Kewajiban Sertifikasi Halal Pelaku UMKM Ditunda, LPPOM Dorong Pemerintah Prioritaskan Sektor Hulu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Muti Arintawati mendorong pemerintah untuk terus fokus memulai penyelesaian permasalahan halal di sektor produksi yang berorientasi halal , baik itu besar. atau perusahaan menengah dan UKM.

Hal ini disampaikan Muti menanggapi keputusan pemerintah yang menunda pemberlakuan sertifikasi halal wajib bagi produk makanan dan minuman usaha mikro dan kecil (UMK) mulai 18 Oktober 2024 menjadi Oktober 2026.

Muti yakin keputusan pemerintah ini pasti akan membawa kelegaan bagi banyak pihak yang prihatin terhadap nasib UKM.

Melihat jumlah pelaku usaha dan sisa waktu penerapan syarat wajib halal pada Oktober 2024, menurut saya NM akan kesulitan memenuhi tenggat waktu tersebut sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi kelangsungan usaha.

Namun penundaan ini tentu tidak berarti UKM bisa bersantai. Program yang dijalankan secara ketat dan target antara harus ditetapkan agar bisa mencapai Oktober 2026. Dengan demikian, pelaku usaha tidak boleh menunda pengurusan sertifikat halal dan menunggu selesai. sosialisasi,” kata Muti di Jakarta, Jumat (17/5/2024).

LPPOM MUI menegaskan, tujuan utama wajib kategori halal tidak hanya mempertimbangkan skala usaha, tetapi juga fokus pada tingkat kekritisan produk.

Jika produk kritis merupakan bahan mentah yang digunakan dalam produksi produk lain, maka luas bidang penggunaan bahan tersebut juga harus diperhatikan.

“Kita perlu mencermati akar permasalahan yang ada saat ini. Yang perlu ditegaskan bukan hanya skala usaha di sektor UKM saja, namun juga perlunya fokus pada pelaku usaha penyuplai material yang tergolong kritis dan kritikal. dan digunakan dalam industri lain tanpa memandang skala usaha pengusaha. Hal ini disebabkan karena pasokan bahan baku dan jasa terkait minuman tidak hanya berasal dari pelaku usaha besar, tetapi juga dari pelaku usaha kategori kecil, katanya. menjelaskan.

Misalnya saja soal daging. Ketersediaan produk pemotongan yang dihasilkan oleh Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/U) menjadi pertimbangan.

Pasalnya, daging dan turunannya digunakan untuk membuat berbagai produk kuliner.

Sebaliknya, tidak semua produk potong diproduksi oleh perusahaan menengah dan besar.

Daging yang dipasok oleh Rumah Potong Hewan (RPH) sebagian besar merupakan produk usaha mikro dan kecil (UMK), termasuk yang diproduksi oleh Rumah Potong Hewan Unggas (TPU) di pasar dan pemukiman.

Melonggarkan UMK tanpa komitmen halal yang serius akan menunda ketersediaan daging halal dan pada akhirnya menghalangi pelaku usaha lain untuk menggunakan daging yang dibeli dari pelaku usaha UKM.

Selain itu, banyak pula produk-produk kemasan kecil untuk bahan bumbu dan roti (termasuk bahan impor) yang dikemas ulang juga ditangani oleh UMKM.

Ada juga layanan terkait makanan dan minuman, seperti penjual dan penggilingan daging, yang juga banyak dilakukan oleh UMKM.

“Ketersediaan bahan dan pelayanan halal akan memudahkan UMKM menghasilkan produk akhir makanan dan minuman halal. Ini seperti efek domino. Jika permasalahan produksi teratasi, sebagian besar permasalahan produk halal di Indonesia. Muti mengatakan, “Prosesnya sertifikasi halal suatu produk juga akan lebih mudah dan jaminan halalnya dapat dipertanggungjawabkan,” jelasnya.

Sebagai Lembaga Pengawas Halal (LPH), LPPOM MUI mengaku siap mendorong pemerintah menyukseskan penerapan peraturan wajib halal guna mewujudkan impian Indonesia menjadi pusat halal dunia.

LPPOM menyampaikan, aksi utama MIA dalam menggalakkan hal tersebut terjadi dalam berbagai program.

Salah satunya adalah penerapan program Sheval sebagai bentuk perhatian LPPOM terhadap UKM.

Tahun ini, LPPOM secara mandiri memberikan sertifikasi halal reguler kepada 125 UKM, 85 di antaranya berasal dari 5 Destinasi Super Prioritas (DSP).

Sebanyak 42 UKM di Labuan Bajo, 10 UKM di kawasan Danau Toba, 8 UKM di kawasan Borobdur, 6 UKM di kawasan Likupang, dan 20 UKM di kawasan Mandalika. Sekitar 40 diantaranya tersebar di berbagai provinsi di Indonesia.

“Jumlah ini sangat kecil dibandingkan target dan jumlah UKM yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun kami yakin LPPOM melalui Festival Syawal dapat menjadi katalis yang mempercepat proses pertumbuhan sektor halal di Indonesia,” kata Muti. .

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan sertifikasi halal wajib bagi produk makanan dan minuman usaha mikro dan kecil (UMK) mulai 18 Oktober 2024 menjadi Oktober 2026.

Pengumuman tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas yang dihadiri sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Kepresidenan Jakarta pada 15 Mei 2024.

“Kebijakan penundaan kewajiban UKM untuk melakukan sertifikasi produk makanan dan minuman halal merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap UKM. Dengan adanya penundaan ini, UKM diberikan kesempatan untuk memperhitungkan Nomor Induk Usaha (NIB) dan mengajukan sertifikasi halal. hingga Oktober 2026 “Berlangsung sampai,” kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/5/2024).

Keputusan ini juga untuk melindungi pelaku usaha khususnya UKM agar tidak mengalami kendala hukum atau terkena sanksi administratif, tambah Yaqut.

Namun kewajiban sertifikasi halal bagi produk usaha menengah dan besar akan tetap berlaku mulai 18 Oktober 2024.

Kewajiban sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Dalam Pasal 140 beleid tersebut ditentukan bahwa tahapan wajib sertifikasi halal produk makanan, minuman, hasil pemotongan, dan jasa pemotongan akan dimulai pada tanggal 17 Oktober 2019 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2024.

Muhammad Aqil Irham, Ketua Badan Pengatur Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, mengatakan pihaknya akan segera membicarakan masalah teknis dengan otoritas terkait seiring dengan penundaan kewajiban sertifikasi halal produk UMK hingga Oktober 2026. Kementerian antara lain Kementerian Koordinator Perekonomian, Sekretariat Kabinet, Kementerian Koperasi dan UKM dan lain-lain.

“Kita akan bahas dan siapkan payung hukumnya bersama-sama,” kata Aqil Irham.

Aqil Irham mengatakan, penundaan kewajiban sertifikasi halal memberikan waktu bagi pemerintah untuk mengintensifkan sinergi dan kerja sama antar kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (Pemda).

Pemerintah juga harus menyiapkan anggaran yang sesuai untuk memfasilitasi sertifikasi halal UMK melalui program deklarasi mandiri.

Pasalnya, BPJPH selama ini mengalami keterbatasan anggaran untuk membiayai fasilitasi sertifikasi halal mandiri bagi UKM dan hanya mampu membiayai 1 juta sertifikat halal per tahun.

“Pembatasan ini sangat kami rasakan, apalagi pada tahun 2023 dan 2024 yang selalu terlampaui kuota karena antusiasnya para pelaku usaha khususnya UKM untuk mendapatkan sertifikat halal gratis,” kata Aqil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *