Reporter Tribunnews Ibriza Fasti Ifhami melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Mahkamah Konstitusi (CJ) Suhartoyo menjelaskan mengapa lembaga peradilan yang dikenal dengan sebutan “Penjaga Konstitusi” bertanggung jawab dalam menangani sengketa pilkada.
Suhartoyo awalnya mengatakan perselisihan hasil pilkada merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA). Namun belakangan, Kongo sebagai legislator mengalihkan kewenangan tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
“Hak Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perkara terkait perselisihan pilkada bersifat sementara sampai terbentuknya pengadilan khusus pemilu. Suhartoyo: “Setelah permohonan diajukan oleh pemohon (Perludem), Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menyelesaikan perselisihan pilkada. . memutuskan atau memutus tidak berlaku lagi untuk sementara, tetap atau menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” kata Mahkamah Konstitusi dalam webinar di salah satu universitas di Indonesia yang dikutip dari laman YouTube MKRI, Minggu (7/7/2024).
Suhartoyo mencatat, permintaan Tulisdem itu tertuang dalam keputusan Panitia Pusat Nomor 85/PUU-XX/2022, di mana penyelesaian perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan Panitia Tetap.
Suhartoyo menjelaskan, keputusan tersebut didasarkan pada penilaian bahwa penyerahan kewenangan DRC atas perselisihan pilkada kepada KK hanya bersifat sementara.
Sementara itu, kami memperkirakan pilkada serentak akan dilaksanakan pada tahun 2024. Pada saat yang sama, pemerintah dan legislatif Kongo belum membentuk badan peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkada.
Dengan kata lain, menurutnya, harapan masyarakat atau masyarakat agar Mahkamah Konstitusi bisa digantikan oleh badan peradilan dengan badan pemilihan daerah, belum terwujud.
Lebih lanjut, Suhartoyo mengatakan jika dibentuk pengadilan khusus pemilu, maka akan ada sejumlah kendala dalam penempatannya.
“Di manakah letak yurisdiksi eksklusif pemilu? Padahal, itulah yang kemudian MA membuat yurisdiksi (sengketa pemilu) menjadi permanen,” jelasnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi kemudian menegaskan bahwa meskipun pemerintah dan Kongo sudah terbentuk, badan peradilan khusus pemilu tetap mempunyai yurisdiksi, sehingga harus berada di bawah yurisdiksinya.
“Kalau masuk dalam kerangka yurisdiksinya, mau ditempatkan di mana? Karena pengadilannya hanya ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.”
Oleh karena itu, Suhartoyo mengatakan Putusan 85/PUU-XX/2022 diambil untuk menjamin kepastian hukum dan menghindari ketidakpastian bagi peserta, pemilih, dan penyelenggara pemilu.