TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Meski korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, namun pemberantasan korupsi bukan sekadar aspirasi.
Beberapa negara seperti Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan efisien dengan standar yang sangat rendah.
Hal ini membuktikan bahwa tidak adanya korupsi bukanlah sesuatu yang praktis, melainkan sebuah visi yang diyakini melalui kerja keras dan dedikasi.
Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis dan terpadu yang melibatkan seluruh sektor masyarakat.
Menurut pakar hukum dan politik, Dr. (Kandidat) Shri Hardjuno Wiwoho: Pemerintah harus memperkuat sistem penegakan hukum dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta membangun sistem antikorupsi yang efektif.
Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
“Masyarakat sipil juga harus berperan aktif dalam memantau pemerintahan, melaporkan tanda-tanda korupsi, dan menuntut akuntabilitas pejabat,” kata Hardjuno di Jakarta, Selasa (18 Juni 2024).
Gubernur Jenderal Commonwealth Community Delivery Center (HMS) mengatakan korupsi sudah meluas dan menyebar secara sistematis ke seluruh wilayah, baik pusat maupun daerah, yang menurutnya berdampak pada lembaga eksekutif legislatif dan yudikatif.
Oleh karena itu, korupsi digambarkan sebagai kejahatan spesifik yang berdampak pada seluruh struktur sosial dan ekonomi di semua tingkatan.
Kasus korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, ujarnya.
Bukti menunjukkan bahwa petugas polisi terus menangkap, mengadili dan menghukum penjahat korup setiap tahun.
Namun, tidak ada efek jera sama sekali;
“Praktik curang ini banyak terjadi di berbagai industri. Dampaknya cukup besar, mulai dari menghambat pembangunan, melemahkan kepercayaan masyarakat, hingga meningkatkan kesenjangan sosial,” tegasnya.
Ia menyimpulkan, realitas korupsi di Indonesia masih gila.
Hal ini tercermin dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diterbitkan Transparency International yang secara konsisten memberikan peringkat buruk pada Indonesia.
Meski sedikit meningkat dalam beberapa tahun terakhir, skor rata-rata Indonesia masih jauh di bawah.
Pada tahun 2023, Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara dengan skor 34 (skala 0-100, dimana 0 berarti lebih banyak korupsi dan 100 berarti bersih).
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menunjukkan betapa seriusnya epidemi korupsi di Indonesia.
“Setiap tahunnya terdapat ratusan kasus korupsi yang melibatkan berbagai aktor, mulai dari pegawai negeri sipil, politisi, pengusaha, hingga aparat hukum. Modus operandinya semakin beragam dan canggih, antara suap, berpuas diri, penggelapan sumber daya nasional, dan penyalahgunaan jabatan. ” dia menambahkan.
Lebih lanjut, Hardjuno menegaskan korupsi bukan hanya kejahatan ekonomi yang merugikan keuangan negara.
Namun dampaknya jauh lebih luas dan kompleks, mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Korupsi menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar, menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan daya saing negara.
“Korupsi juga merugikan kualitas layanan sosial, menghambat pembangunan infrastruktur, dan menghambat akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, korupsi juga berdampak signifikan terhadap sistem sosial dan politik. Korupsi mendorong ketidakadilan, meningkatkan kesenjangan sosial dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik.
Faktanya, korupsi juga melemahkan demokrasi, mendistorsi proses pengambilan keputusan, dan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, ujarnya.
Diakuinya, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Namun upaya pemberantasan korupsi masih menghadapi banyak tantangan dan hambatan.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah masih lemahnya sistem peradilan pidana.
Hal ini terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang berhenti pada tingkat penyidikan atau penuntutan atau bahkan campur tangan politik atau jaringan mafia.
“Selain itu, budaya korupsi yang masih ada di masyarakat juga menjadi kendala besar dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Indonesia tanpa korupsi
Hardjuno yang juga mahasiswa Program Doktor Hukum dan Pembangunan SMA Universitas Airlangga menjelaskan, bebas korupsi bukan hanya sekedar menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan efisien.
Namun tidak adanya korupsi juga menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat.
“Dengan komitmen, kerja keras, dan kerja sama seluruh lapisan masyarakat, kita bisa mewujudkan Indonesia tanpa korupsi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hardjuno mengatakan Indonesia tanpa korupsi merupakan impian yang terus terpampang di hati setiap anak bangsa.
“Gagasan masa depan tanpa korupsi bukan sekedar utopia, namun sebuah keniscayaan yang harus diperjuangkan bersama.” generasi penerus bangsa, untuk menciptakan landasan kokoh yang bermartabat bagi suatu bangsa,” tuturnya.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan tidak memihak menjadi landasan utama pemberantasan korupsi.
“Tidak ada tempat bagi korupsi di negara kita. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebelum ditemukan hukum yang adil,” tegasnya.
Namun, semua upaya tersebut akan sia-sia jika semua orang tidak berubah. Korupsi bukan hanya persoalan sistemis, tapi juga persoalan moral.
“Kita harus berani melawan budaya korupsi yang sudah mengakar di masyarakat. Mulai dari hal kecil seperti menolak membayar atau menerima suap hingga berani melaporkan tindakan korupsi yang kita saksikan. “Dengan tekad dan semangat persatuan, kita pasti bisa membayangkan masa depan Indonesia tanpa korupsi, masa depan yang gemilang dan penuh harapan,” tutupnya.