TRIBUNNEWS.COM – Banyak pengamat yang mengomentari pencapaian ekonomi Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam 10 tahun pemerintahannya.
Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, kekuatan ekonomi Indonesia seharusnya bisa diterima dengan baik, menurut ekonom Universitas Indonesia (UI), olahragawan Subroto.
Sekadar informasi, kapasitas ekonomi adalah kemampuan perekonomian suatu negara untuk bertahan, pulih, dan beradaptasi dalam menghadapi disrupsi atau krisis.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai stabil di angka 5 persen dari perekonomian global karena ketidakpastian pandemi global dan krisis internasional.
Ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (28/9/2024).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia tumbuh 5,05 persen pada tahun 2023.
Sedangkan kenaikannya pada tahun 2022 sebesar 5,31 persen.
Menurutnya, kemajuan tersebut tidak lepas dari kebijakan yang lebih bermanfaat.
Dengan adanya program hilirisasi untuk menjamin proses perekonomian dalam negeri.
“Sehingga berdampak luas terhadap perekonomian,” ujarnya.
Pada saat yang sama, Manajer Urusan Ekonomi Faisal Chaniago menekankan pentingnya melanjutkan pekerjaan yang ada di pemerintahan berikutnya.
Periklanan akan menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi Indonesia dan patut diprioritaskan.
Ujarnya, Kamis (26/9/2024).
Guru Besar Universitas Bung Karno ini juga menekankan pentingnya menjaga keamanan melalui rekonsiliasi.
Ia mendesak Presiden terpilih Prabowo Subianto merangkul berbagai pihak untuk menghindari konflik.
“Untuk mewujudkan dan memelihara perdamaian, Prabowo harus menerima kompromi politik agar sistem politik stabil dan tidak ada kekerasan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Auliya Flyanti angkat bicara mengenai pertumbuhan komunikasi udara dalam 10 tahun terakhir.
Selain perekonomian saat ini, peningkatan konektivitas udara juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi wilayah Indonesia.
“Dengan konektivitas udara, perekonomian daerah bisa tumbuh 5-10 persen,” ujarnya.
Pembangunan iklim ini masih terjadi di daerah tertinggal, terpencil dan terpencil (3T) seperti Papua.
“Konektivitas udara memudahkan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, ketersediaan yang lebih baik dapat membantu mengurangi biaya kebutuhan sederhana, sehingga membantu masyarakat setempat,” tambahnya.
Selain itu, konektivitas udara membuka peluang baru bagi bisnis daerah melalui industri pariwisata.
Kini wisatawan lebih mudah menjangkau daerah-daerah terpencil yang memiliki sumber daya pariwisata, sehingga menciptakan sumber daya baru bagi masyarakat lokal.
Konektivitas udara juga akan membantu mengurangi kesenjangan perkotaan dan pedesaan.
“Dengan pertumbuhan inklusif, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi,” ujarnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Chaerul Umam)