Keluarga Korban Kasus Penculikan Anak Usia 12 Tahun di Jakarta Barat, Tanggapi Pernyataan Polisi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pernyataan keras datang dari penasihat hukum keluarga pelaku penculikan di Jakarta Barat terkait pernyataan Polda Metro Jaya. 

Hal ini muncul sebagai tanggapan terhadap konferensi pers di mana polisi mengatakan bahwa penculikan seorang gadis berusia 12 tahun dimulai dengan hubungan romantis atau “konsensual”. 

Informasi tersebut menuai kritik, apalagi melihat perbedaan usia antara korban dan penyerang yang berusia 22 tahun. 

Penasehat hukum keluarga almarhum, Cahaya Chrismanto menegaskan, korban masih anak-anak dan belum memahami arti pacaran atau hubungan intim. 

“Tidak ada bukti yang dapat diterima atas perbuatan pelaku yang jelas-jelas merupakan ‘pemburu’,” kata Cahaya dalam keterangan yang diterima, Minggu (13/10/2024).

Pihak keluarga juga mengklarifikasi pernyataan polisi yang menyebutkan korban kabur dari rumah karena marah kepada orang tuanya. 

Namun pengacara mengatakan informasi tersebut tidak pernah dikonfirmasi oleh korban atau orang tuanya. 

Mereka menyayangkan kurangnya komunikasi dalam proses penyidikan dan menekankan pentingnya rehabilitasi psikologis para korban.

“Sebagai penasehat hukum, kami mendukung langkah penyidikan yang dilakukan PPPA DKI Jakarta dan pembelaan yang dilakukan KPAI. Kami juga berencana mengajukan permohonan perlindungan ke KPAI,” kata Cahaya.

Cahaya menambahkan, upaya perlindungan anak harus diperluas, terutama terkait pengelolaan aplikasi online. 

Ia berharap pemerintah bisa menata aplikasi-aplikasi terkait pacaran, pacaran, dan percintaan agar anak kecil tidak mudah terjerumus ke dalam hal-hal yang membahayakan.

“Kami juga mendorong para orang tua dan sekolah untuk menjaga dan memberikan edukasi yang memadai kepada anak-anak tentang penggunaan telepon seluler,” kata Cahaya.

Ia berharap langkah ini dapat membantu menghindari kejadian serupa di kemudian hari.

Sejarah tipe keluarga

Pengacara keluarga korban pembunuhan dari Posbakum IKADIN Jakarta Selatan, Hezekiah Naibaho menjelaskan, kasus pencurian anak tersebut, kejadiannya bermula pada 16 September 2024. 

Saat itu, korban meminta izin kepada ibunya untuk bermain bersama teman-temannya. 

Namun saat pukul 22.00 WIB tak kunjung kembali, ayahnya khawatir dan berusaha menghubungi korban. 

Sayangnya ponsel korban tidak berfungsi. 

Prihatin dengan kondisi anaknya, orang tua almarhum mencoba melaporkan kehilangan tersebut ke Polsek Kalideres pada pukul 24.00 WIB, namun laporannya tidak digubris karena 2 x 24 jam pun tidak dilakukan. 

“Mereka melapor lagi pada 18 September 2024 setelah dua hari tidak ada kabar,” kata Hizkia.

Usai laporan, polisi di sekitar memeriksa CCTV dan berusaha mengumpulkan informasi. 

Pada tanggal 23 September 2024, korban kembali ke rumah. 

Tak lama kemudian, polisi datang meminta orang tua melaporkan hilangnya korban.

Setelah berbagai kegiatan dilakukan, pada tanggal 24 September 2024 orang tua almarhum diminta membuat berita acara dugaan penculikan tersebut, dan dilakukan otopsi terhadap jenazah almarhum pada tanggal 25 September 2024 di RSUD Tarakan, di depan keluarga dan keluarganya. polisi,” kata Hizkia.

Ia menambahkan, “Klimaksnya terjadi pada 30 September 2024, saat polisi meminta korban mengungkap lokasi hilangnya. Dalam operasi tersebut, ia bertemu dengan pelaku tindak pidana tersebut. Tersangka terlibat tameng”.

Respon keluarga

Usai polisi menggelar jumpa pers pada 8 Oktober 2024, Hezekia mengatakan, keluarga korban merasa informasi yang diberikan tidak sesuai dengan fakta yang diterimanya. 

Para orang tua mengaku prihatin dengan pengumuman polisi yang menyebut kejadian itu sebagai “kesepakatan” romantis.

Korban masih berusia muda dan tidak boleh ada pembenaran atas apa yang dilakukan pelaku yang jelas-jelas predator, kata Hizkia.

Ia juga menjelaskan, situasi ini tidak hanya persoalan penculikan anak saja, namun juga pentingnya perlindungan dan pengasuhan anak di era modern. 

Keluarga korban berharap tindakan yang dilakukan polisi dapat menjamin keadilan bagi anak-anaknya dan mencegah kejadian serupa terulang kembali.

“Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk melindungi anak-anak kita dan melindungi mereka dari ancaman yang ada,” ujarnya.

Penulisnya tertangkap

Kompas.id mengutip perkenalan salah satu aplikasi, A (12 tahun) yang diculik dan diperkosa oleh SPS (22 tahun) selama seminggu. 

Kasus ini menjadi peringatan bagi para orang tua: tidak adanya aturan ketat dalam penggunaan ponsel dapat membuat anak rentan terhadap kejahatan. 

Sejak Selasa (16/9/2024) hingga Senin (23/9/2024), agen SPS menculik seseorang di sebuah gudang kosong di Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. 

Tak sampai di situ, siswa SD keenam itu juga memperkosanya sebanyak enam kali.

Kepala Polres Metro Jakarta Barat (Polres) Iptu M Syahduddi mengatakan, setelah SPS menahan korban selama tujuh hari, SPS memulangkan korban tak jauh dari rumah korban di kawasan Kalideres. 

Penculikan tersebut, kata Syahduddi, bermula saat tersangka menemui korban melalui aplikasi kencan Litmach pada Senin (15/9/2024). 

Sang teman terus bertukar nomor WhatsApp untuk bertemu berkencan di Taman Bulak Teko, Jalan Peta Jalan Selatan, Kalideres. 

SPS kemudian mengajak korban berkeliling dan membawanya ke gudang kosong. 

Di sana korban diperkosa. Hasil visum dan persalinan yang dilakukan di RS Tarakan juga menunjukkan bukti kuat adanya kekerasan terhadap perempuan. 

SPS percaya bahwa pekerjaan ini dilandasi oleh rasa saling kasih sayang. 

Namun, kata Syahduddi, apa yang dilakukan tersangka belum bisa dipastikan karena korban masih kecil dan membawanya tanpa izin orang tuanya. 

“Pelaku membawa korban ke sebuah kamar di toko barang bekas. Di sana, selama tujuh hari, korban tidak keluar kamar pada siang hari dan hanya keluar pada malam hari untuk mandi, ujarnya. 

Sedangkan menurut keterangan keluarga, A pamit bermain dan bertemu teman-temannya di Kota Tua. Namun hingga malam hari, A belum kembali ke rumah dan tidak bisa dihubungi. Orang tua A khawatir dan melaporkannya ke polisi. 

Atas perbuatannya, tersangka SPS dikenakan Pasal 81 Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau pasalnya. 

332 KUHP (KUHP). Pasal ini memuat undang-undang tentang penculikan anak perempuan di bawah umur tanpa persetujuan orang tuanya. Tersangka SPS terancam hukuman 12 tahun penjara.

Artikel ini sebelumnya pernah tayang di Warta Kota dengan judul Informasi Polisi Tentang Penculikan Anak di Jakbar yang Sakiti Orang Tua Korban, Begini Faktanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *