LBH Padang Sebut Keluarga Afif Maulana Belum Dapat Informasi Penyebab Kematian Siswa SMP itu

(Dilaporkan jurnalis Tribunnews.com Fahmi Ramadan)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Keluarga Afif Maulana (13 tahun) dikabarkan belum mendapat informasi terkait penyebab meninggalnya siswi SMA Padang tersebut.

Afif sebelumnya dinyatakan meninggal karena diduga diserang anggota Polda Sumbar.

Koordinator advokasi LBH Padang, Diki Rafiqi mengatakan, saat RS Bhayankara mengantarkan jenazah Afif ke rumah duka, pihak keluarga hanya disodori selembar kertas yang memuat dua poin informasi.

Saat dikonfirmasi, Kamis (27/6/2024), Dickey mengatakan, “Sebelumnya kami tidak sepenuhnya mengetahui bahwa hasil yang disampaikan kepada pihak keluarga hanyalah selembar kertas yang berisi satu kematian tidak wajar, dan belum diketahui kedua penyebabnya. ”

Sebelumnya, Diki juga mengklarifikasi bahwa pihak keluarga tidak diperbolehkan memandikan jenazah Afif setelah selesai autopsi.

Dickey mengatakan, pihak keluarga baru diperbolehkan melihat wajah Afif saat jenazah dibawa ke rumah keluarga di Padang.

Namun sayang, pihak keluarga tidak diperbolehkan memandikan jenazah di rumah, dan hanya boleh melihat wajahnya saja, kata Dickey.

Padahal, jika mengikuti adat istiadat setempat di Padang, orang yang meninggal harus dimandikan terlebih dahulu di rumah duka sebelum dimakamkan.

“Yah, kamu hanya bisa melihat wajahnya,” jelasnya.

Lebih lanjut Dickey menjelaskan, saat itu pihak keluarga dilarang memandikan jenazah Afif oleh RS Bhayankara selaku pihak yang melakukan autopsi terhadap siswa SMA tersebut.

Apalagi, RS Bhayankara juga tidak memberikan penjelasan mengapa jenazah Afif tidak boleh dimandikan di rumah.

“Itu setelah kami proses dan tidak ada alasan sebenarnya (tidak memandikan jenazah), keluarga tidak pernah melihat jenazah, dan sebagainya,” ujarnya. Ajukan permohonan perlindungan ke LPSK

Terkait kasus tersebut sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengajukan permohonan perlindungan 6 orang terkait meninggalnya Afif Maulana (13 tahun) yang diduga dianiaya polisi kepada pihak kepolisian. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Koordinator advokasi LBH Padang, Diki Rafiqi menjelaskan, keenam orang tersebut merupakan keluarga Afif dan sejumlah saksi terkait kejadian tersebut.

“Kami akan menampilkan beberapa orang, 6 orang,” kata Diki kepada wartawan di kantor LPSK, Jakarta Timur, Rabu (26/06/2024).

Bahkan, lanjut Dickey, ada 18 orang yang berstatus saksi dan korban dalam kematian Afif.

Namun karena terkendala kelengkapan identitas, Dickie mengatakan LBH hanya mampu menyebutkan beberapa orang dari total 18 orang saksi.

“Karena kebutuhan identitas tersebut, kami belum menindaklanjuti identitas lainnya, dan bagaimana kami akan mempercepatnya,” jelasnya.

Tujuan pihaknya menyampaikan pembelaan tersebut, Dickey menyebut pihak keluarga takut akan dampak meninggalnya Afif Maulana. Pelanggaran tersebut muncul dalam kasus Afif Maulana alias A.M. (13 tahun) yang diduga disiksa oleh petugas polisi di Padang. (Berita Tribun)

Namun Dickey belum bisa memastikan seberapa ketakutan pihak keluarga terhadap kasus tersebut.

“Tapi kita masih belum bisa tahu ketakutannya apa, dan apakah ada ancaman di baliknya. LPSK harus turun menyajikannya dan informasi ini akan lebih jelas,” tutupnya.

Sebelumnya, dilansir TribunPadang.com, Afif Maulana, siswi SMP berusia 13 tahun, ditemukan tewas dengan luka lebam di bawah Jembatan Batang Korangi, Kota Padang, Sumatera Barat, pada Minggu (9/6/2024). di sore hari.

Berdasarkan pemeriksaan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menduga korban meninggal akibat disiksa petugas polisi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan LBH, kami berpendapat almarhum merupakan korban penganiayaan polisi yang diduga dilakukan anggota Sabhara Polda Sumbar, kata Indira Suryani, Direktur LBH Padang, Kamis (20/6/2021). 2024). ).

Pada Minggu (09/06/2024) sekitar pukul 04.00 WIB, saat itu A sedang mengendarai sepeda motor bersama AM di Jembatan By Pass Batang Kuranji, jelas Indira, berdasarkan keterangan teman korban berinisial A.

Sedangkan kedua korbannya adalah A.M. Oh. Mereka yang mengendarai sepeda motor didatangi petugas polisi saat sedang berpatroli.

“Saat itu, petugas polisi menendang mobil korban A.M hingga terjatuh di pinggir jalan. Korban A.M berada sekitar dua meter dari korban A.”

Saat itu, Korban A ditangkap dan ditahan dan melihat Korban A dikepung polisi, namun terpisah, kata Indira.

“Saat ditangkap polisi, Korban A melihat Korban AM berdiri dikelilingi petugas polisi yang memegang rotan. Hingga saat itu, Korban A tidak pernah melihat Korban AM lagi.

Direktur LBH Padang mengatakan, pada siang hari yang sama, jenazah AM ditemukan mengambang di Batang Korangi. Kasus AM saat itu ternyata penuh lebam.

Jenazah korban kemudian dilakukan otopsi dan keluarga korban memperoleh salinan akta kematian No: SK/34/VI/2024/Rumkit dari RS Bhayankara Polda Sumbar.

Polisi memberi tahu keluarga korban bahwa A.M. meninggal karena 6 tulang rusuk patah dan paru-paru pecah, kata Indira.

Atas kejadian tersebut, ayah kandung korban AM membuat laporan ke Polresta Padang dengan nomor laporan: LP/B/409/VI/2024/SPKT/POLRESTA PADANG/POLDA SUMATRA BARAT.

Indira juga menjelaskan, berdasarkan temuan LBH, ada tujuh korban lainnya dan lima di antaranya masih anak-anak.

Menurut dia, korban diduga dianiaya polisi dan kini menjalani perawatan mandiri.

Dia menambahkan: “Pengakuan mereka adalah mereka tersengat listrik, ada rokok yang terbakar di perut mereka, kepala mereka memar, dan ada lubang di pinggang mereka.”

Ia mengatakan, berdasarkan keterangan korban, mereka dipaksa melakukan ciuman sesama jenis.

“Selain penganiayaan juga terjadi kekerasan seksual. Kami sangat terkejut mendengar keterangan korban, tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan seksual,” ujarnya.

“Saat kami bertemu dengan korban dan keluarganya, mereka sangat ketakutan dengan situasi tersebut,” ujarnya.

LBH Padang meminta polisi mengusut tuntas kasus tersebut tanpa menutup-nutupi.

“Kami meminta Polda Sumbar untuk mengadili seluruh anggotanya yang melakukan penganiayaan terhadap anak-anak dan orang dewasa dalam tragedi Jembatan Korangi di Kota Padang dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan KUHP dalam kasus yang melibatkan orang dewasa telah selesai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *