Laporan Aisi Nursyamsi, jurnalis Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan (Kemenkes) Kementerian Kesehatan Dr. Azhar Jaya mengatakan resistensi antimikroba (AMR) masih menjadi masalah serius dalam layanan kesehatan di Indonesia.
Selain itu, ancaman resistensi antimikroba merupakan ancaman yang semakin nyata dan mendesak terhadap kesehatan global.
“Kemampuan mikroorganisme untuk melawan agen antimikroba seperti antibiotik dapat secara signifikan meningkatkan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan kesehatan,” kata Dr. Azhar Jaya dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan pada Jumat, 22 November 2024.
FYI, AMR adalah suatu kondisi dimana mikroorganisme resisten terhadap dosis terapeutik senyawa antimikroba.
Akibatnya, mikroorganisme ini berkembang biak, sehingga mengurangi efektivitas obat.
Keadaan ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperburuk kondisi pasien dan berujung pada kematian manusia, hewan, ikan, dan tumbuhan.
AMR merupakan masalah besar dalam dunia kesehatan.
Diperkirakan 5 juta orang meninggal karena AMR pada tahun 2019.
Dari jumlah tersebut, 1,27 juta orang meninggal karena AMR.
AMR mengancam kesehatan global, ketahanan pangan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tahun 2030.
Menurut Dr. Azhar Jaya, Beberapa poin penting untuk mengendalikan resistensi AMR.
Hal ini mencakup: penguatan sistem surveilans AMR, pemantauan penggunaan antimikroba, pencegahan dan pengendalian infeksi, pendidikan dan promosi kesehatan, serta inovasi dan penelitian.
“Pengendalian AMR harus dilakukan secara bersama-sama dan terpadu oleh pemerintah, petugas kesehatan, ilmuwan, perusahaan farmasi, dan masyarakat, yang berperan penting dalam memerangi AMR,” tambahnya.
AMR membebani sistem layanan kesehatan dan mengurangi efektivitas pengobatan.
Hal ini mengakibatkan bertambahnya waktu perawatan pasien, biaya pelayanan kesehatan, kesakitan dan kematian, serta penurunan mutu dan keselamatan pasien.
Kasus tuberkulosis yang resistan terhadap obat meningkat di Indonesia.
Angka kematian 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan tuberkulosis yang sensitif terhadap obat.
Resistensi obat juga terjadi pada hewan seperti ayam, babi, dan sapi sehingga memerlukan pemantauan.