Laporan reporter Tribunnews.com Gita Irvan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisioner Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Prabyanto Mukti Wibowu mengatakan, Proyek Pengembangan Kawasan Pulau Rimpang Eco City, Kepulauan Riau, yang menuai perlawanan dari warga setempat patut menjadi perhatian. ke bagian yang berbeda
Ia mengatakan hingga saat ini Komnas HAM terus melakukan proses mediasi antara pemerintah dan masyarakat setempat.
Namun, lanjutnya, pemerintah masih belum mau melakukan mediasi.
Prabianto dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM RI mengatakan, kasus lain yang banyak menyita perhatian dan memerlukan pemikiran banyak pihak adalah kasus warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Jakarta Pusat pada Rabu (18/9/2024).
Lanjutnya, “Kami terus mengupayakan mediasi, meski sejauh ini pemerintah masih belum mau melakukan mediasi. Namun, kami terus memantau dan mendorong mediasi untuk menghindari konflik yang lebih luas.”
Sebelumnya, LBH Pekanbaru mengunggah serangkaian video di Instagramnya yang memperlihatkan sekelompok orang meneriaki sekelompok orang lain dengan narasi warga Pulau Rempang sedang dilecehkan pada Rabu, 18 September 2024.
Salah satunya adalah kehadiran dua polisi yang berusaha membubarkan dua kelompok yang terlibat.
Dalam foto yang diunggah LBH Pekanbaru, terlihat dua orang pria mengalami luka di bagian wajah dan pelipis.
Video lain menunjukkan seorang wanita sedang dirawat.
Dalam siaran pers Tim Solidaritas Nasional Pembela Rempang, masyarakat Pulau Rempang pada Rabu (18/9/2024) diberitakan mendapat intimidasi dan kekerasan yang dilakukan puluhan orang berpakaian preman.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tim Solidaritas Nasional Pembela Rempang dari warga, intimidasi dan kekerasan yang dialami warga Pulau Rempang terjadi di wilayah administrasi Kampung Sungai Bulu, tepat di jalan menuju kawasan Guba sekitar. 10.45 WIB.
Total ada tiga warga yang luka-luka dan puluhan lainnya mengalami pemukulan.
Kejadian bermula saat warga sedang menjaga masjid di pintu masuk Guba.
Puluhan orang berpakaian pribadi mendekati mereka.
Selain itu, dikabarkan juga terdapat petugas polisi berseragam dalam kelompok tersebut.
Mereka memberi tahu para tetangga bahwa daerah ini adalah tempat kerja mereka.
Namun para tetangga yang tetap tinggal dan berjaga akhirnya menjadi sasaran intimidasi dan kekerasan.
Siaran pers yang diterima, Rabu (18/9/2024) menyatakan: “Aksi puluhan orang berpakaian preman didampingi anggota polisi yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat Pulau Rempang terus berlanjut.”
Siaran pers tersebut melanjutkan: “Tadi sempat mengalami teror dan peralatan oposisi PSN Rempang Eco City dirusak. Dan kami menduga belasan orang berpakaian preman tersebut sebagian adalah anggota TNI.”
Untuk itu, Tim Pembela Solidaritas Nasional Rempang menyerukan diakhirinya cara-cara intimidasi atau kekerasan terhadap masyarakat.
Mereka pun menuntut penghentian pembangunan PSN Rempang Eco City.
Pernyataan tersebut selanjutnya berbunyi: Ketiga, meminta kepolisian mengayomi, mengayomi, dan melayani masyarakat berdasarkan tugas pokok dan tanggung jawabnya.
Pada September 2023, Komnas HAM juga memaparkan sederet temuan awal proses pemantauan dan investigasi konflik di Pulau Rempang.
Berdasarkan temuan tersebut, Kamnas Ham mengutarakan sederet sikap dan sikap. Fakta Bentrokan Warga dan Polisi di Rempang Batam, Timeline Anak Sekolah Ditembak Gas Air Mata (kolase tribunnews.com)
Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing saat itu mengatakan salah satu di antara mereka ingin Menteri Koordinator Perekonomian mengkaji proyek pembangunan Pulau Rempang Eco City.
Hal itu diungkapkannya saat jumpa pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2023).
Yang pertama berbunyi: Permintaan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengkaji ulang pengembangan Eco-City Pulau Rempang sebagai PSN (Proyek Strategis Nasional) berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023. .
Kedua, kata mantan, Komnas HAM menyarankan Menteri ATR BPN untuk tidak menerbitkan HPL (Hak Pengelolaan Tanah) di lokasi Pulau Rempang, mengingat lokasi tersebut belum jelas dan bersih.
Ketiga, lanjut Kemnas Ham, mengatakan deportasi harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB). Komentar Publik #7 di KIHESB.
Yang pertama mengatakan, berdasarkan ketentuan tersebut, kebijakan penggusuran paksa hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah mempertimbangkan tindakan lain.
Kedua, lanjutnya, jika penggusuran paksa dilakukan, pemerintah dan/atau perusahaan wajib menilai dampak penggusuran paksa dan kebijakan pemulihan terhadap warga terdampak.
Ketiga, kata Oli, pemerintah dan/atau perusahaan wajib memberikan kompensasi dan reparasi yang memadai kepada warga terdampak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Keempat, proses penggusuran harus memenuhi standar hak asasi manusia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Ia juga menjelaskan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam evakuasi, yaitu konsultasi untuk mencapai mufakat, pemberitahuan yang memadai, dan relokasi sebelum evakuasi.
Ia mengatakan, selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan proses evakuasi, yaitu perlindungan prosedural tanpa intimidasi dan kekerasan serta penempatan agen secara proporsional.
Keempat (sikap), pemerintah harus melakukan dialog dan informasi yang tepat dengan pendekatan budaya dan kemanusiaan terhadap program pembangunan dan relokasi akibat pembangunan PSN, kata Oli.
Kelima, kata dia, pemerintah tidak boleh melanggar hak atas perumahan yang layak melalui tindakan atau kebijakan yang diambil, baik di tingkat lokal maupun nasional terkait penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi.
Lanjutnya, kebijakan pemerintah tidak boleh bersifat diskriminatif dan menimbulkan pembatasan yang eksklusif dan tidak proporsional tanpa dasar hukum yang sah.
Ia melanjutkan, pemerintah tidak boleh melakukan relokasi paksa (penggusuran paksa) yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Keenam (sikap), (pemerintah) tidak boleh menggunakan cara-cara kekerasan termasuk penggunaan kekerasan berlebihan dalam proses relokasi dan pengembangan kawasan Eco City Pulao Rempang, katanya.
Ketujuh, lanjutnya, polisi harus mempertimbangkan penggunaan restorative justice dalam menyikapi proses pidana kasus Pulau Rempang.
Lanjutnya, Kedelapan, kelompok rentan seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan dan lain-lain di Pulau Rempang.