Laporan koresponden Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hakim Mahkamah (MK) periode 2003-2020, I Dewa Gede Palguna menyoroti rencana perubahan empat undang-undang Mahkamah yang hanya fokus pada usia hakim dan masa jabatan.
Palguna menilai, ketiga amandemen UUD yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak berhasil mencapai tujuan mengakui Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang otonom dan independen.
“Apa makna kasus ini bagi keinginan kita atau keinginan kita untuk mengakui Mahkamah Agung sebagai lembaga yang independen dan mandiri? Kalau saya jawab jujur, tidak ada apa-apanya,” tegas Palguna dalam wawancara dengan People bertajuk “Revisi Rahasia”. UU Mahkamah Agung yang digelar secara online, Kamis (16/5/2024).
Ketua Dewan Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) ini juga menyampaikan, ada hal yang sangat penting untuk diatur dalam perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi. Misalnya saja perkembangan aturan politik.
“Memenuhi ketentuan undang-undang Mahkamah Konstitusi. Hukum acaranya apa? Undang-undang itu salah satunya tentang pemilihan orang yang mau jadi presiden. Ini tetap dianut dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi,” ujarnya. .
Kemudian asas terkait penetapan kewenangan pembubaran partai politik, masih diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
“Sepengetahuan hukum, pertanyaan seperti ini adalah tentang isi undang-undang, bukan tentang aturan Mahkamah Konstitusi. Mengapa pertanyaan ini tidak diselesaikan jika kita ingin menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan yang sah dan independen?” kata Palguna.
Selain itu, menurut mantan hakim Mahkamah Konstitusi ini, aturan Mahkamah Agung bagi Mahkamah Konstitusi juga perlu dipatuhi agar masyarakat yang mengajukan perkara di Mahkamah Agung dapat mengadili perkara yang memberatkannya di Mahkamah Konstitusi.
“Ada warga negara yang sudah dirugikan oleh undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi negara ini dan bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diadili,” kata Palguna.
“Tapi kalau misalnya ada orang yang diajukan ke Pengadilan Banding, mereka baru sadar bahwa asas hukum yang menjadi dasar penuntutan bertentangan dengan konstitusi negara ini. Mereka baru sadar saat ini tidak punya waktu untuk mengadili di Mahkamah Konstitusi, lanjutnya.
Ia menjelaskan, pengadilan Jerman memperbolehkan seseorang yang diadili untuk mengirimkan putusan kepada hakim mengingat perintah yang diberikan kepadanya bertentangan dengan konstitusi negara.
Lanjutnya, karena pengadilan biasa tidak mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang yang dikatakan melanggar konstitusi, maka mereka akan menanyakan terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi Jerman.
Oleh karena itu, selama perkara tersebut diproses oleh Mahkamah Konstitusi Jerman, perkara tersebut masih tertunda dan tidak dapat dilanjutkan. Setelah itu, ketika Mahkamah Konstitusi Jerman memberikan keputusan “bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi”, barulah perkara tersebut dapat dilanjutkan. Akan dibuka kembali dan didalami kembali jika benar demikian. “Jika melanggar hukum maka kasusnya akan dibatalkan,” kata Palguna.
Menurut dia, hal-hal seperti itu seharusnya ditangani melalui perubahan undang-undang Mahkamah Konstitusi untuk meningkatkan perlindungan terhadap warga negara.
“Tetapi hal ini juga yang tidak dilakukan oleh anggota parlemen. Padahal mereka ingin memperkuat MK sebagai pengawal hukum,” ujarnya.