Kemenperin Usulkan Insentif Pinjaman Bunga Rendah untuk Industri Fitofarmaka

Laporan reporter Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Reni Yanita menyarankan agar pelaku industri fitofarmaka didorong dalam bentuk pinjaman dengan bunga rendah.

Fitofarmaka adalah obat bahan alam yang keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia).

Rennie menilai insentif berupa pemotongan pajak yang diberikan saat ini tidak berlebihan.

“Kalau biayanya sudah terkumpul semua, barulah dia akan menurunkan PPh Orang Pribadi, kalau tidak salah sebesar 30 persen. Itu belum cukup menurut saya,” kata Reni saat ditemui di sela-sela acara sosialisasi Fitofarmaka. Rumah Kesra Kementerian Perindustrian, Jakarta Timur, Kamis (3/10/2024). 

Ia menekankan pentingnya insentif berupa pinjaman dengan bunga rendah untuk membantu pelaku industri dalam mengkomersialkan produk.

“Di industri (kamu mau) uang dulu, itu saja. Sebenarnya pinjaman, dia dapat bunga lebih rendah dari itu karena itu upaya kita untuk mengkomersialkannya. Ya tidak,” kata Rennie.

Insentif lain yang diusulkan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan pemerintah atas pembelian produk obat.

Proposal yang merangsang ini telah diserahkan kepada Kelompok Kerja Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka untuk dipertimbangkan.

“Kemarin Pak Direktur (Direktur Hilir Kimia dan Farmasi Kemenperin Emmi Suryandari) juga mengusulkan insentif seperti apa… Oh, PPN bisa. Karena kalau beli di dalam negeri kadang dikenakan PPN, tapi kalau beli impor tidak ada PPN. Setelah ini PPN naik jadi 12% tahun depan, kata Reni.

Reni juga menyampaikan tantangan pengembangan industri fitofarmaka di Indonesia.

Permasalahan pertama adalah keterbatasan bahan baku dan standar kualitas yang berbeda. 

Menurut dia, perlu dipikirkan bagaimana menjamin stabilnya pasokan bahan baku di masa depan.

Kestabilan kuantitas dan kualitas bahan baku sangat penting khususnya bagi industri tanaman. 

Permasalahan kedua adalah jumlah industri yang mampu memproduksi fitofarmaka masih sangat sedikit. 

Hal tersebut antara lain keterbatasan teknologi dan kesulitan memperoleh bahan baku ekstrak dan isolat marker.

Tantangan ketiga adalah tingginya risiko bisnis akibat volatilitas pasar dan kurangnya minat industri untuk berkolaborasi. 

Tantangan terakhir yang dihadapi adalah permintaan fitofarmaka yang disebabkan oleh beberapa faktor. 

Termasuk persepsi dokter terhadap fitofarmaka, minimnya keikutsertaan fitofarmaka dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN), serta kendala dalam pemasaran. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *