Kejagung Sita 55 Alat Berat Terkait Korupsi Timah: Bukan Untuk Halangi Mata Pencaharian Masyarakat

Laporan reporter Tribunnews.com Ashri Fadilla

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung menyita 55 alat berat dalam kasus dugaan korupsi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah di Bangka Belitung.

Alat berat yang dimaksud terdiri dari 53 unit ekskavator dan dua unit bulldozer.

Belakangan, tim penyidik ​​juga menyita lima smelter atau tempat peleburan bijih timah.

Saat ini tim penyidik ​​telah menyita sejumlah aset perusahaan berupa 53 unit ekskavator, lima unit pengecoran logam, dan dua unit buldoser, kata Wakil Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Febrie Adriansyah dalam keterangannya. Rabu ini (24). / 4/2024).

Febrie menegaskan, penyitaan tersebut bukan bertujuan untuk menghambat penghidupan masyarakat, melainkan untuk melacak aset terkait kasus hukum yang sedang berjalan.

“(Penyitaan) ini dilakukan bukan hanya untuk menghentikan proses eksplorasi timah yang dilakukan masyarakat yang menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan. Namun yang harus dipahami adalah proses penerapan undang-undang menuju tata kelola timah yang lebih baik di negara tersebut. masa depan,” kata Febrie.

Dampak negatif yang dirasakan masyarakat dipastikan hanya bersifat sementara.

Sebab, pendapatan sitaan seperti pengecoran masih bisa beroperasi setelah Kejaksaan Agung mempercayakannya kepada perusahaan pelat merah PT Timah yang berada di bawah naungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

“Tim Jampidsus dan Badan Pemulihan Aset sedang mencari solusi agar penyitaan bisa dilakukan dalam proses penegakan hukum agar masyarakat bisa bekerja dan pendapatan negara tidak terpengaruh. Kami sedang bertemu dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah daerah. pemerintah, PT Timah Tbk sebagai alat bukti yang menunjukkan beratnya tindak pidana dalam perkara ini,” ujarnya.

Dalam kasus ini, tim penyidik ​​menetapkan 16 orang tersangka, termasuk perkara utama dan Obstruksi Keadilan (OOJ) alias terhambatnya penyidikan.

Di antara tersangka yang disebutkan di atas terdapat pejabat negara yaitu: Riza Pahlevi Tabrani (MRPT), mantan Direktur Utama PT Timah; Emil Emindra (EML) sebagai CFO PT Timah pada tahun 2017 hingga 2018; dan Alwin Albar (ALW) sebagai Direktur Operasional tahun 2017, 2018 dan 2021, serta Direktur Pengembangan Bisnis tahun 2019 hingga 2020 di PT Timah.

Kemudian sisanya merupakan perorangan yaitu: Pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon (TN); Direktur Operasional CV VIP, Achmad Albani (AA); Kurator CV VIP, Kwang Yung alias Buyung (BY); Direktur Senior CV VIP Hasan Tjhie (HT) alias ASN; Direktur Jenderal PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Rosalina (RL); Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) Robert Indarto (RI); Suwito Gunawan (SG) alias Awi sebagai pengusaha pertambangan di Pangkalpinang; Gunawan alias MBG sebagai pengusaha pertambangan di Pangkalpinang; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta (SP); Direktur Pengembangan Bisnis PT RBT Reza Andriansyah (RA); Helena Lim, Direktur Pertukaran di PT Quantum Skyline; dan perwakilan PT RBT, Harvey Moeis.

Sementara dalam kasus Obstruksi Keadilan (OOJ), Kejaksaan Agung menetapkan Toni Tamsil alias Akhi, adik Tamron, sebagai tersangka.

Nilai kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp 271 triliun.

Padahal, menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Jampidsus, nilai Rp 271 triliun akan terus bertambah. Sebab nilai tersebut hanya hasil perhitungan kerugian ekonomi saja, tanpa ditambah kerugian finansial.

“Itu hasil perhitungan kerugian ekonomi. Belum lagi kerugian keuangan negara. Tampaknya sebagian besar lahan yang ditambang merupakan kawasan hutan dan belum ditutup,” kata Direktur Kejaksaan Agung Jampidsus Kuntadi. , dalam jumpa pers Senin (19/2/2024) ini.

Akibat perbuatan yang merugikan negara tersebut, para tersangka kasus pokok dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 55. Bagian 1 KUHP.

Tersangka OOJ kemudian dijerat Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Selain korupsi, khusus Harvey Moeis dan Helena Lim juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *