku pola asuh positif bagi anak dan P3LP (Pertolongan Pertama Cedera Psikologis) bagi guru.

Hal ini merupakan upaya untuk meningkatkan minat terhadap pengobatan kesehatan jiwa dengan menjadikan program kesehatan jiwa sebagai salah satu program prioritas dengan harapan dapat menurunkan kasus serupa di masyarakat.

Namun sayangnya, banyak taman kanak-kanak yang tidak mendapatkan izin dari Kementerian Pendidikan karena taman kanak-kanak tersebut terhubung dengan yayasan TK yang sudah mapan.

“Kesehatan mental guru dan orang tua anak kecil yang mengasuhnya harus dinilai,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (9/8/2024).

Imran menjelaskan, Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 mengartikan kesehatan jiwa sebagai keadaan di mana seseorang dapat berkembang secara jasmani, rohani, sosial, dan spiritual, mewujudkan kemampuannya, dan berkontribusi terhadap lingkungannya.

Ada beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan meminimalkan dan menghilangkan faktor risiko munculnya gangguan jiwa.

Faktor risiko ini meliputi:

1. Geologi dan Biologi: Riwayat keluarga dengan gangguan kesehatan mental, ketidakseimbangan kimiawi di otak, dan kondisi medis kronis dapat meningkatkan risikonya.

2. Pengalaman Hidup Traumatis: Pengalaman seperti kekerasan, pelecehan, kehilangan orang yang dicintai, bencana alam dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental.

3. Stres Jangka Panjang: Stres jangka panjang akibat pekerjaan, sekolah, atau hubungan dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental.

4. Lingkungan Sosial dan Ekonomi: Isolasi sosial, kemiskinan, diskriminasi dan kurangnya dukungan sosial juga merupakan faktor risiko.

5. Penyalahgunaan Zat: Penggunaan alkohol, obat-obatan, atau zat lain secara berlebihan dapat menyebabkan atau memperburuk masalah kesehatan mental.

6. Perubahan Hidup: Perubahan besar dalam hidup, seperti perceraian, kehilangan pekerjaan, atau pindah ke lingkungan baru, dapat memicu stres dan masalah kesehatan mental.

7. Memahami faktor-faktor ini penting untuk pencegahan dan pengobatan dini masalah kesehatan mental.

8. Baby blues syndrome merupakan gangguan kesehatan mental yang dialami wanita setelah melahirkan. Gangguan ini ditandai dengan perubahan suasana hati, seperti rasa cemas dan sedih yang ekstrem.

9. Memperkuat peran bidan dalam memantau dan mendukung sistem keluarga yang mendukung kesehatan mental ibu pasca melahirkan jika terjadi baby blues. Oleh karena itu, bukan ibu yang kita perhatikan, namun ibu juga harus ikut membantu merawat bayinya agar tidak lelah lahir dan batin.

Dengan mempraktekkan kesehatan mental sejak konsepsi hingga dewasa (sepanjang siklus hidup), kita akan menghasilkan orang dewasa yang stabil/sehat secara spiritual.

“Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Kesehatan Jiwa secara komprehensif dan berkesinambungan mengupayakan program promotif, preventif, dan kuratif sepanjang siklus hidup,” kata Imran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *