TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Arahan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang keamanan produk tembakau dan rokok elektronik menuai berbagai keberatan.
Pasalnya, aturan tersebut memuat ketentuan kotak biasa yang tidak ada dasarnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Penerapan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor.
Mengingat persoalan koordinasi dan kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan dalam pembahasan RPMK, jelas kebijakan ini perlu dikaji ulang agar tidak berdampak signifikan terhadap kemajuan industri dan perekonomian nasional.
Pakar Hukum Universitas Trisakti Ali Ridho menjelaskan penyusunan RPMK menyimpang dari amanat PP 28/2024.
Sebab PP 28/2024 hanya mengatur jenis gambar peringatan, bukan kotak saja. Oleh karena itu, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dalam proses turunannya telah melampaui batas kewenangannya.
Prosedur ini di luar karena tidak sesuai dengan perintah yang ada di PP 28/2024, kata Ali Ridho, Minggu (13/10/2024).
Ali Ridho melanjutkan, RPMK selain menyimpang dari PP 28/2024 juga ditemukan bertentangan dengan ketentuan lain.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan jelas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mengetahui tentang produk yang dibelinya. Hak asasi manusia juga dilanggar dalam RPMK.
“UU HAM 39 Tahun 1999 juga memberlakukan prinsip yang sama. “Kalau penerapan sistem kemasan polos maka melanggar hukum,” tegasnya.
Akibat yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat. Menurut Ali Ridho, konsumen tidak mengetahui apakah produk yang digunakannya legal atau ilegal.
“Padahal hak konsumen dijamin undang-undang. “Prosedur kementerian yang melampaui batasnya akan berpotensi menimbulkan konflik dengan hukum,” kata Ali Ridho.
Perselisihan RPMK semakin meningkat karena kurangnya keterlibatan yang rasional. Dalam kondisi seperti ini, lanjut Ali Ridho, RPMK bisa mempertimbangkan proses informal karena poin-poin penting di dalamnya bermasalah dan tidak ada gunanya.
“Oleh karena itu kita perlu berdiskusi dan duduk bersama dengan pihak-pihak terkait. “Bukan soal berpindah ke komunitas atau kelompok yang mendukung sistem packing polos,” ujarnya.
Pelaku usaha dan konsumen industri rokok elektronik juga menyatakan perlunya Kementerian Kesehatan melakukan evaluasi terhadap RPMK.
Sekretaris Jenderal Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasmita mengatakan pihaknya berharap RPMK tidak disetujui.
Sebab, kebijakan tersebut sejalan dengan banyak aspek Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau (FCTC) yang merupakan inisiatif Organisasi Kesehatan Dunia dan belum diratifikasi oleh Indonesia, sehingga mengabaikan banyak kelompok yang terlibat dalam industri rokok elektronik . .
“Saya berharap pemerintahan baru akan mengubah hal ini. “Kalau bisa, kami tidak ingin perlu adanya judicial review,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO) Paido Siahaan menambahkan, Kementerian Kesehatan harus mempertimbangkan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas tentang produk yang digunakannya.
Menghilangkan informasi branding dan kemasan berarti menghalangi konsumen mendapatkan informasi mengenai produk sehingga mereka dapat memilih produk yang tepat. Oleh karena itu, proses pemberlakuannya melanggar hak konsumen untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya.
“Sistem yang diterapkan harus seimbang dan mempertimbangkan tujuan kesehatan masyarakat, sekaligus melindungi hak-hak konsumen dan memberikan pilihan yang lebih baik kepada lansia,” tegasnya.