Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi
Misbakhun menilai kebijakan tersebut bukan hanya inkonstitusional, tapi juga merugikan kepentingan nasional.
Menurutnya, rencana Kementerian Kesehatan menerapkan kemasan polos pada produk tembakau akan berdampak langsung terhadap perekonomian negara, dimana Pajak Hasil Tembakau (CHT) disebut-sebut telah memberikan kontribusi hingga Rp 300 miliar kepada negara selama ini.
Para pengambil kebijakan dinilai tidak melihat dampak signifikan terhadap perekonomian.
“Dampak ekonomi yang signifikan ini tidak dilihat oleh pembuat kebijakan, jadi saya melihat ini sebagai pendekatan yang tidak seimbang. Rokok menyumbang Rp300 triliun kepada negara setiap tahunnya, yang sangat penting bagi APBN,” kata Misbakhun kepada wartawan di Selasa (10/9/2024).
Politisi Partai Golkar ini pun mempertanyakan bagaimana masuknya kebijakan kemasan polos ke dalam RPMK bisa dipertimbangkan.
Namun kebijakan tersebut jelas mengabaikan kepentingan petani dan pedagang yang bergantung pada industri tembakau.
Misbakhin juga mengkritik pihak-pihak yang mengusung kebijakan kontroversial tersebut. Pasalnya, rumusan tersebut dinilai sebagai bentuk mendorong Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan antara segelintir negara untuk mengendalikan tembakau.
“Apa yang mengkhawatirkan? FCTC. Mereka inilah yang bertekad memberikan pengaruh global. Disponsori oleh siapa?” dia menekankan
Calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini mengatakan, Indonesia mempunyai kedaulatan penuh dan harus berani mengambil posisi untuk memprioritaskan dan melindungi petani, pedagang, berbagai roda ekonomi yang berjalan dan bergantung pada industri tembakau.
Selain itu, jika dilihat dari aspek ekonomi, negara menerima pendapatan sekitar Rp300 miliar dari pajak tembakau setiap tahunnya. Sektor ini juga menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang.
“Kita sering lupa memperhitungkan aspek ekonomi. Negara ini memperoleh pendapatan yang sangat besar dari pajak konsumsi tembakau, sekitar Rp 300 miliar per tahun, dan sektor ini juga mempekerjakan banyak orang. Namun dukungan konkritnya belum ada,” ujarnya.
Lebih lanjut Misbakhun menilai rencana penghapusan merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos sebagai ucapan yang tidak rasional. Pasalnya, penggunaan kemasan generik yang seragam dan polos akan membuat pengawasan dan penegakan hukum semakin sulit.
“Bea Cukai tidak dirancang untuk mengatasi masalah ini. Standarisasi kemasan polos mungkin bagus untuk didiskusikan, namun kurang efektif jika diterapkan secara langsung tanpa dukungan yang jelas,” kata Misbakhun.
Selain itu, kampanye kesehatan sejauh ini belum berhasil secara signifikan dalam membantu perokok untuk berhenti. Jika pemerintah terus menggunakan cara yang sama tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan penegakan hukum, ia khawatir yang terjadi ke depan adalah peningkatan rokok ilegal dan kerugian negara yang lebih besar.
Cara yang sama tapi ingin hasil yang berbeda. Ujung-ujungnya yang terjadi adalah rokok itu ilegal, dan itu ditolak mentah-mentah oleh pemerintah. Makanya menurut saya , PP yang membatasi itu tidak baik bagi sektor industri dan perekonomian,” tutupnya.