Laporan jurnalis Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada awal tahun 2025 perlu dipertimbangkan kembali. Hal ini diyakini akan berdampak negatif terhadap perekonomian.
“Kenaikan PPN akan berdampak negatif terhadap perekonomian, mulai dari dampak penurunan pertumbuhan ekonomi, peningkatan inflasi, penurunan konsumsi dalam negeri, serta penurunan ekspor dan impor,” Anis Byarwati, anggota Indonesian DPR, Kamis, katanya di Jakarta (21/2019). 11/2024).
Ia mengingatkan pemerintah, masih ada ruang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk mengoreksi tarif PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku pada Januari 2024.
Dalam UU HPP pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 disebutkan tarif PPN dapat disesuaikan minimal 5 persen dan maksimal 15 persen sesuai kebijaksanaan negara yang diatur dalam PP dengan persetujuan DPR RI.
“Itu ruang yang bisa dimanfaatkan dengan mempertimbangkan situasi perekonomian saat ini,” kata Anis.
Ketika UU HPP dibuat pada tahun 2021, asumsi yang digunakan saat itu adalah pada tahun 2025 diperkirakan perekonomian akan pulih bahkan meningkat.
Namun kenyataannya, dari semua indikasi, kondisi perekonomian kita saat ini kurang baik, kata Anis.
Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan, tren ini dimulai pada bulan Mei 2024 dengan deflasi kecil sebesar 0,03 persen, disusul 0,08 persen pada bulan Juni, 0,18 persen pada bulan Juli, 0,03 persen pada bulan Agustus dan 0,12 persen pada bulan September, deflasi tersebut merupakan tanda bahwa daya beli masyarakat lemah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan III tahun 2024 mengalami penurunan menjadi 4,95 persen year on year. Konsumsi dalam negeri mengalami penurunan dan peningkatan hanya 4,91 persen (yoy), turun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,93 persen.
“Jadi konsumsi masyarakat sangat membutuhkan beberapa stimulus dari pemerintah agar bisa membaik,” ujarnya.
Diungkapkannya, laporan BPS menunjukkan proporsi kelas menengah pada tahun 2024 tercatat sebanyak 47,85 juta orang, menurun dibandingkan periode sebelum pandemi COVID19 pada tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang. Sebanyak 9,48 juta kelas menengah kita diturunkan peringkatnya.
Sebaliknya, kelompok ‘aspiring middle class’ atau kelompok rentan kelas menengah menunjukkan peningkatan jumlahnya, yaitu dari 128,85 juta orang pada tahun 2019 menjadi 137,5 juta orang pada tahun 2024,” imbuhnya.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, sejak awal tahun hingga 15 November 2024, terdapat sekitar 64.288 pekerja yang dipecat di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan akhir Oktober yang tercatat sebanyak 63.947 pekerja.
Jadi pascapandemi ini banyak industri yang belum pulih, PHK tertinggi ada di sektor manufaktur, termasuk di industri tekstil, kata Anis.