TRIBUNNEWS.COM, RANAI – Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) mungkin menjadi dambaan banyak masyarakat Indonesia dibandingkan menjadi anggota TNI atau Polri.
Jaminan gaji bulanan dan jaminan hari tua menjadi salah satu alasan banyaknya pelamar setiap kali dilaksanakannya Tes Masuk CPNS.
Jadi menjadi PNS itu selalu bagus? tidak terlihat
Setiap pekerjaan selalu mempunyai resiko.
Juga bekerja sebagai PNS.
Ada satu hal yang harus diikuti oleh semua pegawai negeri sipil.
Seperti halnya prajurit TNI dan Polri yang harus siap ditempatkan dimana saja, PNS juga harus siap ditempatkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain yang ditunjuk oleh instansi pemerintah.
Nah, kalau ingin tahu untung ruginya jadi PNS, tanyakan saja pada PNS yang bekerja di daerah terpencil, di perbatasan, atau di pulau-pulau paling terpencil di Indonesia.
Staf Kantor Imigrasi Kelas II Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau mungkin bisa menceritakan kisah tersebut. Kepala Lalu Lintas Imigrasi Konstitusi Kantor Imigrasi Kelas II Ranai Teddy Wibisono (kanan) menjelaskan profil Kantor Imigrasi Kelas II Ranai;
Teddy Wibisono salah satunya.
Sejak 2019 atau lima tahun, Teddy Ranay menjabat sebagai Kepala Lalu Lintas Izin Imigrasi di Kantor Imigrasi Kelas II.
Ia sebelumnya bertugas di Kantor Imigrasi Kelas II Batulicin, Thana Bumbu, Kalimantan Selatan.
Lima tahun Teddy di Ranay mengalami banyak pasang surut.
Namun ada satu hal yang paling ia rasakan, yaitu jauh dari keluarga, terutama istri dan anak-anaknya.
Selama 5 tahun terakhir, mahasiswa Poltekim angkatan 2004 itu harus meninggalkan istri dan anaknya di kampung halamannya di Bandung, Jawa Barat, karena tidak bisa diambil keluarga Ranayga.
Teddy bisa membawa keluarganya ke Ranay.
Selain itu, selama bertugas di Ranai, ia diberikan rumah dinas di dekat Kantor Imigrasi Ranai.
Namun, ada ide penting yang memaksa Teddy harus tinggal jauh dari istri dan anak-anaknya.
“Salah satu kekhawatirannya adalah kualitas sekolah di Ranai tidak sebaik sekolah di Jakarta atau Bandung,” kata Tedi, Kamis (29/8/2024) lalu. Petugas Kantor Imigrasi Kelas II (Kanim) Ranai memeriksa dokumen keimigrasian 6 orang awak kapal ikan berbendera Hong Kong yang masuk ke perairan Indonesia. (Tribunnews.com/Dodi Esvandi)
Menurut BPS, jumlah penduduk Ranayi sebanyak 8.735 jiwa.
Dengan jumlah penduduk yang sedikit, tidak banyak pilihan pendidikan yang baik dan berkualitas di kota dan pusat administrasi Kabupaten Natuna.
Selain fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan di Ranai juga belum sempurna.
Warga Ranai yang sakit parah biasanya berobat ke Batam.
Saking sulitnya, Teddy harus menghabiskan lima tahun terakhir jauh dari keluarganya di Natuna.
Pulang ke rumah sebulan sekali, bukan seminggu sekali, memang berat bagi Teddy.
Tak lain adalah harga atau biaya tiket pesawat dari Natuna ke Jakarta atau Bandung yang tidak main-main, lebih dari gaji seorang PNS biasa.
Tidak ada penerbangan langsung dari Ranai ke Jakarta.
Hanya ada satu penerbangan ATR per hari dari Bandara Raden Sajjad di Ranai.
Harga tiket untuk satu kali penerbangan berkisar Rp 2,6 juta.
Kemudian harga tiket termurah dari Batam ke Jakarta adalah Rp 1 juta.
Jadi, untuk kembali ke Jakarta atau Bandung, Ted perlu merogoh kocek sebesar 3,6 juta rubel.
Jika bertambah dua kali perjalanan atau lebih, perlu mengeluarkan dana Rp 7,2 juta.
Sebenarnya ada pilihan transportasi yang lebih murah yakni naik kapal feri dari Pelni KM menuju Bukit Raya.
Harga tiketnya pun sangat masuk akal, yakni Rp 400 ribu untuk sekali perjalanan.
Namun waktu tempuh perahu adalah 3 hari.
Jadwal berlayar tidak tersedia setiap hari, setiap 14 hari. Proses pembuatan paspor di Kantor Imigrasi Kelas II Ranai Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Tahun ini, Departemen Imigrasi Ranayi menerbitkan 1.700 paspor (Tribunnews.com/Dodi Esvandi).
Akhirnya Teddy harus meninggalkan situasi tersebut.
Ia harus kembali hanya pada saat-saat penting dan waktu-waktu tertentu.
Misalnya Idul Adha.
“Jika ada keadaan darurat, tidak selalu bisa pulang,” ujarnya.
“Parahnya kalau istri atau anak sakit, misalnya. Kita tidak bisa datangi mereka,” kata Teddy.
Di masa pandemi Covid-19, Teddy mengajak anak dan istrinya ke Natuna, karena saat itu semua anak sekolah sedang belajar online.
Namun setelah Covid-19 mereda, Teddy memindahkan keluarganya kembali ke Bandung.
Abdul, petugas Kelas II Kantor Imigrasi Ranai, juga mengalami hal serupa.
Dia melayani Rana selama kurang lebih 6 tahun.
Saat pertama kali saya mengunjungi Rana, anak pertama saya baru berusia beberapa bulan.
Kini anak pertamanya sudah masuk sekolah dasar.
Abdul juga berasal dari Jawa Barat, Daerah Sumedang.
Berbeda dengan Teddy, Abdul tidak tinggal jauh dari istri dan anak selama 6 tahun karena anak-anaknya belum bersekolah.
Namun karena biaya yang mahal, ia tidak bisa pulang dan mengunjungi keluarganya, terutama orang tuanya.
Karena pegawai negeri sipil bekerja di daerah paling terpencil, para pejabat imigrasi ini berharap dapat menarik lebih banyak perhatian masyarakat.
“Gajinya saja saat ini. Mungkin perlu memikirkan bentuk tunjangan lain, seperti tunjangan petugas di luar pulau,” kata Teddy.
Saya berharap pemerintah memberikan perhatian baik kepada TNI maupun Polri. Karena kita semua adalah aparatur pemerintah yang berada di garda terdepan menjaga kedaulatan negara, ujarnya.