Kepala BPOM Bongkar 4 Biang Kerok Harga Obat di Indonesia Mahal

Laporan jurnalis Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Iqrar mengidentifikasi empat faktor penyebab tingginya harga obat di Indonesia.

Melawan mahalnya harga obat menjadi salah satu prioritas utama Taruna sejak diangkat menjadi Kepala BPOM pada 19 Agustus 2024.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengatakan kepada taruna bahwa harga obat di Indonesia bisa 400 persen lebih mahal dibandingkan di luar negeri.

Menanggapi laporan tersebut, Taruna mengumpulkan jajarannya, mulai dari anggota parlemen hingga sekretaris, untuk membahas temuan tersebut.

“Kita juga undang perusahaan farmasi, ada gabungan industri farmasi, kita undang BPOM untuk melihat permasalahannya,” kata Taruna saat wawancara khusus dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domu Ambarita di Studio Tribunnews, Palmera, Jakarta. Jumat (27.09.2024).

Secara ringkas, tim menemukan empat faktor yang membuat harga obat mahal di Indonesia.

“Saya bicara soal harga obat, tidak semua jenis obat. Murah, tapi obat dasar dan spesifik mahal,” jelas Taruna.

Faktor pertama, kata dia, obat-obatan seperti obat penurun trigliserida, obat insulin, obat diabetes, dan kemudian beberapa obat kardiovaskular harganya mahal karena bahan bakunya sebagian besar berasal dari impor.

Mahalnya harga obat ini karena 94 persen bahan bakunya masih berasal dari impor.

Meski obat tersebut diproduksi di Indonesia, namun harganya masih mahal karena mahalnya bahan baku.

“Ini bahan mentah, bukan bahan jadi. Ada bahan mentah, produk setengah jadi disebut produk setengah jadi, dan bahan jadi artinya dibuat kapsul lalu dikirim,” kata Taruna.

Faktor kedua adalah jumlah perusahaan pembuat obat yang masih minim sehingga produksi dalam negeri tidak mencukupi.

Dari laporan yang diterimanya, Taruna menyebutkan terdapat 240 perusahaan farmasi di Indonesia, namun yang aktif hanya 190 perusahaan.

Nah, dari 190 ini kalau dihitung angkanya berapa triliun, omzet pasarnya hanya sekitar Rp 100-140 triliun. Sebenarnya tidak sebanyak itu, kata Taruna.

Jadi, akibat terbatasnya produksi, harga jadi naik.

Faktor ketiga menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki industri yang dapat memproduksi bahan baku, namun harga bahan baku lokal lebih tinggi dibandingkan impor.

Dia mengatakan, ada 15 industri yang bisa memproduksi bahan baku medis, namun karena harganya lebih mahal dibandingkan impor, perusahaan lebih memilih impor.

“Yah, ternyata produksi dalam negeri ada 15 item, nggak usah disebutkan, harganya juga lebih mahal dari impor. Kenapa? Makanya produksinya terbatas, jadi harga dasarnya juga mahal. Lebih baik mereka (perusahaan) mengimpor,” kata Kadet.

Faktor keempat adalah tingginya biaya distribusi dan pemasaran perusahaan farmasi.

Menurut Taruna, empat faktor tersebut menjadi fokus BPOM dalam upayanya menurunkan harga obat di dalam negeri agar lebih terjangkau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *