Dilansir reporter Tribunnews.com Shaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Legislatif DPR RI (Baleg) memutuskan menunda pembahasan revisi UU Penyiaran.
Hal ini sejalan dengan permintaan partai kepada Ketua DPR RI Baleg Suprathman Andi Agtas untuk menunda pembahasan RUU Penyiaran.
“Saya sampaikan kepada semua teman-teman bahwa partai kita telah memerintahkan saya untuk tidak memperdebatkan izin penyiaran untuk sementara waktu,” kata Suprathman di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/05/2024).
Keterlambatan ini terkait dengan gelombang penolakan RUU Penyiaran.
RUU Penyiaran mempunyai kewenangan mengganggu kebebasan pers.
“Kami tidak ingin kebebasan pers berada dalam kekacauan, bukan?” Publikasi sebagai lokomotif dan salah satu pilar demokrasi harus dijaga karena untuk demokrasi,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Selain itu, pasal yang dihadirkan dalam RUU Penyiaran juga merujuk pada aturan yang melarang penyiaran jurnalisme investigatif.
Maka, kata Supratman, Baleg memutuskan untuk menyulut perdebatan soal izin penyiaran.
“Iya, maksudnya perintah (ditangguhkan),” pungkas Suprathman.
Sebelumnya pada sore hari, sejumlah penerbit yang tergabung dalam Serikat Pekerja Jurnalis dan Media menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin sore (27/05/2024).
Tindakan ini terkait dengan bahasa Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Setidaknya ada beberapa poin yang menjadi fokus penolakan para pengunjuk rasa terhadap undang-undang reformasi.
Pertama, mereka menulis artikel yang memberikan kekuasaan terlalu besar kepada pemerintah untuk mengontrol konten siaran.
Pasal ini berpotensi digunakan untuk menyensor dan mencegah penyampaian informasi penting dan penting,” bunyi imbauan dalam aksi tersebut.
Kedua, para pengunjuk rasa menulis artikel yang meremehkan prinsip-prinsip media independen.
Sebab, ia yakin bisa membatasi ruang media dan memperkecil kesenjangan penyampaian informasi kepada masyarakat.
Ketiga, para pengunjuk rasa menolak pasal yang menetapkan hukuman berat bagi pelanggaran administratif. Sanksi yang tidak adil ini akan membungkam jurnalis dari profesi jurnalistik dan mengancam kebebasan pers.
Keempat, meminta DPR dan pemerintah segera mengkaji permasalahan tersebut dengan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan, termasuk Dewan Pers, organisasi pers, dan masyarakat sipil.
Kelima, pengunjuk rasa mendukung upaya hukum dan konstitusi untuk menjaga kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
“Kami mengimbau seluruh jurnalis, akademisi, aktivis, dan seluruh masyarakat untuk waspada dan berupaya memperjuangkan kebebasan pers,” lanjutnya.
Tak hanya itu, para pengunjuk rasa yang berasal dari kelompok jurnalis profesional, kelompok jurnalis mahasiswa, dan kelompok demokrasi di Jakarta menuntut keras penghapusan seluruh pasal bermasalah dalam revisi UU Penyiaran.
Sebab proses ini berpotensi membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Dalam pertunjukan ini.
Sementara itu, ada tiga pertanyaan yang diajukan oleh seluruh peserta aksi:
1. Segera mencabut seluruh pasal yang bermasalah dalam revisi UU Penyiaran.
2. Melibatkan secara aktif dan serius partisipasi Dewan Pers, organisasi mahasiswa jurnalis, dan organisasi demokrasi dalam pembahasan revisi UU Penyiaran
3. Menjamin terlindunginya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam seluruh peraturan perundang-undangan.