TRIBUNNEVS.COM – Ilmuwan kenamaan Amerika Robert Sapolsky mengatakan Israel dan Palestina ibarat dua “konsumen” yang ditentang kolonialisme Eropa.
Sapolsky awalnya mengatakan bahwa kepemimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang “menghancurkan” telah menghancurkan peluang perdamaian di Palestina.
Ia pernah yakin bahwa masalah Israel-Palestina bisa diselesaikan melalui negosiasi dan dialog. Namun, saat ini dia pesimis dengan hal tersebut.
Menurutnya, keputusan dan tindakan Netanyahu dilatarbelakangi oleh “balas dendam emosional”.
Sapolsky mengatakan keputusan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap Netanyahu dapat dibenarkan. Sebelumnya, ICC meminta penangkapan terhadap Mr. Netanyahu.
“Dan realitas strategisnya adalah ketika perang ini berakhir, dia (Netanyahu) menghadapi tuntutan pidana karena korupsi.” “Semakin lama perang berlangsung, semakin tidak ada keadilan,” kata Sapolski, seperti dikutip Anadolu Agency. Anak-anak menunggu distribusi makanan di kamp pengungsi tempat mereka tinggal akibat pemboman Israel di Jalur Gaza, di Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, 11 Juni 2024. (AFP/EIAD BABA)
Sapolsky, seorang ahli saraf, telah mempelajari rasisme titik-temu, ketidaksetaraan, dan konflik jangka panjang dari perspektif psikologi dan biologi perilaku.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jalan menuju rekonsiliasi sejati masih panjang dan penuh dengan “keluhan sejarah yang mendalam”.
Kehancuran yang dilakukan Israel semakin memperumit tantangan rekonsiliasi.
“Kehidupan 2 juta warga Gaza harus dibangun kembali.” Itu adalah titik awalnya,” katanya.
Ia meragukan munculnya pemimpin visioner yang menginisiasi perubahan transformasional, seperti mantan presiden Mesir Anwar Sadat.
Kalaupun karakter seperti itu muncul, butuh waktu lama untuk berdamai.
“Butuh satu atau dua generasi bagi kedua belah pihak untuk menyadari bahwa hidup berdampingan lebih baik daripada tidak ada sama sekali,” katanya.
“Mungkin diperlukan tiga, empat, atau sepuluh generasi sebelum mereka benar-benar melihat satu sama lain sebagai manusia nyata.”
Ia percaya bahwa akar kebencian dan permusuhan berasal dari kolonialisme Eropa.
Ia mengatakan bahwa isu Israel-Palestina adalah “dua negara lemah yang diadu satu sama lain oleh kolonialisme Eropa.”
“Beberapa dari mereka sudah tidak lemah lagi, tapi akarnya masih sama, mereka terorganisir untuk membenci,” ujarnya.
Sapolski kemudian melihat persamaan sejarahnya. Menurutnya, penjajah Inggris melakukan kekejaman serupa terhadap masyarakat di seluruh dunia, terutama di Inggris, Afrika, dan Asia.
Inggris membenci Irlandia selama 400 tahun. Kebencian ini, kata dia, serupa dengan kebencian antara warga Palestina dan Israel.
“Orang-orang Eropa mempunyai pola pikir yang sudah ada selama ratusan tahun: bahwa orang-orang di sekitar Anda benar-benar menakutkan dan berbahaya.”
Dia mengkritik cara Inggris menyerahkan tanah Palestina yang diduduki. Hal ini semakin memperdalam permusuhan dan menciptakan penghalang psikologis antara kedua belah pihak.
Sapolski menyebutkan contoh rekonsiliasi di wilayah konflik, seperti Irlandia Utara. Namun, ia menilai persoalan Israel-Palestina jauh lebih rumit.
“Kamu masih bisa melihat pohon zaitun yang ditanam kakekmu dan kamu masih ingat cerita Hitler yang diceritakan kakek nenekmu.” “Hal ini tidak mudah diatasi,” ujarnya.
Mengenai gerakan solidaritas mahasiswa sedunia untuk Palestina, Sapolsky mengatakan mereka sangat marah atas penderitaan yang harus dialami warga Palestina.
Dia mengkritik keterlibatan tidak langsung universitas tersebut dalam perdagangan senjata.
Menurutnya, hal tersebut serupa dengan aksi solidaritas yang dilakukannya pada masa apartheid di Afrika Selatan. Saat itu, dia mengkritik perusahaan yang mengambil keuntungan dari rasisme dan eksploitasi.
Meskipun pengetahuan sejarah siswa terbatas, mereka tetap merasakan penderitaan orang lain.
(Tribunnews/Febri)