TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung diminta mengusut tuntas kasus korupsi pengelolaan 109 ton emas di PT Antam periode 2010-2021.
Tak hanya enam tersangka, kelompok lain yang diduga mempunyai pengaruh dan keuntungan dalam kasus ini juga harus diselidiki.
Anggota Komisi VII DPR Sartono Hutomo mengatakan skandal itu menimbulkan kerugian negara yang cukup besar yang seharusnya dijadikan pendapatan di sektor pendapatan negara.
Oleh karena itu, pihaknya meminta kuasa hukum mengambil langkah tegas dalam pengusutan kasus ini.
“Kami berharap aparat penegak hukum dapat menemukan aktor-aktor yang bijak dan juga menindak seluruh pihak yang terlibat. Ada indikasinya, hal ini tidak dilakukan sendiri-sendiri, tapi bisa melibatkan perusahaan-perusahaan dalam kontrak besar,” kata Sartono saat dihubungi. media, Selasa (4./6/2024).
Seperti diketahui, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Berat (Jampidsus) Kejaksaan Agung menetapkan enam General Manager Pengendalian dan Reformasi Usaha Logam Mulia (UBPPLN) PT Antam periode 2010-2022 sebagai tersangka.
Mereka adalah TK selaku GM UBPPLN periode 2010-2011, HN periode 2011-2013, DM periode 2013-2017, AH periode 2017-2019, MAA periode 2019-2021, dan ID periode 2021 -2022.
Antam diduga menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan kegiatan ilegal terkait operasional manufaktur di bidang peleburan, pemurnian, dan pemurnian logam mulia.
Para tersangka secara ilegal dan tanpa izin menempatkan logam mulia milik swasta dengan merek Logam Mulia Antam (LM).
Pakar hukum pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar menegaskan, segala kesalahan yang dilakukan lembaga negara (BUMN) harus diikutsertakan.
Baik inefisiensi yang terjadi pada sistem atau penggunaan sistem kerja yang ada, maupun eksploitasi individu melalui proses tersebut.
Menurutnya, penindakan terhadap kasus dugaan korupsi produk penting dilakukan mengingat Emas Antam menjadi tolak ukur kualitas emas, baik dalam perdagangan regional maupun internasional.
Oleh karena itu, potensi kerugian dapat dirasakan oleh banyak pihak, tidak hanya negara, namun juga masyarakat secara langsung.
Kalau tidak, dampaknya tidak hanya akan merugikan industri, tapi juga negara secara keseluruhan,” ujarnya.
Ia pun mengungkapkan keinginan yang sama untuk menyelesaikan masalah ini. Termasuk berurusan dengan pihak swasta yang terlibat dalam penipuan emas seberat 109 ton ini.
Sementara itu, Pengamat politik UIN Jakarta, Zaki Mubarak mempertanyakan lemahnya sistem pengawasan kerja di Antam, maupun di BUMN pada umumnya.
Menurutnya, kasus ini merupakan sebuah ironi, apalagi sudah berlangsung puluhan tahun dan menimbulkan potensi kerugian negara hingga ratusan triliun.
“Semuanya harus diungkap, baik perusahaan swasta maupun publik. Kalaupun ada uang yang masuk ke PNS. Ini harus didalami,” ujarnya.
Terkait kasus ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum) Ketut Sumedana menegaskan pihaknya akan terus mengusut kasus ini secara tertutup.
Namun Ketut enggan membeberkan identitas pihak swasta yang terlibat dalam kasus korupsi ini.
Sebagai informasi, pada awal penyidikan kasus ini, jaksa telah melakukan beberapa pemeriksaan di sejumlah tempat, yakni Pulogadung, Jakarta Timur; Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat; Cinere-Depok, Jawa Barat; Pondok Aren, Tangsel; dan Surabaya, Jawa Timur.
Kemudian tim peneliti melakukan penyelidikan di PT Untung Bersama Sejahtera (UBS) di Tambaksari dan PT Indah Golden Signature (IGS) di Genteng, Surabaya, Jawa Timur.
“Iya pasti. Ini akan dikaji, siapa yang diuntungkan,” ujarnya.
Jaksa juga belum bisa memastikan apakah korupsi Emas Antam ada kaitannya dengan penyidikan kasus impor emas yang sudah dilakukan.
“Saya belum tahu kaitannya apa. Ini kasus baru. Tim masih bekerja,” ujarnya.
Namun dalam kasus ini, penyidik kejaksaan akan tetap mendalami kasus tersebut dengan mengusut dugaan TPPU.
“Selama masyarakat yang berkepentingan dengan hal ini, ini juga yang menjadi fokus kita. Kemungkinan besok ke depan ada TPPU seperti kotak timah, atau perusahaan yang diuntungkan, kita lihat ke depan. perkembangan.” dia berkata.
Selain itu, kata dia, penyidik juga mendalami kelompok yang diduga membiarkan terjadinya tindak pidana, mengingat kasus ini terjadi dalam kurun waktu 12 tahun, yakni 2010 hingga 2022.
Peneliti menduga ada bias internal karena pada tahun 2010 kasus tersebut baru terungkap pada tahun 2023, sama seperti kasus timah yang terjadi pada tahun 2015.
“Dari manajer ke manajer, kami menetapkan enam manajer sebagai tersangka, artinya ada kelalaian dalam mengganti satu manajer ke manajer lainnya, enam manajer berarti ada kelalaian. . .