Ketua Komisi X DPR: Apa Orang Miskin Dilarang Kuliah?

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pernyataan Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ristek Tjitjik Sri Tjahjani tentang pendidikan tinggi sebagai perguruan tinggi mendapat tanggapan banyak kalangan.

Pernyataan ini memperkuat persepsi bahwa pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya diperuntukkan bagi kelompok tertentu.

“Kami prihatin dengan pernyataan Prof. Tjitjik yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tinggi yang bersifat opsional atau opsional. Bagi kami, pernyataan ini memperkuat persepsi bahwa masyarakat miskin dilarang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. “Kampus ini elit dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki uang untuk membayar biaya pendidikan tunggal,” kata Ketua Komite X DPR RI Syaiful Huda, Sabtu (18/5/2024).

Huda dalam Deklarasi Pendidikan Tinggi mengatakan bahwa pendidikan tinggi benar tetapi tidak akurat.

Selain itu, hal ini juga disampaikan oleh pejabat publik yang bertanggung jawab di bidang pendidikan tinggi.

Disampaikan pada forum temu media resmi untuk menyikapi protes terhadap kenaikan UKT di beberapa perguruan tinggi negeri.

“Jika protes terhadap kenaikan UKT ini disikapi seperti ini tentu sangat menyedihkan,” ujarnya.

Ditegaskannya, pernyataan bahwa pendidikan lanjutan adalah perguruan tinggi yang diungkapkan seorang pejabat senior Kementerian Pendidikan dan Teknologi dapat diartikan seolah-olah pemerintah turut serta dalam nasib mereka yang tidak mampu tetapi ingin belajar; .

Namun di sisi lain, pemerintah menyatakan ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ingin memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi.

“Namun ketika ada keluhan tingginya biaya kuliah dari mahasiswa dan masyarakat, mereka seolah mau menyerah,” ujarnya.

Politisi PKB ini mengungkapkan, peluang peserta untuk mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia relatif rendah.

Berdasarkan data BPS tahun 2023, partisipasi bruto perguruan tinggi Indonesia masih sebesar 31,45 persen.

Angka ini tertinggal dari Malaysia sebesar 43%, Thailand sebesar 49%, dan Singapura sebesar 91%. “Salah satu faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pada pendidikan tinggi di Indonesia adalah masalah biaya,” ujarnya.

Di sisi lain, kata Huda, anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahunnya relatif besar, dengan belanja wajib sebesar 20% dari APBN.

Tahun ini saja ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.

“Nah, yang terjadi di sini adalah peningkatan besar-besaran UKT dari perguruan tinggi negeri yang banyak dikeluhkan mahasiswa. Apakah memang ada salah urus dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain,” ujarnya.

Huda mengatakan, saat ini KPU

Komisi Biaya Pendidikan diharapkan dapat memberikan rekomendasi terkait perbaikan pengelolaan anggaran pendidikan, baik dari segi pola penyaluran maupun penetapan sasaran mata pelajaran dan jenis program.

“Kami berharap rekomendasi Komisi Biaya Pendidikan dapat menjadi acuan dalam penyusunan RABPN 2025”, tutupnya.

Kursi itu penting

Seperti dilansir Tribun Medan, Tjitjik Sri Tjahjandarie yang merupakan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi sorotan setelah pernyataannya tentang perguruan tinggi dan kebangkitan Pendidikan Tunggal. . Tarif atau UKT yang sedang menjadi sorotan belakangan ini.

Tjitjik Sri Tjahjandarie pun viral setelah pernyataannya bahwa kuliah atau universitas itu bukan wajib melainkan perguruan tinggi.

Tjitjik mengatakan mahasiswa harus menanggung biaya pendidikan agar pendidikan dapat memenuhi standar mutu.

“Dari sudut pandang lain, kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tinggi, oleh karena itu tidak wajib belajar.

Artinya tidak semua lulusan SMA, lulusan sekolah kejuruan diwajibkan masuk perguruan tinggi. “Ini sebuah pilihan,” ujarnya dikutip Tribun-medan.com dari video yang sedang populer di media sosial X, Jumat (17/5/2024).

“Siapapun yang mau berkembang untuk masuk perguruan tinggi ya, itu pilihan, bukan wajib”, imbuhnya.

Ia juga menegaskan, pemerintah fokus memprioritaskan pendanaan wajib belajar 12 tahun.

Pendidikan tinggi belum menjadi prioritas karena masih tergolong pendidikan tinggi.

Ia juga mengatakan, beberapa PTN memang menambah kelompok UKT untuk menarik mahasiswa dari keluarga yang tergolong mampu secara finansial.

“Ada beberapa perguruan tinggi yang menambah kelompok UKT lagi.

Jadi bukan menaikkan UKT ya, tapi menambah kelompok UKT menjadi lebih besar, kata Tjitjik dalam jumpa pers penetapan tarif UKT pada PTN, dilansir Tribun-medan.com dari Breaking News Kompas TV, Jumat (17). /5/2024).

“Untuk apa? Untuk menarik atau memfasilitasi siswa dari keluarga kaya.

“Kalau ini demonstrasi, apa yang terjadi pasti kita waspadai,” lanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *