Komentari Fatwa MUI Salam Lintas Agama, Rektor IAIN Ponorogo: Salam Implementasi Fikih Muamalah

TRIBUNNEWS.COM – Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang praktik sapa lintas agama banyak menimbulkan dampak.

Salah satunya datang dari Rektor IAIN Ponorogo, Profesor Evi Muafiah yang mengatakan sapaan merupakan bagian dari hubungan mullah atau hubungan antara seseorang dengan orang lain.

Menurut Evini, salam bukan bagian dari ubudiyyah. Sebab dalam ucapan tersebut terdapat harapan baik satu sama lain.

“Kita harus bisa mendefinisikan apa itu ubudiya atau muamalah.”

“Ubudiyyah mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, dan dalam menjalankan hubungan tersebut, seorang muslim harus luar biasa dalam meyakini bahwa kebenaran hanya milik Tuhan.”

“Padahal shalat adalah hubungan antara manusia dengan orang lain. Setiap orang yang beragama Islam harus ikut serta mewujudkan keterhubungan ini,” kata Evi dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Selasa (04/06/2024).

Guru Besar Pendidikan Islam ini mengatakan, salam adalah bagian dari hubungan Tuhan dengan manusia, dan tidak berkaitan dengan beribadah kepada Tuhan.

Ucapan selamat dari rumah berisi harapan baik seseorang.

Sebaliknya, berkata baik merupakan bagian dari ajaran Islam.

“Dengan memberikan penghormatan ini, kami menyadari bahwa setiap manusia di planet ini berhak atas keselamatan dan perdamaian.”

“Hakikat nilai keselamatan dan kedamaian terdapat pada setiap makna salam dalam setiap agama.

Belakangan diketahui, MUI sebelumnya melarang umat Islam mengucapkan selamat hari raya agama lain. 

Ini adalah Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Sungailiat Kabupaten Bangka, yang diputuskan oleh Ulama Ictima, anggota VIII Komisi Fatwa RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 

Sebagaimana tercantum dalam MUI, “Toleransi beragama dilaksanakan sepanjang tidak tercakup dalam lingkup kepercayaan, ibadah adat, dan upacara keagamaan.” Asrorun Niam Sholeh, Ketua Divisi Fatwa Indonesia (MUI), mengatakan. situs web, Jumat (31/5/2024).

Ni’am berkata, “Selamat Idul Fitri dengan menggunakan atribut hari raya agama lain.”

Juga, memaksa umat untuk merayakan hari raya agama lain atau tindakan yang umumnya tidak dapat diterima oleh umat beragama. 

Beberapa tindakan di atas dinilai bercampur dengan ajaran agama. 

Meski demikian, MUI menekankan agar umat Islam menunjukkan toleransi dengan memperbolehkan agama lain menjalankan ritual keagamaannya. 

Menurut Niam, toleransi beragama setidaknya mempunyai dua bentuk, yaitu iman dan muamalay. 

Lebih lanjut dia mengatakan, umat Islam yang taat mempunyai kewajiban untuk memberikan kebebasan bagi agama lain untuk merayakan Idul Fitri sesuai keyakinannya. 

“Masyarakat menurut ibu; Negara dan negara bekerja sama untuk mencapai keselarasan dalam permasalahan sosial,” kata Niam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *