Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai kebijakan rokok kemasan polos yang tertuang dalam Rencana Peraturan Kesehatan (Permenkes) perlu dipertimbangkan secara matang karena berdampak pada perekonomian nasional.
Direktur Industri Hasil Tembakau dan Minuman Kementerian Perindustrian, Marijantiz Punguan Pintaria menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri. Sebab, terdapat lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan 537 ribu orang yang terkena kebijakan ini.
Selain itu, industri tembakau merupakan sumber mata pencaharian bagi lebih dari 6 juta pekerja, termasuk petani dan pengecer tembakau dan cengkeh.
“Kita semua sepakat untuk menciptakan masyarakat yang sehat, namun kita juga harus memperhitungkan keberadaan lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan sekitar 537 ribu orang,” kata Mary, Sabtu (21/9/2024).
Mary mengatakan, penerapan Pasal 435 PP 28/2024 tentang Standardisasi Kemasan dan Desain Produk Tembakau harus menyertakan data Kementerian Perindustrian. Namun Kementerian Perindustrian tidak ikut serta dalam audiensi publik yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Ini adalah peristiwa yang berulang dan kami berharap dapat terlibat dalam diskusi kebijakan yang berdampak signifikan pada industri kami,” katanya.
Dalam 5 tahun terakhir, industri tembakau mengalami penurunan yang cukup signifikan, khususnya pada kategori rokok yang lebih mahal. Penurunan ini menunjukkan masyarakat Indonesia sensitif terhadap harga sehingga mengurangi konsumsi rokok murah.
Di satu sisi, pengendalian tembakau melalui kebijakan fiskal memberikan kontribusi yang cukup besar bagi negara dan mencapai Rp 213 triliun.
Kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian tidak bisa dianggap remeh. Pada tahun 2020, kontribusi kepada negara mencapai 10 persen dari APBN. Namun pada tahun 2023, angka tersebut akan turun menjadi 7 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa industri tembakau merupakan sumber pendapatan penting bagi APBN dan kebijakan-kebijakan yang mengancam pendapatan tersebut perlu dievaluasi secara cermat.
Mary kemudian mempertanyakan solusi atau alternatif yang jelas untuk mengimbangi potensi hilangnya pendapatan jika kebijakan kemasan polos diterapkan untuk produk tembakau.
“Apakah kita punya rencana untuk mengatasi dampak ini?” dia bertanya.
Ia menekankan, kebijakan yang diambil harus mencerminkan kepentingan dan karakteristik nasional Indonesia yang berbeda dengan negara lain. Penting juga untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam diskusi kebijakan.
Ia berharap rancangan peraturan kesehatan tersebut dapat dirundingkan kembali dengan partisipasi semua pihak untuk mencapai konsensus yang bermakna.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menilai kebijakan tersebut memiliki implikasi signifikan yang patut ditanggapi dengan serius. Salah satu kekhawatirannya adalah penerapan kemasan polos akan menyebabkan maraknya rokok ilegal karena sulitnya mengidentifikasi produknya.
“Kemasan polos ini tentu akan berdampak pada seluruh pelaku industri tembakau, namun kekhawatiran utama kami adalah dampak persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” kata Henry.