Menurut penggiat antikorupsi, proses “problematis” korupsi yang dilakukan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) menunjukkan Dana Operasional Menteri (DOM) masih disalahgunakan.
Sebaliknya, menurut Zaenur Rochman, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, pengawasan terhadap penggunaan DOM tergolong “kandi”.
“Menurut saya, berapapun angka yang diberikan, itu sudah genap oleh DOM, bahkan mereka meminta dari penjual. Artinya masalah pengawasan di sini sudah terlihat,” kata Zaenur Rochman kepada BBC News Indonesia, Rabu (01). /05).
Hal serupa juga terjadi beberapa tahun lalu, ketika banyak menteri yang terlibat korupsi penyalahgunaan DOM, seperti mantan Menteri ESDM Jero Wacik dan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Penyidik Transparency International Indonesia (TII) Bagus Pradana menyatakan korupsi yang dilakukan SYL “terorganisir dan meluas” karena diduga tidak hanya anggaran perusahaan, tetapi juga pemerasan anak-anak kelompok Anda untuk membiayai kepentingan pribadi.
Seperti diberitakan, banyak saksi di persidangan dengan tuduhan berpuas diri dan bungkam, termasuk terdakwa SYL yang mengaku selama menjabat menteri, SYL menggunakan anggaran menteri dan dana kolektif anggotanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, termasuk membeli emas untuk keperluan pribadi. pernikahan, membeli produk perawatan kulit, bahkan membayar penyanyi dangdut untuk hiburan.
Namun tim kuasa hukum SYL berdalih keterangan saksi soal sumbangan dana tersebut tidak konsisten dan tidak semua yang dilakukan anak buahnya merupakan perintah langsung dari menteri.
“Dalam tindakan mereka, ada semacam sikap yang menunjukkan bahwa mereka baik dan peduli kepada keluarga menteri. Harus jelas siapa yang meminta uang itu,” kata Djamaludin Kudubun, ketua kelompok hukum SYL.
Daftar pengeluaran pribadi yang diduga diambil SYL dari anggaran Kementerian Pertanian menjadi viral dan menuai kemarahan warganet, khususnya di platform sosial X.
Seorang pengguna akun @lolbingung merasa sedih atas tindakan SYL dan mempertanyakan nasib anak buahnya yang terpaksa menyembunyikan kasus korupsi tersebut.
“Bagaimana perasaan para manajer Anda yang mengetahui secara publik tentang korupsi? Mereka pasti tertekan karena harus membantu menjaga bukti dan tetap diam,” tulisnya.
Lantas, apa saja dugaan penyelewengan dana Kementerian Pertanian yang muncul dalam persidangan SYL dan mengapa korupsi semacam ini masih terjadi di sistem pemerintahan? Dana dari Kementerian untuk kebutuhan pribadi, biaya khitanan saudara, pembayaran kartu kredit, uang dari Kementerian Pertanian akan masuk ke SYL?
Dalam sidang yang digelar Rabu (24/04), Direktur Kantor Umum dan Pengadaan Kementerian Pertanian, Isnar Widodo, mengatakan ada permintaan santunan ulang tahun keponakan SYL tersebut.
Isnar mengatakan, pertanyaan itu dilontarkan mantan asisten SYL Panji Hartanto atau asisten Aliandri Kemal Redindo.
Ia mengaku terpaksa menuruti permintaan tersebut karena khawatir posisinya terancam.
“Kalau Pak Dindo diolok-olok, dia marah. ‘Kalau begitu kamu bisa hidup,’ kata Isnar dalam kesaksiannya.
“Jadi, apakah Anda mengirimkan uang atas nama keluarga menteri karena ingin atau karena terpaksa?” tanya hakim.
“Saya harus melakukannya, Yang Mulia,” jawab Isnar.
Kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga SYL menerima uang sebesar Rp44,5 miliar dari atasan dan direktur Kementerian Pertanian yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Hal itu terungkap dari sejumlah saksi yang hadir dalam persidangan kasus tersebut, yakni pegawai Kantor Umum Pengadaan Kementerian Pertanian Muhammad Yunus, mantan Direktur Bagian Dalam Negeri Kantor Umum dan Pengadaan Rumah-Pekerjaan. Pertanian. Abdul Hafidh, dan Pejabat Departemen Produk dan Jasa Dalam Negeri Kementerian Pertanian, Arief Sopian.
Dalam keterangan Arief Sopian, ia mengatakan pembelian mobil Innova yang diberikan kepada putri SYL merupakan hasil keterlibatan kolektif pejabat eselon 1, namun hanya Inspektorat Kementan yang tidak turut andil dalam pembelian SYL. anak perempuan. mobil.
Saksi lainnya, Gempur Aditya mengungkapkan, kelompoknya mengeluarkan dana sebesar Rp43 juta setiap bulannya selama Maret hingga Desember 2021 untuk membayar sebagian saham mobil Alphard milik SYL.
Ia mengaku belum mengetahui secara pasti status kepemilikan uang puluhan juta yang dibayarkan Kementan untuk mobil Aphard SYL. Namun jika melihat pembayaran rutin, pejabat Kementerian Pertanian itu menilai uang tersebut digunakan untuk membayar cicilan.
Di akhir persidangan, saat kuasa hukum KPK menanyakan alasan mereka menyiapkan uang berbeda-beda padahal tidak ada dalam daftar rencana keuangan, Arief Sopian yang menjadi saksi mengatakan mereka melakukannya karena dibunuh. berwenang.
Menanggapi tanggapan tersebut, tim kuasa hukum SYL meminta kesediaan Arief untuk melapor ke institusi terkait.
“Saksi tidak punya kewenangan untuk melaporkan seseorang yang melanggar aturan, atau melaporkannya ke perusahaan. “Apa yang menghalangi saksi untuk melaporkan?” tanya pengacara itu.
Karena kami disuruh lalu dipaksa, kami tidak punya kemampuan lagi untuk [melapor], kata Arief.
Berikut laporan keuangan Kementan mengenai uang yang menurut mereka digunakan SYL untuk kepentingan pribadi dan keluarga: Mobil Toyota Innova untuk anak SYL berharga Rp 500 juta. Umrah Keluarga Rp 1,35 miliar. Tawaran Rp 1,6 miliar. Pemasangan mobil Alphard Rp 43 juta. Sunat pada cucu. Perawatan kulit untuk anak cucu. Hadiah emas untuk undangan Rp 7 juta – Rp 8 juta. Kacamata SYL dan istri. Kebutuhan fungsional akomodasi resmi (termasuk pembelian makanan dan minuman) Rp 3 juta per hari. Bayar penyanyinya Rp 100 juta. parfum Rp 5 juta. Uang jajan calon pengantin sebesar Rp 25 juta – Rp 30 juta per bulan. Beli dolar di bank seharga $4.000 (atau setara Rp 64 juta). Biaya pemeliharaan apartemen SYL sebesar Rp 300 juta. Tunjangan makan Rp 3 juta per hari. Cicilan kartu kredit Rp 215 juta. Bisnis dokter estetika anak syl. RP hadiah yang sempurna. 381 juta.
Ketua tim kuasa hukum SYL Djamaludin Kudubun membantah dana Kementerian Pertanian digunakan untuk membayar cicilan mobil Alphard.
Ia justru menyebut mobil tersebut merupakan mobil dinas yang digunakan SYL saat berada di Makassar dan membayar biaya sewa sebesar Rp 43 juta.
Sedangkan yang disebut penghasilan bulanan istri SYL, menurut Djamal, adalah “hak istri Pak SYL” yang bersumber dari anggaran menteri. Hal serupa juga disampaikannya mengenai pembayaran kartu kredit yang menurutnya berada di luar “hak prerogatif Menteri”.
“Anggarannya banyak yang milik menteri dan diberikan kepada istrinya. Bukan berarti seperti uang jajan istrinya yang haram, tapi uang sah,” kata Kompas Djamal.
Ia mengatakan, sejauh ini belum diketahui keterangan saksi dari mana uang tersebut berasal, siapa yang memintanya, dan dengan cara apa uang tersebut ditransfer.
“Apakah kamu memesannya oleh kamu atau anak-anakmu atau ditanyakan kepada keluargamu? “Dalam persidangan tidak ada yang menunjukkan siapa yang menyumbangkan uang itu,” katanya. Aktivis antikorupsi: “Jangan harap ada yang melapor, karena itu bunuh diri profesional”
Peneliti PUKAT UGM Zaenur Rochman mengatakan, situasi korupsi penggunaan dana operasional kementerian (DOM) dan penerimaan fee dari pejabatnya sudah menjadi hal yang lumrah di lembaga tersebut.
“Inisiatifnya bisa dari menteri atau bawahannya, atau dari pengusaha. Kebutuhan operasional kementerian sebenarnya ditanggung oleh DOM. Namun, pejabat pemerintah yang rakus juga ingin urusan-urusan di luar tugas resminya diliput.
“Oleh karena itu, saya melamar pekerjaan itu. “Para pangeran mencari uang untuk proyek tersebut dengan mengelola anggaran proyek atau dari vendor,” kata Zaenur kepada BBC News Indonesia.
Dipercayai bahwa tindakan-tindakan ini seringkali membutuhkan waktu lama untuk terwujud hingga terakumulasi dan “meledak” seperti dalam kasus SYL.
Sebab, petugas yang bekerja di bawah komando ingin bungkam karena takut kehilangan pekerjaan.
“Kalau tidak ada jaminan keselamatan, jangan harap masyarakat melapor, karena itu bunuh diri profesional. Artinya sistem pelaporannya tidak berjalan,” kata Zaenur.
Peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII) Bagus Pradana mengatakan pegawai yang melapor ke instansi terkait dilindungi undang-undang. Jadi mereka tidak perlu takut.
Namun, ia juga memahami adanya “ancaman” yang diajukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan lebih tinggi untuk mengganggu rakyatnya. Oleh karena itu, mereka terlibat dalam kejahatan tersebut meskipun mereka tahu bahwa itu adalah kejahatan.
“SyL ini sangat luas karena terorganisir dan sesuai dengan prosedur yang ada dan cara-cara berbahaya, ancaman dan gerakan yang telah terjadi di masa lalu.
Peneliti TII Sahel Alhabsyi mengatakan pemerasan di lembaga pemerintah sudah menjadi rahasia umum dan banyak kasus di masa lalu yang menunjukkan tren serupa di lembaga pemerintah.
Hal ini mengacu pada keterkaitannya dengan meritokrasi, yaitu menempatkan orang pada posisi yang tidak didasarkan pada kemampuan atau rekam jejak. Selain itu, ada pula dampak politik yang harus ditanggung oleh mereka yang berkuasa.
Karena pengisian jabatan itu membutuhkan biaya yang besar, maka Presiden akan berusaha menutupi biaya tersebut dengan memungut pajak dari anggotanya, kata Sahel.
“Semua itu terjadi dan menjadikan praktik [pemungutan] pajak di lingkungan birokrasi menjadi hal yang lumrah,” ujarnya kemudian.
Berdasarkan hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2022 terdapat 303 kasus penyalahgunaan anggaran dan 24 kasus penghapusan ilegal atau diam-diam dari 578 kasus korupsi yang akan dilegalkan.
Sedangkan pada tahun 2021, terdapat 133 kasus penyalahgunaan anggaran dan 12 kasus penarikan ilegal atau pembungkaman dari total 533 kasus korupsi.
Pada tahun 2016, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM), Jero Wacik divonis empat tahun penjara dan harus membayar denda Rp150 juta ditambah tiga bulan penjara.
Jero terbukti melakukan tindak pidana korupsi, penyelewengan dana operasional kementerian (DOM), memaksa bawahan menerima suap dari rekanan, dan menerima tip. Dana tersebut ia gunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga yang berjumlah Rp 8,4 miliar.
Pada tahun yang sama, ada pula kasus mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang terbukti melakukan tindak pidana penyelenggaraan haji dan penggunaan DOM.
Mereka divonis enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta, tiga bulan penjara, dan denda Rp 1,8 miliar.
Akibat perbuatan Suryadharma, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp 27 miliar.