Lipsus: Tramadol Dijual di Pinggir Jalan Tanah Abang Bak Kacang Goreng, ‘Polisi Lewat Cuek Aja’

“Di sini gampang (jual Tramadol), polisi abaikan, dan bus seperti ini lewat. 

Liputan Khusus Tribunnews.com, Abdi Rayanda Shakti

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peredaran gelap obat keras Tramadol di Jakarta kian memprihatinkan, dengan banyaknya warga yang terang-terangan menjual narkoba di pinggir jalan ramai seperti Jalan KS Tubon, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Tribunnews melakukan operasi penggeledahan di Jalan KS Badan pada Rabu sore (11/9/2024), saat arus lalu lintas kendaraan sedang padat di kedua sisi jalan. Jalan ini diketahui menjadi penghubung dari Betampuran – Pasar Tanah Abang / Stasiun Tanah Abang dan sebaliknya.

Sore itu, tepat di depan Museum Tekstil, terlihat banyak orang berdiri di pinggir jalan dalam antrean panjang.

Masing-masing tampak membawa dan menjual tumpukan obat-obatan yang dibungkus plastik. Obat yang mereka jual adalah Tramadol, yaitu obat ampuh yang tidak bisa diminum tanpa resep dokter.

Seperti halnya penjualan kacang goreng, pedagang yang terdiri dari perempuan dan laki-laki menawarkan Tramadol kepada siapa pun yang lewat di peron jembatan. Ada yang berdiri, ada yang duduk di kursi lipat kecil.

Dari pantauan di sepanjang Jalan KS Tubon, Jalan Kebun Jati, Jalan Jimbatan Tinggi, hingga kembali ke Jalan KS Tubon menuju Petamburan, terlihat para pedagang sangat leluasa dan terang-terangan menjual Tramadol di pinggir jalan.

Meski penjual tampak nyaman dengan Tramadol di tangan mereka, mereka tampak selektif dalam memilih pembeli.

Saat Tribunnews tiba, seorang penjual Tramadol yang mengenakan kaus oblong, celana pendek, dan sandal jepit melihat pengunjungnya pertama kali muncul tanpa memajang dagangannya.

Saat Tribunnews sedang istirahat di salah satu kios kelontong dekat lokasi, seorang wanita paruh baya yang mengenakan kaus berwarna coklat dan celana pendek menghampiri dan duduk.

Wanita itu terlihat menghitung uang sekitar Rp 50.000 dan Rp 100.000 dari tas kecilnya.

Tribunnews kemudian mencoba menanyai ibu berambut pendek tersebut dengan berpura-pura sedang mencari obat. Benar saja, wanita paruh baya itu juga menjual Tramadol yang disebutnya “Madol”.

“Apa? Madol, aku di sini. Berapa yang kamu inginkan?” Sang ibu bertanya sambil mengambil obat dari tas kecilnya.

Saat merokok, perempuan tersebut mengaku menjual obat keras dengan harga Rp 30.000 per strip.

Wanita itu kemudian secara terbuka memamerkan barang-barangnya sambil menggambarkan transaksi “perdagangan” sebagai “aman.”

“Apakah transaksi di sini aman, Bu?” tanya Tribun Berita.

Wanita itu menjawab: “Aman, aman. Jangan khawatir, di sini aman, dan kamu juga bisa minum di sini, air saja.”

Sekitar 10 menit kemudian, penjual tersebut berbicara dengan teman profesionalnya tentang masalah penjualan Tramadol. Transaksi tramadol sangat cepat disana. Hal ini juga terlihat pada pembeli lain yang berhenti sejenak di atas sepeda motornya untuk mengambil “barang” tersebut dan keluar seolah-olah sudah terbiasa melakukan pembelian.

Tribunnews kemudian berusaha mencari penjual lain, hingga bertemu dengan seorang pria yang menjual baju bekas.

Usai meminta izin beristirahat di bangku panjang samping kiosnya, Tribunnews kembali bertanya kepada pria tersebut tentang Tramadol. 

Namun, ternyata pria berusia 58 tahun itu juga leluasa menjual obat keras Tramadol.

Sang ayah berkata: “Iya, saya jual juga. Ini (jual Tramadol) hanya usaha sampingan.” Sejumlah warga menjual obat keras Tramadol secara ilegal di pinggir Jalan KS Tubon, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (9/11/2024).  (Tribunnews.com/Abdi Rayanda Shakti)

Pria berwajah keriput ini menjual Tramadol dengan harga yang sama dengan penjual lainnya, Rp 30.000 per strip. Namun, ia akan memberikan diskon jika Tramadol dijual kembali.

Suatu hari, pria tersebut mengaku bisa memakan puluhan kotak yang masing-masing berisi lima potong. Selain satu strip, ia juga bisa menjual tablet Tramadol setengah strip atau lima bungkus.

Ia juga menyebut pembelinya mulai dari pekerja proyek dan pedagang di toko Pasar Tanah Abang hingga pedagang kaki lima dengan simbol lain yang biasa ia sebut dengan “TM”.

“Bisa juga beli setengahnya (satu batang), harganya Rp 15.000. Pengamen biasanya beli setengahnya dulu, sorenya dapat uang untuk beli setengahnya lagi,” ujarnya.

Menurut pengakuannya, penjualan obat ilegal tersebut sudah terjadi sejak tahun lalu.

Ia mulai menjual obat-obatan keras karena membutuhkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendapatan dari usaha awalnya, terutama berjualan pakaian, tidak bisa diandalkan.

Selain itu, dua dari empat anaknya menganggur akibat PHK.

Layaknya seorang sales profesional, pria berkemeja polo dan bertopi ini memberikan informasi mengenai efek penggunaan Tramadol dalam meningkatkan stamina dan menenangkan pikiran.

Pria tersebut juga mengakui, penjualan obat-obatan untuk meredakan nyeri sedang hingga berat sangat gratis di kawasan Pasar Tanah Abang.

Penggerebekan yang dilakukan aparat keamanan biasanya dilakukan pada malam hari menjelang subuh. Waktu tidak menentu. Terlalu banyak penjual yang hanya berdagang pada hari itu.

“Di sini gampang (jual Tramadol), polisi abaikan, dan sopir bus seperti ini lewat. Ya iya, saya dapat bagiannya (petugas keamanan),” ujarnya. New Dexa Primadonna dalam suasana Pasar Pramuka depan Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur, Rabu (11/9/2024). Pasar Pramuka dikenal sebagai pusat penjualan obat-obatan dan alat kesehatan. (Tribunnews.com/Abdi Rayanda Shakti)

Selain di kawasan Pasar Tanah Abang, Tribunnews juga menelusuri penjualan Tramadol di Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur.

Berbeda dengan Pasar Tanah Abang yang penjualannya terbuka, di Pasar Pramuka penjualan Tramadol lebih dilakukan secara hati-hati.

Saat Tribunnews memarkir mobil tepat di samping pasar dan hendak memasuki kawasan Pasar Pramuka, tiba-tiba seorang pria kurus mendekat.

Pria yang mengenakan pakaian lusuh berwarna abu-abu itu bertanya apakah sebaiknya dia pergi ke pasar Pramuka. 

Kemudian awak Tribunnews menyatakan ingin membeli Tramadol.

Dengan mata sedikit berkaca-kaca karena membuka tutupnya, pria itu langsung menanyakan harga barang yang ingin dibelinya.

“Tramadol (di Pasar Pramuka) tidak ada. Kalau mau saya punya, tapi stripnya Rp 200.000. Mau?” Dia berkata.

Tribunnews kaget mendengar harga yang disebutkan pria tersebut, dan berusaha menawar untuk mendapatkan harga yang sesuai.

Namun tawar menawarnya gagal karena ia hanya menurunkan harga obat tersebut hingga Rp 150.000 per strip.

Dengan gaya mabuk “Hongaria”, dia menghindari Tramadol dengan menawarinya obat kuat yang menurutnya mirip dengan Tramadol.

Nama obatnya Dexa

Namanya Dexa. Ada klipnya (obat plastik biru), untuk 10 tablet dengan harga 150.000 rupiah,” ujarnya.

Dari hasil penelusuran di Pasar Pramuka, Tribunnews menemukan dua obat bernama Dexa, Dexamethasone untuk mengatasi peradangan pada kulit, persendian, paru-paru, dan organ lainnya serta Alprazolam Dexa yang merupakan obat penenang untuk mengatasi gangguan kecemasan dan panik serta termasuk golongan benzodiazepin. . .

Pria tersebut juga menjelaskan bahwa Dexa memiliki efek yang sama dengan Tramadol. Padahal, kata dia, di pasar Pramuka konsumen lebih memilih Dexa dibandingkan Tramadol.

Setelah melalui negosiasi harga yang alot, akhirnya tercapai kesepakatan dengan harga Rp 80.000 per 10 item.

“Itu pembelian keamanan ya gan,” pria itu bertanya dengan curiga untuk memastikan pembelinya bukan polisi yang sedang menyamar.

Setelah itu, lelaki tersebut meminta kami menunggu di belakang mesin tiket yang tutup.

Saat menunggu, Tribunnews melihat lima pria lainnya melakukan hal serupa kepada pengunjung Pasar Pramuka.

Sesekali orang-orang ini melihat sekilas kru Tribunnews yang menunggu.

Setelah menunggu sekitar 10 menit, akhirnya orang pertama keluar dari dalam pasar dengan membawa dua kantong plastik berisi obat-obatan yang diikatkan di depan ikat pinggangnya.

Transaksi juga dilakukan secara diam-diam. Tangan pria itu meraih paha kirinya untuk memberikan obat agar tidak ada yang melihatnya.

“Ini barangnya,” kata pria itu. BNN: Efek tramadol itu seperti heroin

Wakil Petugas Rehabilitasi Badan Pengawasan Narkotika Nasional (BNN) Zia Setia Utami juga mengingatkan, Tramadol tergolong narkotika kuat (golongan G).

Menurutnya, narkoba ini sering disalahgunakan terutama di kalangan anak muda.

Penggunaan tramadol secara berlebihan dapat menimbulkan efek serupa dengan heroin.

“Ini adalah pereda nyeri yang ampuh, dan bila digunakan dalam jumlah banyak, efeknya mirip dengan opioid seperti heroin,” kata Zia, dikutip Kompas.com.

Namun tramadol tidak masuk dalam daftar terlarang BNN karena bukan termasuk narkotika.

Tetapi. Karena risiko yang melekat, Zia menegaskan penggunaan Tramadol harus dengan resep dokter. (Jaringan Tribun/Abdul/Dodd)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *