TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta DPR RI mengubah referensi alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari belanja negara menjadi pendapatan negara.
Langkah ini diharapkan semakin mengurangi belanja wajib APBN untuk layanan pendidikan di Tanah Air.
“Kami menolak segala upaya yang berujung pada pengurangan anggaran pendidikan APBN karena pasti akan mempengaruhi kualitas layanan pendidikan di tanah air. “Bisa dibayangkan dengan sistem yang berlaku saat ini, masih banyak anak yang tidak bisa bersekolah karena alasan biaya, apalagi sumber daya pendidikan terpangkas,” kata Ketua Panitia X DPR RI Syaiful Huda, Jumat (6/2024).
Sebagai informasi, Sri Mulyani meminta DPR menata kembali penghitungan belanja wajib program pendidikan sebesar 20% APBN dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) pada Rabu (04/09/2024).
Jika selama ini 20% APBN untuk pendidikan ditetapkan sebagai ukuran belanja negara, ke depan harus didasarkan pada besaran pendapatan APBN.
Ketua Banggar Said Abdullah pun mengabulkan permintaan Sri Mulyanis.
Menurut Huda, jika komposisi APBN pendidikan sebesar 20 persen didasarkan pada pendapatan negara, maka dapat menekan anggaran pendidikan.
Menurut dia, dalam penyusunan APBN, jumlah pengeluaran pemerintah selalu direncanakan lebih besar dibandingkan pendapatan negara.
“Dalam RAPBN tahun 2025 misalnya, pos belanja negara diperkirakan mencapai Rp3.613 triliun, sedangkan pos pendapatan negara diperkirakan hanya mencapai Rp2.996,9 triliun. “Jadi kalau pedomannya adalah wajib belanja pendidikan 20 persen terhadap pendapatan negara, pasti akan mengurangi alokasi sumber daya pendidikan,” ujarnya.
Huda menegaskan, pendidikan patut mendapat prioritas dalam program pembangunan, yang juga tercermin dalam belanja negara.
Ayat 4 Pasal 31 UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan paling sedikit 20% dari APBN dan APBD dalam rangka menjamin pendidikan nasional.
“Konstitusi kita jelas menyatakan bahwa negara wajib memberikan pelayanan pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita, baik budi pekerti maupun ilmu pengetahuan. “Jangan sampai persoalan ini dimanipulasi untuk mengakomodir kepentingan lain,” ujarnya.
Ia mengatakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih banyak menghadapi kendala karena keterbatasan biaya.
Mulai dari tingginya biaya pendidikan perseorangan di perguruan tinggi, kursi sekolah menengah negeri yang berlebihan dan amatir, rendahnya kesejahteraan guru hingga minimnya sarana/prasarana sekolah, khususnya di daerah 3T.
“Belum lagi kualitas lulusan kita yang belum memadai, tercermin dari rendahnya kemampuan literasi, sains, dan matematika dibandingkan negara lain,” ujarnya.
Politisi PKB ini mengakui, pengelolaan anggaran pendidikan yang saat ini mencapai 20% APBN kurang maksimal, terutama dalam proses penyalurannya sehingga berdampak pada kualitas layanan pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu, upaya reformasi harus fokus pada peningkatan distribusi pendanaan daripada mentransformasi agenda pendidikan.
“Jadi kalau mau adil, perbaikannya bukan pada mengutak-atik besaran anggaran dari APBN, tapi pada sistem penyalurannya, sehingga anggaran pendidikan benar-benar untuk kepentingan pendidikan dan bukan untuk kepentingan atau program lain yang disamarkan sebagai lapangan pekerjaan. katanya akhirnya.