TRIBUNNEWS.COM – Keluarga tahanan dan beberapa pemukim Israel menyerukan agar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dicopot dari kekuasaan.
Dia mengatakan Netanyahu harus bertanggung jawab penuh atas kehidupan rakyatnya, yang dikuasai Hamas di Jalur Gaza.
Dikutip dari Al Mayadeen, pernyataan kelompok tersebut menyebutkan para tahanan sekarat di Jalur Gaza karena Netanyahu menunda pembebasannya.
“Netanyahu tidak ingin mencapai kesepakatan dengan gerakan perlawanan Palestina untuk pembebasannya,” jelas pernyataan yang dibagikan keluarga tahanan pada Sabtu (22 Juni 2024).
– Tidak mungkin mencapai kesepakatan dengan gerakan perlawanan Gaza tanpa melepaskan Netanyahu.
“Darah para tahanan ada di tangan Netanyahu,” lanjut pernyataan itu.
Mereka kemudian mendorong warga Israel lainnya untuk melakukan protes terhadap pemerintah Israel yang dipimpin Netanyahu.
Sekitar waktu yang sama, ribuan orang berkumpul di Tel Aviv dan banyak wilayah lainnya.
Demonstrasi besar-besaran terjadi di Tel Aviv, al-Quds, Haifa, Kaisarea, dan Beir al-Sabe pada Sabtu malam (22 Juni 2024).
Dalam aksi tersebut, massa menyerukan pengunduran diri pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan menyerukan pemilihan parlemen secepatnya.
Selain itu, mereka menuntut perjanjian pertukaran tahanan dengan gerakan perlawanan Palestina.
Surat kabar Israel Yedioth Ahronoth menggambarkan protes tersebut sebagai yang terbesar sejak 7 Oktober.
Tak lama kemudian, demonstrasi berubah menjadi kekerasan.
Polisi bentrok dengan pemukim yang memprotes.
Akibatnya, sembilan orang ditangkap dan beberapa orang dilaporkan luka-luka.
Teriakan “Hancurkan tiran” bergema di jalanan, dan banyak di antara mereka yang mengenakan kaus bertuliskan: “Hentikan perang.”
Dalam konteks serupa, jajak pendapat yang dilakukan oleh Channel 12 Israel menunjukkan bahwa 51 persen pemukim Israel percaya bahwa mustahil mencapai “kemenangan total” melawan Hamas.
Menurut survei tersebut, warga Israel menganggap kinerja Netanyahu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, dan Menteri Keamanan Yoav Gallant selama perang adalah “buruk”.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)