Laporan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan nilai kerugian negara akibat korupsi tata niaga produk timah di Izin Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 sudah berakhir. Rp 300 triliun.
Dan yang menjadi pertanyaan disini, siapa yang akan menanggung kerugian pemerintah yang mencapai ratusan miliar Rupiah tersebut?
Hal itu ditanyakan Jaksa Penuntut Tindak Pidana Berat (Jampidsus), Febrie Adriansyah dalam judul perkara yang diajukan Kejaksaan Tinggi terkait kasus tersebut.
Febrie mengaku bertanya kepada penyidik siapa yang harus membayar ganti rugi negara.
“Saya bertanya, siapa yang akan membayar ini?” tanya Febrie dalam jumpa pers di gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (29/5/2024).
Menurut Febrie, menjawab pertanyaan tersebut tidak mudah.
Dia mengatakan, suap itu terjadi di kawasan IUP PT Timah.
Jadi, kata dia, kalau pakai akal sehat, PT Timah yang bayar.
Pertanyaan berikutnya, apakah kami yakin PT Timah akan membayar sebesar itu? katanya.
Namun, lanjut Febrie, jelas solusi sederhana tersebut tidak bisa digunakan dalam kasus korupsi ini.
Dia mengatakan, kerugian yang dialami PT Timah tidak mampu tanggung jawabnya, kecuali masyarakat yang menikmati hasil korupsi.
Artinya, beban ganti rugi atas kerugian yang timbul dalam perkara ini ada pada para tergugat, termasuk mantan direktur PT Timah dan pengusaha terkait.
“Saya mohon kepada penyidik agar hal ini didakwakan kepada pihak-pihak yang menikmati uang yang diterimanya dari skema jahat ini,” kata Febrie.
Febrie mengatakan, dulu Kejaksaan pernah mengajukan perkara untuk mendapatkan sejumlah uang atas nama pihak yang melakukan tindak pidana.
Ia mengatakan, Kejaksaan telah melakukan penyidikan terhadap kasus terkait Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.
Direktur mengambil pinjaman dari bank asing dengan jaminan BUMN.
Namun, hasil pinjaman tersebut digunakan untuk kebutuhannya sendiri.
Pihak bank, kata Febrie, kemudian mengajukan arbitrase.
Putusan pengadilan arbitrase tersebut mengharuskan BUMN selaku perusahaan membayar ganti rugi.
Kemudian kejaksaan turun tangan dalam kasus ini dan mengungkap kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Kejaksaan, kata Febrie, mengajukan permohonan dan hakim menyetujui pihak yang seharusnya membayar ganti rugi atas hilangnya pinjaman tersebut adalah direktur terdakwa.
Hakim sepakat, yang meminta pinjaman itu untuk kepentingan orang lain di BUMN dan uangnya salah kelola, ujarnya.