Reporter Tribunnews.com Ilham Rian Pratama melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini belum mampu melacak keberadaan Harun Masiku.
Harun Masiku buron sejak 2020 dalam kasus Suap Anggota DPR RI Tahun 2019-2024 untuk Anggota Pengganti Sementara (PAW).
“Belum bisa tercium, karena masih banyak disaring oleh HM [Harun Masiku],” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahrdika Sugiarto kepada wartawan, Rabu (7/8/2024).
Tak hanya di dalam negeri, KPK dikabarkan berupaya mencari Harun Masiku di luar negeri seperti Malaysia dan Filipina. Namun pencarian berakhir sia-sia.
Tessa mengatakan, penyidik punya cara lain untuk menelusuri keberadaan Harun Masiku, yakni melalui saksi-saksi yang mengetahui keberadaan mantan calon legislatif PDIP tersebut.
“Tapi kami yakin penyidik punya bukti dan petunjuk siapa yang harus dihadirkan untuk diberikan penjelasan,” ujarnya.
Harun Masiku merupakan mantan MLA PDIP yang mencalonkan diri sebagai calon anggota Dewan Daerah Daerah (Dapil) I Sumatera Selatan (Samsel) pada Pemilu 2024.
Masiku hanya memperoleh 5.878 suara di dapil ini dan berada di peringkat kelima.
Pendapat tersebut tidak bisa mengantarkan Masiku ke Senayan.
Saat itu, calon anggota DPRD PDIP Daerah Pemilihan Sumsel I yang terpilih adalah Nazaruddin Kimas, namun meninggal dunia 17 hari menjelang pemilu.
Untuk itu, PDIP perlu mempersiapkan pengganti mendiang Nazruddin sebagai wakil rakyat pengganti.
Berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Nazaruddin digantikan oleh caleg PDIP yang memperoleh suara terbanyak kedua dibandingkan caleg MLA yang meninggal dunia dari partai dan daerah pemilihan yang sama.
Terkait aturan ini, Nazaruddin digantikan oleh Rizky Aprilia.
Sayangnya, PDIP tak menginginkan Rizki dan meski tak setuju dengan UU Nomor 7 Tahun 2017, mereka menyarankan Harun Masiku menggantikan Nazaruddin.
PDIP melalui kuasa hukum Donny Tri Istikomah menggugat Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara di Mahkamah Agung (MA).
Mahkamah Agung kemudian menguatkan kasus tersebut, sehingga pemilihan partai tidak lagi berdasarkan perolehan suara peringkat kedua, melainkan diputuskan oleh partai.
Putusan MA menjadi dasar PDIP melayangkan surat ke KPU untuk menunjuk Harun Masiku menggantikan calon majelis yang meninggal dunia, kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lilly Pintouli Siregar saat itu.
Bukti materiil yang diajukan PDIP memang disetujui Mahkamah Agung. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengabaikan permintaan tersebut dan bersikeras memilih Rizki menggantikan Nazaruddin.
Ada beberapa cara yang dilakukan PDIP untuk menjadikan Masiku menjadi anggota DPR, salah satunya dengan melayangkan fatwa ke Mahkamah Agung.
Tak hanya itu, partai berlambang banteng berhidung putih itu juga telah menyerahkan surat pengukuhan calon majelis KPU.
Masiku sendiri juga mencoba dengan mengirimkan dokumen dan fatwa kepada Komisioner KPU saat itu, Wahu Setiawan.
Surat itu dikirimkan melalui staf Sekretariat DPP PDIP, orang kepercayaan Saiful dan Wahue, mantan anggota Bawaslu 2008-2012, Agustiani Tio Friedelina.
Setelah menerima berkas tersebut dari Seful, Wahyu menerima dokumen Masiku dan fatwa Augustiani.
Oleh karena itu, Wahyu menyetujui proses pengangkatan Masiku menjadi anggota DPR melalui mekanisme PAW.
Syaratnya, ia meminta uang Rp900 juta untuk menyetujui Harun sebagai pengganti Nazruddin.
Harun Masiku menerima lamaran yang diajukan Wahyu agar bisa menduduki kursi anggota dewan.
Harun awalnya mengirimkan Rp 850 juta kepada Wahyu melalui Seful pada akhir Desember 2019.
Wahyula menerima Rp 200 juta pada pertengahan Desember 2019 dan Rp 400 juta pada akhir Desember 2019.
Wahula menerima uang sebesar Rp 200 juta dan Rp 400 juta melalui anggota Bawaslu bernama Agustiani Tio Friedelina saat itu.
Meski Harun sudah menggelontorkan dana jutaan rupiah untuk lolos menjadi anggota DPR, KPU tetap ngotot mengganti Rizki Nazaruddin.
Wahew kemudian menghampiri Donny dan kembali berjanji akan berusaha agar Harun digantikan oleh Nazaruddin melalui skema PAW.
Saat itu Wahyu meminta uang tambahan. Aksinya langsung diketahui KPK dan aksinya dihentikan.
Wahula ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Jakarta, Depok, dan Banyumas sejak Rabu, 8 Januari 2020 hingga Kamis, 9 Januari 2020.
Selain menangkap Wahyu, KPK juga menangkap Saiful dan Agustiani yang terlibat kasus Harun Masiku.
KPK menetapkan Harun sebagai tersangka pada Kamis, 9 Januari 2020, namun ia tidak pernah OTT.
Saat itu, Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Arvin Gumilang mengatakan, Masiku berangkat ke Singapura pada Senin, 6 Januari 2020.
Kaburnya Masiku terjadi beberapa hari sebelum Wahyu dan tiga orang lainnya di OTT oleh KPK.
Ali Fikri yang pada tahun 2020 masih menjabat sebagai Plt. Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi membantah KPK disesatkan karena Masiku berhasil kabur dari Indonesia melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
“Kami tidak melihatnya karena tentu saja penyidik punya pertimbangan strategis,” kata Ali, Senin (13/1/2024).
Ada beberapa langkah yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengetahui keberadaan Harun, salah satunya adalah meminta bantuan Kantor Pusat Nasional Interpol.
Akibat kaburnya Masiku ke Singapura dan kebingungan mengenai keberadaan Masiku, Direktur Jenderal Imigrasi (DIRGEN) Ronnie F. Sompi ditanyai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoli dipecat pada Selasa, 28 Januari 2020. .
Masiku tiba di Indonesia pada Selasa, 7 Januari 2020, kata Yasonna.
Perjalanan Masiku dari dan ke Indonesia lolos dari pemeriksaan imigrasi karena adanya penundaan di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta.
Saat itu, tim IT sempat terganggu karena pihak imigrasi baru mengetahui Harun Masiku sudah tiba di Indonesia, sehari sebelum Wahoo melakukan OTT.
Menurut Yassonna, kekisruhan tersebut tidak biasa sehingga ia membentuk tim independen yang terdiri dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara, Badan Reserse Kriminal Polri, dan Ombudsman RI.
Saat dibebaskan, Harun Masiku masih diyakini berada di luar negeri di Filipina dan Malaysia.
Interpol juga sempat mengeluarkan red notice surat perintah penangkapan internasional terhadap Harun Masiku pada Juni 2022, namun keberadaan mantan kader PDIP tersebut masih menjadi misteri.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata mengatakan pihaknya telah mengirimkan tim penyidik untuk mengejar Harun di Malaysia dan Filipina pada 2023.