TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Ito Sumardi menilai masyarakat saat ini sedang berpaling dari Irjen Rudian sebagai saksi keterangan Dede dalam kasus pembunuhan Wina Cirebon dan kekasihnya Eki.
Menurut Ito, rekayasa yang didakwakan Rudiana perlu pembuktian.
Ia melihat Rudian adalah ayah kandung korban Eki dalam kasus Vin Cirebon pada 2016. Saat itu, dia hanya berusaha mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas kematian anaknya.
Sebagai polisi aktif, belum diketahui apakah Rudiana berperan sebagai penyidik dalam kasus yang terjadi 8 tahun lalu.
“Apakah Rudiana penyidik kasus ini? Tadi sempat dikatakan tuduhannya menggunakan pengaruh untuk membuat ini. Bagaimana caranya? Bagaimana caranya? Sederhana bukan? Benar,” kata Ito. podcast di kantor Tribun Network, Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Ito mengatakan persoalan ini harus terbuka untuk umum.
“Rudiana sebenarnya penyidik ya? Bagaimana namanya bisa mempengaruhi pimpinan penyidikan, siapa yang jadi komisaris, penyidik, yang mungkin pangkatnya lebih tinggi,” ujarnya.
Ito memandang Rudian saat itu, seolah sedang tegang, memastikan bahwa orang-orang yang kini dihukum itu dicurigai terlibat dalam kematian putranya.
“Tidak mungkin dia bilang dia pelakunya, dia bukan hakim. Makanya diserahkan ke penyidik. Nanti penyidik ikuti. Prosesnya sebenarnya sangat sederhana,” jelasnya.
Namun, hingga saat ini Rudiana yang bertugas di Badan Reserse Narkoba belum muncul ke publik.
Sesuai kode etik, Rudian tidak bisa berbicara di depan umum untuk membela diri karena posisinya tetap sebagai polisi aktif.
Simak kelanjutan wawancara Direktur Tribun News Phoebe Mahendra Putra dan Ito Sumardi:
Jadi sebenarnya pemolisian hanya muncul ketika PK dikabulkan ya? Kalau misalnya PK dikabulkan, maka orang itu harus dideportasi, berarti kasusnya kembali ke nol ya?
Ya, jadi kalau misalnya PK harus dikeluarkan, itu tanggung jawab jaksa. Jadi bukan polisi yang akan menyampaikan dalilnya di pengadilan PK, mereka yang menghabisi polisi. Jaksa.
Jadi tentunya jika itu terjadi, akan ada penilaian internal mengapa hal itu terjadi. Lalu seperti kasus Surabaya, saat ini sedang dilakukan penyidikan internal, mengapa hakim memutuskan mereka bebas mati? Ada apa ya?
Kembali ke hakim adalah hal yang manusiawi. Tentu saja keimanannya harus benar-benar berlandaskan Tuhan Yang Maha Esa. Karena konon suara hakim adalah suara Tuhan.
Jadi, tentu saja, di sini, dalam litigasi ini, keputusan hakim apa pun harus dapat diterima. Seperti kasus awal Pegi Setiawan. Sebagai badan hukum, saya geli ya? Bagaimana kamu tidak mengetahui hal ini sebelumnya?
Tiba-tiba, begitu dia menang, dia bilang dia mengenalnya. Lalu di otak saya, oh, itu artinya hakim yakin akan sesuatu, dan kebetulan hakim juga yakin akan hal itu. Apa itu? Kita berbicara tentang fakta. Saya tidak berbicara tentang pendapat saya, tidak.
Sebenarnya tadi dia bilang tidak tahu, disini dia bilang tahu kan? Meskipun demikian, ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan juga. Mungkin ada Komisi Yudisial di sistem peradilan. Tapi itu bukan posisi saya.
Yah, itu sama saja. Jika ketujuh terpidana tersebut kemudian ternyata tidak bersalah, berarti ada yang tidak beres. Mengapa hakim menganggap dia bersalah dan menjatuhkan hukuman seberat penjara seumur hidup? Begitulah seharusnya.
Siapa yang harus menilai? Bukan untuk kami. Orang yang mengira akan ada Komisi Yudisial, pasti ada.
Pak Ito, dalam semua pekerjaan detektif Anda hingga pensiun, pernahkah Anda mengalami hal seperti ini?
Sangat banyak. Kalau di Surabaya mungkin Mas Feby tahu, Surabaya. Pembunuhan seorang pelajar di Petra. Atas nama Ervin tercinta. Menggunakan seorang pembunuh bernama Bambang. Kemudian Kepala Staf Bintang Dua saya yang terakhir, Irjen Syafri Musa.
Sangat sulit bagiku untuk mengatakannya karena mereka berdua tidak saling mengenal. Tuhan menunjukkan sebaliknya. Saat mereka duduk usai ujian, komunikasi tiba-tiba muncul. Dan omong-omong, ruang kamera memiliki pengawasan video. Ada audionya.
Dia berkata: mengapa kamu mengakuinya? Yah, kamu hanya membayarku setengahnya. Oh, aku ingin membayarmu penuh, kamu sudah pergi.
Akhirnya dibawa ke pengadilan dengan bukti tersebut. Agar orang bisa berbohong, Pak. Ya, ini sama saja. Saat Sudirman menyebut Peggy pelakunya, Peggy mengaku tidak tahu. Tapi kemudian Peggy tiba-tiba berkata dia mengenalnya.
Ya, kami tidak tahu jalan Tuhan, bukan? Jadi sekarang kita serahkan pada publik. Aku juga tidak ada hubungannya. Mereka ingin dihukum, mereka ingin dibebaskan, tidak masalah. Hanya satu. Jangan berkata begitu karena persoalannya kemudian digeneralisasikan seolah-olah lembaga kepolisian tidak profesional.
Saya tidak menerimanya. Saya adalah kepala investigasi kriminal. Sampai saya menjadi duta besar (Myanmar). Sebab, saya diyakini sukses saat menjadi Kabareskrim. Jika tidak, saya tidak akan menjadi duta besar selama lima tahun.
Kasus Rohingya juga ditangani dalam investigasi yang kami gunakan menggunakan teknik investigasi di Indonesia. Ini memberitahu dunia luar bahwa fakta adalah fakta adalah fakta. Pak saya mau baca, ini KUHP yang baru pak. Ada Pasal 529. Kedengarannya menarik.
Pemaksaan mengacu pada penggunaan kekuasaan secara ilegal. Contohnya adalah seorang penyidik yang dalam penyidikannya memaksa tersangka untuk mengaku atau memaksa saksi untuk memberikan keterangan sesuai dengan keinginan penyidik.
Bagaimana pasal seperti itu bisa dikenakan? Apa kabar? Ini yang sebenarnya. Sebab, penyidik tidak bisa disebut tersangka. Jadi dia bertanya terlebih dahulu, apapun keadaannya. apa kamu sehat Jika tidak, maka tidak dapat diverifikasi.
Dan kalau misalnya terperiksa tidak mau menandatangani, itu haknya. Tidak bisa. Dia tidak bisa dipaksa untuk menandatangani, tidak boleh. Jadi pertanyaan saya sekarang sederhana saja.
Apakah Rudiana adalah penyidik kasus ini? Sebelumnya dikatakan bahwa tuduhannya adalah dia memaksakan pengaruh dan menciptakannya. bagaimana bisa Bagaimana caranya? Sederhana saja, bukan? Itu benar.
Pertanyaan saya adalah haruskah kita membukanya untuk umum. Rudiana sebenarnya penyidik, kan? Bagaimana namanya bisa mempengaruhi pimpinan penyidikan yang berpangkat komisaris, terhadap penyidik yang mungkin berada di atasnya?
Seolah-olah dia sedang berkumpul pada saat itu, memastikan bahwa para terpidana tersebut memiliki kecurigaan. Ada tuduhan. Dia tidak bisa mengatakan bahwa dia bersalah, dia bukan hakim. Oleh karena itu, dia diserahkan kepada penyidik. Penyidik sedang menindaklanjutinya. Prosesnya sebenarnya sesederhana itu.
Tuhan, ini pertanyaan terakhir, berapa kali lagi? Perlu ada semacam pencerahan yang diberikan kepada masyarakat agar tidak bingung ketika melihat keadaan seperti itu.
Pak, pertanyaannya apakah perjalanan itu memerlukan tim pencari fakta yang independen? Diperlukan?
Dengar, aku tidak memandang kasus ini seperti seorang hakim, bukan? Sekarang dia adalah Komisaris Polisi Negara. Bukankah Kompolna merupakan tim independen? Kompoln tidak punya polisi. Polisinya cuma dua, selebihnya orang-orang yang benar-benar punya integritas.
Lalu yang kedua adalah nama LPSK. Ini melestarikan momen tersebut. Lalu yang ketiga, ada kata dari Bareskrim yang disebut dengan rawasidik. Akulah yang menciptakan Rawasidik. Biarlah ada keadilan.
Apa yang dimaksud dengan Pak Rawasidik? Kantor Pengawasan Investigasi. Ada 17 orang dari fungsi berbeda yang tidak bisa bekerja sama. Termasuk pakar eksternal.
Jadi ada juga WNA dari Rawasidik. Ahli perkara pidana itu ada, ahlinya apa, tergantung kasusnya. Lalu ada kata Irwasum. Inspeksi pengawasan umum.
Lalu ada yang namanya Propam. Kira-kira seperti ini, mungkin kemarin kalau tidak salah Comnas HAM. Jika hal ini dilakukan maka akan meningkatkan perhatian masyarakat.
Keprihatinan masyarakat ini bersifat independen, namun kita tidak boleh gegabah bukan? Kapolri melakukan upaya ini dengan melibatkan semua orang dalam proses yang disebut pemeriksaan.
Keahliannya sudah dilakukan, kata Kapolri. Kalau misalnya Kapolri bilang ada yang tidak beres pasti dia sampaikan, dia sampaikan ke instansi terkait, kejaksaan, hakim. Oleh karena itu, hal ini harus diperhitungkan.
Tentu saja saya sudah melihat namanya selama ini. Kapolri mengatakan akurasi bukan sekedar jargon belaka. Ini bukan sekadar retorika. Hal ini terbukti di sini, meski ada beberapa hal yang bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat di beberapa daerah. Tapi sekali lagi, mereka individu, polisi punya kode etik. Kode etik harus dipatuhi, jika tidak maka hukumannya akan berubah dari hukuman disiplin, hukuman menjadi hukuman pidana.
Itulah sebabnya persoalan penyidikan ibarat kaki berdarah di kubur dan penjara. Itulah yang saya rasakan. Kita baik-baik saja, kita semua disayangi masyarakat, tiba-tiba kita berbuat sesuatu yang sangat memalukan polisi.
Saya kehilangan semua pencapaian saya. Semua orang bermimpi menjadi seorang detektif. Karena kalau detektif itu ibarat orang yang dapat, mudah kan dapat imbalannya? Sekolah mereka bersaing, namun menjadi detektif tidaklah mudah. Karena dia harus bijaksana, Tuan, dia harus bijaksana.
Saya hanya punya pengalaman menyelesaikan satu kasus, lalu ada DPO. Bisakah saya menunggu DAI? Hal lain datang kepada saya, saya harus menghadapinya. Hal lain akan datang. Meski begitu, semuanya menjadi prioritas.
Sehingga terkadang orang tidak berpikir bahwa mengelola sesuatu tidak dilakukan oleh satu orang atau tim. Tapi dia menangani tim, lalu ketika ada hal lain yang muncul, hal itu menjadi prioritas kedua.
Kemudian muncul hal lain, ini menjadi prioritas berikutnya. Karena kasus baru terus berdatangan. Kayak jadi anggota CID misalnya, menyayangkan kalau orang Jawa Timur bilang “gak ada yang gila, alhamdulillah”. Untungnya, tidak ada yang gila. Dan rata-rata mereka sakit kan? Saya pernah sakit sebelumnya. Karena kita harus punya waktu 24 jam. Kami tidak memiliki nama yang kami inginkan.
Jika dilakukan setelah dilakukan penyelidikan, maka perlu diketahui nama tersangkanya. Di mana pun. Hal ini tidak didukung oleh dana yang cukup. Istilah ini tidak mendukungnya. Terkadang kita benar dan salah. Terkadang yang kita hadapi adalah gajah dibelakangnya.
Ada hal seperti itu, kan?
Oh, banyak. Jadi orang ini salah. Jadi kami ingin mengatakan itu salah, oke? Aku malah akan diusir besok, kan? Begitulah yang terjadi. (Jaringan Tribun/Reynas Abdila)