TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan kemudahan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 menuai kontroversi mengenai dampak lingkungan dan ekonomi.
Kebijakan ini memperbolehkan pengambilan pasir laut dari sedimen, meskipun hal ini bertentangan dengan peraturan sebelumnya yang melarang pengambilan pasir laut untuk melindungi ekosistem pesisir.
Disahkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 juga memperkuat kebijakan ekspor pasir laut.
Center for Economic and Legal Research (Celios) memperkirakan kebijakan tersebut akan merusak ekosistem laut, meningkatkan erosi pantai, merusak terumbu karang, dan berujung pada hilangnya keanekaragaman hayati laut.
Selain itu, masyarakat pesisir, khususnya nelayan, berisiko kehilangan mata pencaharian akibat rusaknya habitat perkembangbiakan ikan hasil tangkapan.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Celios, sebuah lembaga penelitian ekonomi dan kebijakan publik, menemukan bahwa meskipun ekspor pasir laut diharapkan memberikan keuntungan bagi pengusaha dan pendapatan pemerintah, namun potensi keuntungan bagi negara relatif kecil.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan, simulasi tersebut berdampak negatif terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp1,22 triliun dan pendapatan masyarakat akan berkurang Rp1,21 triliun.
“Oleh karena itu, penelitian ini membantah berbagai klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut meningkatkan keuntungan ekonomi dan pendapatan pemerintah. Klaim tersebut ternyata hiperbola,” kata Judah, Rabu (2/10/2024).
Sedangkan jika dihitung dampak tidak langsungnya terhadap dunia usaha secara keseluruhan, perkiraan pendapatan pemerintah hanya meningkat sebesar 170 miliar dram.
Ia mengatakan, meski pengusaha ekspor pasir laut mendapat keuntungan sebesar 502 miliar dram, namun kerugian yang dialami pengusaha di bidang perikanan masih tetap ada.
“Pemodelan ekonomi yang dilakukan oleh CELIOS menegaskan bahwa penambangan pasir lepas pantai akan meningkatkan ekspor dan pendapatan pemerintah secara signifikan, hal tersebut tidak benar. “Pendapatan pemerintah berisiko mengimbangi total hilangnya output perekonomian sebesar Rp 1,13 triliun. Yehuda berkata:
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut berisiko menurunkan produksi perikanan.
Nilai tambah bruto sektor perikanan diperkirakan mencapai Rp1,59 triliun yang dihasilkan dari ekspor pasir laut sebanyak 2,7 juta ton.
Diperkirakan hilangnya pendapatan nelayan sebesar 990 miliar dram, dan berkurangnya kesempatan kerja di sektor perikanan sebesar 36.400 orang.
“Data historis sebelumnya pada tahun 2001 hingga 2009 juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara ekspor pasir laut dengan pertumbuhan produksi budidaya perikanan,” tambah Huda.
CEO Celios Bhima Yudhisthira menjelaskan, ekspor pasir laut justru berisiko menimbulkan pengangguran di wilayah pesisir.
Menurut dia, model penambangan pasir laut yang menggunakan kapal penyedot dan angkutan truk juga bersifat padat modal dibandingkan tenaga kerja.
“Tidak ada hubungan antara ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing,” ujarnya.
Selain itu, penambangan pasir laut merusak ekosistem laut dan berdampak pada perikanan.
Selain itu, pengerukan dengan pasir laut juga berdampak pada lingkungan laut yang sulit dipulihkan dalam jangka panjang.
“Indonesia akan kehilangan potensi karbon biru dan ekosistem ekonomi biru jika penambangan pasir laut terus dilakukan. Padahal Indonesia diperkirakan mempunyai potensi 17 persen dari total karbon biru dunia atau setara dengan 3,4 gigaton. “Hal ini sejalan dengan target pemerintah ke depan untuk mengoptimalkan kredit karbon sebesar USD 65 miliar atau Rp 994,5 triliun,” kata Bhima.
Oleh karena itu, pilihan pembangunan pesisir dan kelautan yang berkelanjutan jauh lebih hemat biaya dibandingkan praktik ekspor pasir laut yang merugikan ekosistem ekonomi biru.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Celios telah mengajukan rekomendasi yaitu pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 dan peraturan turunannya untuk melindungi ekosistem pesisir dan kesejahteraan nelayan setempat. Menghentikan seluruh proses penerbitan izin penambangan pasir laut, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Mendorong potensi ekonomi restorasi pesisir yang konsisten dengan perlindungan lingkungan, seperti pengolahan perikanan yang bernilai tambah, budidaya rumput laut, dan ekowisata pesisir. Menyusun rencana pemulihan ekosistem laut yang rusak akibat pencemaran air, rusaknya hutan bakau, rusaknya terumbu karang, dan reklamasi pantai.
Jokowi menolak membuka ekspor pasir laut
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantah pemerintah membuka keran ekspor pasir laut.
Menurut Presiden, boleh saja mengembalikan sedimen tersebut untuk diekspor.
“Sekali lagi, bukan pasir laut, tapi sedimen yang tersingkap, sedimen yang menghalangi arus kapal. Sekali lagi tidak,” kata Jokove, Selasa (17/9/2024) di Menara Danarexa Jakarta.
Menurut Presiden, sedimen dan pasir sekilas berbeda, seperti pasir.
“Terus pasirnya kalau ditransformasi beda, sedimennya beda, kelihatannya pasir, tapi itu sedimen, coba dibaca, sedimen,” tutupnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi membuka kembali ekspor pasir laut pada Mei 2024 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimen Laut.
Menteri Perdagangan (Mendagh) Zulkifli Hassan kemudian mengeluarkan aturan turunannya yakni Peraturan Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 dan Peraturan Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024 yang menandai dibukanya keran ekspor pasir laut.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isi Karim mengatakan pasir laut baru bisa diekspor setelah memenuhi persyaratan dalam negeri.
“Ekspor hasil sedimen laut berupa pasir laut diperbolehkan sepanjang memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (10/9/2024).
IC menilai tujuan pengaturan ekspor pasir laut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Menurut dia, peraturan ini dilakukan untuk mengatasi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut. Kesehatan laut.
Selain itu, pengaturan ekspor pasir laut diharapkan dapat mengoptimalkan dampak sedimen laut terhadap pengembangan dan pemulihan ekosistem pesisir dan laut.
Jenis pasir laut yang boleh diekspor diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024 yang mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2024 tentang Ciri-ciri Pasir Sedimen Laut untuk Ekspor. . .
Untuk bisa mengekspor pasir laut yang layak, ada sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024. Ditunjuk sebagai Eksportir Terdaftar (RE) dengan ketentuan ekspor yang sesuai. konfirmasi (PE) dan laporan survei (LS).
Untuk ditetapkan sebagai ET oleh Kementerian Perdagangan, pelaku usaha dan eksportir wajib mendapatkan izin pemanfaatan pasir laut dari KKP.
Pelaku usaha dan eksportir wajib memperoleh izin pertambangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk ditetapkan sebagai ET.
Selain itu, pelaku usaha dan eksportir wajib memberikan surat pernyataan tertutup bahwa pasir sedimen laut yang diekspor berasal dari lokasi penambangan sesuai dengan titik koordinat yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan.
Setelah memenuhi persyaratan sebagai ET, pelaku usaha dan eksportir dapat melengkapi persyaratan untuk mendapatkan PE.
Syaratnya harus ada rekomendasi ekspor sedimen laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan persyaratan lokal harus dipenuhi melalui mekanisme Domestic Market Obligations (DMO).
Jenis pasir laut yang dilarang ekspornya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024.
Kedua Peraturan Menteri Perdagangan tersebut diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2024 dan mulai berlaku 30 hari kerja setelah tanggal diundangkan.
“Kami berharap para pelaku usaha dapat menerapkan peraturan ini semaksimal mungkin sehingga memberikan dampak yang baik bagi perekonomian Indonesia,” pungkas IC.
Sekadar informasi, pergantian kedua Menteri Perdagangan tersebut dalam rangka implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimen Laut.
Apalagi, ini merupakan kelanjutan dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Memuat perubahan terkait perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 Tahun 2024 hingga perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang Larangan Ekspor.
Lalu, tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024, Tahun 2023 Menteri Perdagangan.