Komisi IX DPR Kritik Kemenkes Terkait Penyusunan RPMK yang Minim Pelibatan

Laporan reporter Tribunnews.com Versianos Vako

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komite Kesembilan PKS Partai Demokrat RI Kurnyasya Mwedati menyoroti proses penyusunan 15 rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 

Sebab, aturan tersebut berasal dari Peraturan Pemerintah (PP) No. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menilai keterlibatan Republik Demokrat Kongo masih kurang optimal.

Courneacier mengatakan pihaknya tidak diundang dalam pembahasan yang digelar Kementerian Kesehatan dalam proses penyusunan Protokol Paris hingga RPMK. 

Padahal, RDK sebelumnya banyak terlibat dalam pembahasan Undang-Undang (UU) Pelayanan Kesehatan yang menjadi dasar aturan tersebut.

Sayangnya kita tidak dilibatkan dalam pengembangan Protokol Paris, dan kini terjadi keributan di RPMK, kata Kurniasih dalam diskusi publik yang digelar Kebijakan Publik Indonesia. (FKPI) di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Kurneyasih mengatakan DPR Korea akan memprioritaskan pembahasan isu-isu penting peraturan tersebut setelah masa reses. Salah satu poin utamanya adalah peraturan tembakau yang memicu kontroversi.

Menanggapi kritik tersebut, Ivan Kurniavan, penyusun undang-undang Pakar Muda, mengumumkan di Kantor Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan bahwa Menteri Kesehatan telah memerintahkan pengesahan RPMK untuk ditunda. 

Langkah ini diambil untuk mendapatkan lebih banyak masukan dari pemangku kepentingan.

“Saat menyusun peraturan, kami mengutamakan prinsip keterlibatan atau partisipasi yang bermakna, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Namun kami tidak bisa menyenangkan semua orang dengan peraturan tersebut. Fokus kami adalah pada kesehatan, sesuai dengan tanggung jawab inti kami,” kata Yuan.

Selain minimnya partisipasi DPR, Pengamat Hukum Universitas Indonesia Hari Prasetyo mengungkapkan adanya perubahan terminologi antara UU Kesehatan dan peraturan yang dihasilkannya sehingga menimbulkan multitafsir. 

Misalnya, dalam peraturan rokok elektrik, frasa “risiko rendah” tidak ada dalam peraturan turunannya, begitu pula frasa “menikah” dalam peraturan kontrasepsi.

“Kalau Kementerian Kesehatan ingin menurunkan prevalensi merokok pada anak, perlu dibuat regulasi berdasarkan profil risiko yang diatur dalam UU Kesehatan, jadi harus berbeda-beda, tidak bisa digabungkan,” kata Harry. .

Corniasse juga menekankan pentingnya dialog terbuka antara seluruh pemangku kepentingan untuk menyelesaikan masalah ini. 

Ia meyakinkan Komite IX DRC RI siap mendengarkan pihak mana pun yang merasa terdampak dengan aturan tersebut.

“Semua pemangku kepentingan harus duduk dan mencari solusi terbaik bagi semua pihak. Kita tidak bisa mengundang pemangku kepentingan lain yang bukan mitra,” tegasnya.

Ketua FKPI Trubus Rahardiansa menambahkan, partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan perda sangat penting. 

“Kemitraan ini penting karena kesehatan merupakan kebutuhan utama masyarakat, sehingga membantu mendorong keterlibatan pemangku kepentingan, terutama dalam perumusan peraturan turunan lainnya di masa depan.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *