TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera melakukan penyidikan terhadap pejabat senior Badan Pengawasan Keuangan (BPK). Dalam kasus tersebut, disebutkan nama seorang petinggi BPK yang disebut-sebut meminta uang untuk pembangunan Jalan Sheikh Mohammad Bin Zayed atau jalan MBZ senilai 10,5 miliar.
Muhammad Imamu Kanzul, Ketua Persatuan Mahasiswa Anti Korupsi (PPMTK), saat berunjuk rasa di depan kantor BPK, mengatakan, banyak hal yang ditemukan dalam pengujian tersebut, di antaranya kualitas beton yang di bawah standar. Menariknya, pejabat BPK diduga menerima pungutan liar sebesar Rp. 10,5 miliar dari kasus korupsi ini.
Karena itu, dia meminta Aparat Penegak Hukum (APH) bertindak cepat dan lebih memperhatikan dugaan korupsi tersebut.
Pada Selasa, 9/7/2024, Kanzul mengatakan, “Sejak menjabat, banyak tuduhan korupsi yang dilontarkan kepada pejabat BPK, beberapa di antaranya sudah mendapat perintah pengadilan dan pernah menjadi hakim.” ).
Persoalan lain, kata dia, yang saat ini ada di kepengurusan BPK adalah maraknya tudingan suap dan jual beli Tip Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), baik di BPK tingkat perwakilan daerah maupun di BPK FIND. Sebenarnya hal ini sudah menjadi rahasia umum.
Kanzul mengatakan, “Usaha WTP untuk memberikan hasil yang lebih baik kepada perusahaan yang dinilai BPK melebihi tanggung jawab dan kewenangannya menurut undang-undang.”
Idealnya, BPK bertanggung jawab atas pengelolaan dan peninjauan tanggung jawab urusan keuangan publik untuk mencegah kemungkinan korupsi, namun kewenangan tersebut bukan digunakan oleh unsur BPK untuk melakukan pemeriksaan, seperti pembelian dan penjualan WTP.
“Sepertinya perusahaan yang diaudit tidak jauh dari praktik korupsi,” ujarnya.
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, Persatuan Mahasiswa Anti Korupsi (PPMTK) membawa spanduk besar berwarna biru bergambar salah satu petinggi BPK. Mereka juga melakukan operasi pembakaran ban di depan kantor BPK. Dampaknya, lalu lintas di sekitar kawasan tersebut mengalami perlambatan.
Diketahui, dalam penyidikan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Mantan Direktur (SPV) Waskita Karya Sugiharto mengaku diminta menyiapkan uang sebesar 10,5 juta dolar untuk diberikan kepada salah satu direktur Pemeriksaan Keuangan. Badan (BPK) sehubungan dengan akibat kerusakan pada proyek jalan Jakarta-Cikampek (Japek) II atau MBZ.
Pertama, jaksa menanyakan soal proyek pembangunan Tol MBZ saat Sugiharto menjabat sebagai SPV proyek tersebut. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (14/5/2024), Sugiharto menyebut proyek tersebut bernilai 10,5 miliar.
“Tuhan, apa pemalsuanmu?” tanya jaksa.
Jawab Sugiharto, “Pekerjaan minta maaf itu untuk pekerjaan, saya lakukan hanya karena pekerjaan sudah selesai 100 persen pak, pemeliharaan, dipotong pak. Itu yang saya lakukan. Sedikit.”
“Berapa nilainya?” tanya jaksa.
Sugiharto menjawab, “10,5 juta dolar.”
Pengacara bertanya siapa yang membuat proyek tersebut. Diakui Sugiharto, Bambang Rianto telah memerintahkan dirinya sebagai manajer proyek untuk menyediakan dana pelaksanaan proyek agar anggarannya cair.
“Itu saja, Pak. Bisakah Anda jelaskan siapa yang akan mengerjakan proyek itu, dan berapa biayanya?” tanya jaksa.
Sugiharto menjawab, “Waktu itu saya diinstruksikan oleh manajer operasional, Pak Bambang Rianto (BR).”
Oke.Apa arahnya? tanya jaksa.
Sugiharto menjawab, “Tolong berikan uangnya kepada Japek. BPK butuh Rp 10 juta, Pak.”
“Apa?” tanya jaksa.
HP Sugiharto menjawab, “Wakil saya tahun 2021. Saya juga menelpon pewawancara saya yang bernama Pak Reza. Katanya ini penting, demi kepentingan BPK”.
“Akhirnya tercatat ada pekerjaan senilai 10,5 miliar?” tanya jaksa.
“Iya Pak,” jawab Sugiharto.
Sugiharto mengaku sedang memulai sebuah proyek. Dia mengatakan, hal itu dilakukan agar Bambang mengajukan permintaan sebesar Rp 10,5 miliar untuk keperluan BPK.
“Siapa yang paling lurus?” tanya jaksa.
“Direktur Operasional,” jawab Sugiharto.
“Apakah kamu tahu atau mengambil keputusan?” tanya jaksa.
Sugiharto menjawab: “Dan Pak Bambang ya, yang penting targetnya 10 miliar.”
“Jadi, siapa yang memulai wawancara fiksi itu? Kakak?” tanya jaksa.
“Benar, Pak,” jawab Sugiharto.