Rilis dari reporter Tribun, Horul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Stunting pada anak akibat kurangnya asupan nutrisi pada masa pertumbuhan merupakan masalah serius di Indonesia.
Data Kementerian Kesehatan RI dari hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2023 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia akan mencapai 21,5 persen pada tahun 2023.
Dari data yang sama juga diketahui bahwa sekitar 23,4 persen penduduk di atas 18 tahun mengalami kelebihan berat badan.
Sementara prevalensi anemia pada penduduk usia 15-24 tahun mencapai 15,5 persen, sedangkan pada ibu hamil sebesar 27,7 persen.
Pada dasarnya permasalahan anak tertinggal tidak hanya pada tinggi dan berat badan anak saja, namun juga pada perkembangan kognitif anak agar mendapat pendidikan yang baik dan terhindar dari resiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi dan obesitas. . .
Oleh karena itu, pemberian nutrisi yang cukup pada anak memegang peranan yang sangat penting sebelum dan sesudah kelahiran anak.
Upaya menurunkan prevalensi stunting di Indonesia dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan.
Mendukung upaya pemerintah, Save the Children Indonesia dan Nutrition International telah berupaya menurunkan angka stunting di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Samedang dan Bandung Barat serta Nusa Tenggara Timur selama 5 tahun terakhir melalui Program Better Investments to Alleviate Stunting (BISA) .
Program ini sangat didukung oleh Power of Nutrition (PON), DFAT dibawah naungan pemerintah Australia dan Global Affairs Canada dibawah naungan pemerintah Kanada dengan fokus pada peningkatan kesadaran dan praktik pola makan seimbang di masyarakat.
“Upaya kami selama lima tahun terakhir telah menunjukkan hasil positif dan komitmen kami untuk menciptakan perubahan berkelanjutan dalam upaya penurunan stunting di Indonesia,” kata Aduma Situmorang, Pj Direktur Kesehatan dan Gizi – Save the Children Indonesia, seperti dikutip Minggu Juni. 29 Agustus 2024
Di tingkat rumah tangga dan komunitas, BISA mendorong perubahan perilaku dan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan tentang ASI eksklusif, makanan pendamping ASI, anemia dan makanan kaya zat besi bagi ibu hamil melalui pendekatan EmoDemo (demonstrasi emosi) di Posiandu.
Program ini juga mendorong perilaku cuci tangan pakai sabun (CTPS) di rumah tangga dan sekolah, serta mendorong peningkatan gizi remaja di sekolah, termasuk konsumsi tablet transfusi darah remaja (TTD Rematri) oleh sekolah dan modul gizi remaja. .
Hasilnya, pengetahuan tentang pentingnya ASI eksklusif pada kelompok ibu yang memiliki anak di bawah dua tahun meningkat dari 61,7 persen menjadi 81,2 persen. Sementara itu, kemampuan remaja putri dalam mendefinisikan setidaknya dua manfaat pil suplemen darah meningkat dari 43,5 persen menjadi 62,4 persen.
Program BISA juga meningkatkan sistem pelayanan kesehatan dan gizi ibu hamil melalui pelatihan dan pendampingan teknis bagi tenaga kesehatan di 119 Puskesmas yang memiliki lebih dari 6.000 jaringan layanan di empat kabupaten binaan.
Selain itu juga memberikan pelatihan terkait manajemen rantai pasok yang berdampak pada peningkatan kapasitas tenaga kefarmasian di puskesmas dalam menilai stok dan menghindari situasi kekurangan produk nutrisi (TTD, kapsul vitamin A, zinc dan ORS). ).
Menurut Herrio Hattu, Direktur Nutrition International Indonesia, pendekatan yang efektif dan efisien dapat menghasilkan efek maksimal dengan biaya dan kompleksitas minimum serta memastikan bahwa program tidak merugikan penerima manfaat.
Ia mengatakan program BISA merupakan model sukses yang berfokus pada pendekatan lintas sektoral untuk mempercepat penurunan stunting.
“Kami berharap seluruh praktik baik yang dihasilkan dari kerja sama BISA dengan seluruh pemangku kepentingan selama lima tahun terakhir dapat dilanjutkan atau bahkan direplikasi oleh pemerintah daerah lainnya untuk mencegah keterbelakangan lebih lanjut di Indonesia,” ujarnya.