Laporan khusus jurnalis Tribunnews.com Abdi Rayanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Suara deras air mengalir disertai suara anak-anak berenang terdengar saat bencana alam pasang surut melanda kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu (18/12/2024) sore. .
Tidak ada rasa takut di wajah anak-anak itu.
Mereka dengan mudahnya terapung di tengah air berisi tumpukan sampah yang mengapung di Jalan Dermaga Ujung 2 Blok Ampang Muara Angke, Jakarta Utara, yang merupakan jalan menuju pelabuhan.
Selain berenang, anak-anak juga bermain bola di air yang tingginya sekitar 15 sentimeter.
Bahkan, arus limbah sore itu sangat deras.
Di tengah kerumunan anak-anak yang bermain banjir, terlihat seorang ibu memegang selembar kain dan semangkuk makanan di pinggir jalan utama tempat berkumpulnya ibu-ibu lainnya.
Yeti adalah nama perempuan berusia 45 tahun.
Dia mengatakan rumahnya tidak untuk bantuan saat ini.
Yeti, bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu dan papan, tersapu ombak. Suasana kawasan Muara Angke Jakarta Utara yang dilanda bencana rob pada Rabu (18/12/2024) sore.
Menurut Yeti, banjir tersebut merupakan bencana terparah dan terpanjang di wilayah tersebut dalam 30 tahun terakhir.
Saat ini tujuh hari telah berlalu sejak bencana alam tersebut.
“Iya roboh karena terbuat dari kayu. Rumah kami dari kayu, tidak permanen, jadi mungkin karena arus airnya kuat, bisa pecah lalu roboh, dan kemarin terjatuh. Tadinya ada, sekarang sudah rata dengan tanah,” kata Yeti kepada Tribune.
Tribun mendatangi rumah Yati yang rata dengan tanah.
Terlihat yang tersisa dari tembok dan pagar hanyalah puing-puing kayu yang masih berserakan di sekitar lokasi.
Yeti bercerita padaku saat rumahnya ambruk di jalan.
Saking derasnya air, rumah roboh, namun musala di belakang rumah menahannya.
Namun karena dirasa berbahaya, Yeti dan suaminya akhirnya memutuskan untuk menghancurkan tempat tinggal mereka. Suasana kawasan Muara Angke Jakarta Utara yang dilanda bencana rob pada Rabu (18/12/2024) sore.
Yeti, suami dan anak-anaknya tinggal di rumah semi permanen lainnya yang masih berlantai dua, hanya untuk tidur di malam hari.
Namun karena di rumahnya tidak ada kamar mandi, ia terpaksa menggunakan kamar mandi tetangga.
Yeti juga berbicara tentang inisiasi perekrutan.
Sebelumnya, pada Kamis (12/12/2024), ia dan keluarga telah selesai salat subuh.
Selang beberapa waktu, jalan utama di depan jalan rumahnya mulai tergenang air.
Debit air meningkat pada pukul 09:00 WIB.
Bahkan, suatu hari ketinggian air di sekitar rumahnya mencapai 120 sentimeter.
Yeti mengatakan ini adalah masa aliran air.
Airnya hilang pada malam hari dan kembali lagi keesokan paginya.
“Hari ini air datang jam 10.00 pagi, mungkin jam 10.00 surut, ini belum pasti,” ujarnya.
Dia mendapat masalah setiap hari.
Bahkan, suaminya yang bekerja di tempat pelelangan ikan itu tak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya karena tidak punya penghasilan selama beberapa hari terakhir.
Bantuan tetangga dan hutang adalah pilihan Yeti.
Lahir di Kabupaten Tangerang, Cronjo ini harus dengan berat hati meminjam uang kepada kerabatnya di desa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebab, diakuinya hingga saat ini belum ada bantuan dari pemerintah baik berupa kebutuhan pokok maupun sandang.
“Iya (belum ada bantuan), bahkan kemarin saya terlilit hutang, saya pinjam uang ke orang desa, bantu saya. Kami tidak punya penghasilan, kami mau pulang dan kami bingung, amankah keluar rumah?” Tidak, padahal aku tidak punya apa-apa.
Meski enam hari telah berlalu sejak tragedi tersebut, Yeti dan keluarganya memutuskan untuk tidak pindah karena khawatir pencuri akan mencuri barang-barang berharga dari rumah mereka.
Selain itu, Yati juga tidak akan keluar dari kawasan itu meski banjir sudah surut karena ia sudah lama tinggal di sana dan menurutnya lingkungannya sangat baik.