Kemenkes Mulai Sadar Banyak yang Kontra Pengaturan Produk Tembakau dalam RPMK

 

Laporan jurnalis Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mulai menyadari adanya penolakan serius terhadap rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang merupakan turunan dari peraturan pemerintah ( PP) Tahun 2024 Edisi 28 tentang Kesehatan.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menilai banyaknya penolakan menunjukkan RPMK tidak sesuai harapan masyarakat.

Menurut dia, berbagai kepentingan harus diperhatikan dalam pembuatan peraturan ini.

Jika dilihat dari satu sisi saja, Henry mengatakan akan ada resistensi dari banyak pihak yang terkena dampak aturan ini. 

Oleh karena itu, kami ingin terus ada dialog dengan semua pihak, baik industri, buruh, petani tembakau, petani cengkeh, dan kementerian lainnya, sehingga bisa disusun regulasi yang bisa diterima semua pihak, kata Henry kepada Tribunnews, Selasa. (1/10/2024). 

Kontak terpisah dengan Juru Bicara Komunitas Kretek Khoirul Atfifudin mempertanyakan sikap Kementerian Kesehatan yang tetap melanjutkan pembahasan RPMK meski banyak yang membantah. 

RPMK yang mengatur aturan pengemasan produk tembakau biasa yang dijual tanpa resep dokter, ditolak banyak pihak.  

“Sudah banyak pihak yang menolak desain kemasan polos kan? Nah, kalau banyak pihak yang menentang, kenapa kita perlu bicara lagi?” kata Atfifudin. 

Sebelumnya, Wakil Kepala Departemen Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan pihaknya terus didatangi partai anti-RPMK. 

Menurutnya, pro dan kontra gelombang RPMK ini perlu diimbangi. 

“Jadi kalau ada yang menentang Kemenkes, sebaiknya yang mendukung juga datang. Ini ada pro dan kontranya. Jangan sampai menghalangi kita datang ke Kemenkes, tidak seperti itu. ” kata Nadia dalam acara diskusi di Jakarta, Senin malam (30/9/2024). 

Salah satu peraturan yang dirancang Kementerian Kesehatan melalui RPMK adalah pengemasan rokok polos tanpa merek. 

Rancangan kebijakan ini dinilai mempunyai potensi dampak paling besar terhadap seluruh pelaku industri tembakau. 

Kekhawatiran utamanya adalah dampak persaingan tidak sehat dan meningkatnya konsumsi rokok ilegal. 

Kemasan yang seragam berpotensi menyulitkan konsumen dalam membedakan produk legal dan ilegal.

Bahkan penerapan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan pelanggaran terhadap peraturan seperti Undang-Undang Hak Cipta, Merek Dagang, dan Perlindungan Konsumen.

Praktisi Kesehatan Masyarakat dan Spesialis K3 Dr. Felosofa Fitriya menekankan pentingnya peran pendidikan dan bantuan sosial dalam menurunkan prevalensi konsumsi rokok di masyarakat.

Felosofa mengatakan, “Produk tembakau dan rokok elektronik tidak boleh dijual dalam kemasan polos dan tidak bermerek. Hal ini akan menimbulkan kebingungan di kalangan konsumen dalam membedakan produk satu sama lain.” 

Dr. Felosofa yang juga pakar K3 mengatakan, peringatan kesehatan secara visual dan tertulis pada kedua jenis produk ini harus dibedakan. 

Namun, untuk melindungi konsumen dan memungkinkan mereka memilih sesuai dengan profil risikonya, kemasan polos tanpa merek tidak boleh diterapkan pada produk tembakau atau rokok elektrik.

“Sebaiknya kemasan ini dibedakan berdasarkan profil risikonya sehingga perilaku perokok diharapkan berubah ke kemasan yang berisiko rendah. Jika semua produk tembakau dan kemasan rokok elektrik sama, bagaimana cara membedakannya?” “Karena jika dibedakan maka kesadaran perokok dalam memilih produk akan meningkat,” jelasnya.

Alasan mengapa rokok selundupan bisa lebih umum terjadi jika aturan kemasan biasa tanpa merek diterapkan

Peredaran rokok selundupan diperkirakan akan semakin meluas jika peraturan kemasan polos tanpa merek diterapkan.  

Menurut Khoirul Atfifudin, langkah tersebut justru akan memudahkan peredaran rokok ilegal.

Dia menjelaskan, kemasan rokok ilegal saat ini kerap meniru desain rokok legal ternama. 

“Akhir-akhir ini produk ilegal sering meniru rokok ternama. Seperti kemarin saya melihat pelesetan Dunhill, itu sebabnya. Harganya sangat-sangat murah,” kata Atfifudin. 

Jika kemasannya dibuat dengan desain yang seragam, maka rokok selundupan akan lebih mudah tersebar di masyarakat karena bisa meniru rokok legal. 

Dampaknya, Atfifudin menyebut negara bisa kehilangan pendapatan hingga triliunan rupee. 

“Kalau kemasannya sudah meluas ya, maka mereka (pengedar rokok ilegal) akan senang membuat kemasan seperti itu, menyebarkannya ke masyarakat dengan cara seperti itu,” kata Atfifudin. 

Artinya, pendapatan negara akan berkurang ratusan triliun karena masyarakat beralih ke produk ilegal yang tidak dibayar oleh SCT, lanjutnya. 

Kemudian dampaknya akan lebih panjang lagi, para petani tembakau akan terdampak hingga banyak produsen rokok yang bangkrut. 

Ketika kapasitas pabrik legal dalam menyerap tenaga kerja semakin berkurang, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pun tidak terhindarkan. 

“Yang namanya ekosistem itu satu kesatuan. Kalau ada yang lumpuh, berdampak pada lini yang lain,” kata Atfifudin. 

Henry Najoan menambahkan, standarisasi kemasan dapat menurunkan permintaan karena konsumen kesulitan membedakan merek. 

Hal ini akan menguntungkan rokok selundupan dan pemerintah akan kesulitan melakukan pemeriksaan. 

“Petani tembakau dan cengkeh akan merasakan dampak langsung dari turunnya permintaan sehingga menurunkan harga jual tembakau dan cengkeh. Petani mungkin akan kesulitan menjual produknya,” kata Henry. 

Tauhid Ahmad, Ekonom Senior Institut Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), mengatakan kemasan polos tanpa merek dapat menimbulkan risiko signifikan terhadap perekonomian.

Ia mengatakan, pengaturan kemasan polos tanpa merek dapat mendorong fenomena penurunan perdagangan dan peralihan dari rokok legal ke rokok ilegal sehingga dapat menurunkan permintaan produk legal hingga 42,09 persen.

Pengurangan ini dapat menimbulkan potensi kerugian dampak ekonomi sebesar Rp182,2 triliun dan penurunan penerimaan pajak sebesar Rp95,6 triliun, kata Tauhid. katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *