Laporan reporter Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kerja sama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN dengan PT Inti Alasindo Energy (IAE).
Peningkatan sumber daya tersebut berkat pemeriksaan saksi M. Ridwan, Financial Officer PT Inti Alasindo Energy, Selasa (10/9/2024).
Ridwan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait kemitraan penjualan gas antara PGN dan PT Isar Gas/PT Inti Alasindo Energi pada 2017-2021.
Pada Rabu, 9/11/2024, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, “Ada saksi yang mendalami kerja sama antara PGN dan PT Inti Alasindo Energy.”
Penyidik juga harus memeriksa Wenny Ayu Hapsari, Kepala Hukum Kontrak PT PGN, Tbk.
Namun Wenny tak menjawab saat tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggilnya untuk meminta keterangan.
“Saksinya belum muncul,” kata Tessa.
Itu melacak waktu
Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi tengah mengusut dugaan korupsi di PT PGN.
Kasus korupsi di gudang PT Pertamina telah ditingkatkan ke tingkat penyidikan dan tersangka telah ditetapkan.
Pengusutan kasus ini bermula dari hasil audit yang dilakukan Kementerian Pengawasan Keuangan (BPK).
Menurut analisis BPK, penjualan gas dan transaksi antara Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energi (IAE) yang mengendalikan Isar Gas (IG), pembayaran pertama sebesar 15 juta USD tidak didanai cukup untuk mengurangi risiko.
Pertama, rendahnya harga dan penjualan gas tidak didasarkan pada penelitian internal kelompok mengenai pengurangan risiko dan analisis manfaat.
Kedua, usaha tersebut tidak disertai dengan agunan yang memadai.
Obligasi yang diterbitkan induk usaha tersebut bukan dibuat oleh PGN dan nilai trust bond pada pipa PT Banten Inti Gasindo (BIG) yang bekerjasama dengan Isar Gas hanya sebesar Rp 16,79, jauh lebih rendah dari sebelumnya biaya pertama yang diberikan.
Ketiga, pelaku usaha ini tidak mempertimbangkan kebijakan pemerintah yang melarang penjualan gas secara berkelompok karena PT IAE tidak menyuplai gas.
Terakhir, operasi ini tidak melalui analisa keuangan dan uji tuntas yang memadai, terlihat dari nilai utang PT IAE yang kini lebih besar dibandingkan aset lancarnya.
Alhasil, sisa dana sebesar USD 14,19 juta berpotensi merugikan keuangan perseroan.
Dalam kasus ini, KPK menduga adanya tindak pidana korupsi dalam jual beli gas antara PT PGN dan PT Isar Gas.
KPK menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Saya Danny Praditya dan Direktur Bisnis PT PGN periode 2016–2019.
Danny juga merupakan CEO PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Tersangka kedua adalah Iswan Ibrahim, CEO PT Isar Gas.
KPK juga melarang Danny Praditya dan Iswan Ibrahim bepergian ke luar negeri.
Keduanya merupakan nama tersangka dengan dua spindik berbeda.
Kedua Spindik tersebut merupakan Surat Permintaan Nomor. Sprindik 79/DIK.00/01/05/2024 tanggal 17 Mei 2024, dan Surat Perintah No. Sprindik 80/DIK.00/01/05/2024 Mei. 17 Agustus 2024.
Dalam penyidikan kasus ini, KPK menggeledah tiga rumah di Jakarta milik AM, HJ, dan DSW.
AM dan HJ merupakan mantan pekerja PGN, sedangkan DSW merupakan mantan Direktur PGN.
Dari penelusuran tersebut, tim penyidik menemukan beberapa dokumen terkait jual beli gas antara PGN dan Isar Gas.
Tak hanya itu, tim penyidik juga menyita barang bukti elektronik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya telah melakukan pemeriksaan multi lokasi di Jakarta, Tangsel, dan Kota Bekasi pada 28-29 Mei 2024 serta Kabupaten Gresik, Jawa Timur pada 31 Mei 2024.
Ali Fikri, mantan pimpinan KPK, mengatakan pada Selasa, 4/4, “Penggeledahan dilakukan di empat kantor perusahaan dan tiga rumah orang yang terlibat dalam kasus tersebut.” 6/2024).
Lokasinya adalah: Kantor Pusat PT IAE di Jakarta; Kantor pusat PT Isargas di Jakarta; Kantor pusat PT PGN di Jakarta; Tersangka Danny Praditya berdomisili di Tangsel dan Pasar Minggu, Jakarta Selatan; mencurigai rumah pribadi Isan Ibrahim di Desa Bekasi; bersama dengan kantor cabang PT IAE di Gresik, Jawa Timur.
Ali mengungkapkan, tim penyidik mampu mengambil banyak bukti yang bisa membuktikan dugaan kegiatan diskriminatif tersebut.
Hasil yang diperoleh berupa dokumen terkait pembelian gas dan penjualan produk, dokumen kontrak, dan perubahan rekening bank, ujarnya.